Kamis, Oktober 01, 2009

DIKSA PANDITA - IDA BHAWATI I WAYAN SANTEP,S.Pd.
DIIRINGI GEMPA BUMI

Proses Aguron-Guron para umat yang mengambil jalan ke-Panditaan (Brahmana) dalam hal ini perjalanan seorang I Wayan Santep,S.Pd. sampai menjadi Pandita Mpu tidaklah mudah, karena melalui waktu dan proses batin yang panjang. Aguron-Aguron ini dimulai dari ”Eka Jati” dengan menjadi Pemangku (Pinandita), berlanjut menjadi Jro Mangku Gede, dan ketika sudah memenuhi syarat, maka dilanjutkan ”Diksa Ida Bhawati” yang berarti sudah dalam ”Rahim” sebelum lahir (Embas) menjadi Brahmana (Pandita) yaitu Pandita Mpu. Dari Jro Mangku Gede sampai ”Melinggih” menjadi Pandita beliau menempuh waktu 5 (lima) tahun, entah karena kematangan proses perjalanan beliau atau memang ”Prabawa”, maka ketika ”Diksa Pandita” pada 04 Oktober 2008 pada session ”Mati Raga” baru beberapa menit Mati Raga, yaitu antara jam 23.45 – 24.00 Wita terjadi gempa bumi 3 kali dimana 2 kali antaranya cukup kuat, dirasakan oleh semua yang hadir di Gria Sang Nabe di Padangkeling Singaraja, tempat dilaksanakan Pa-Diksaan.

Keseluruhan Proses sudah dimulai sejak 29-3-2008 sampai 24-4-2008, Ida Bhawati I Wayan Santep,S.Pd. dan Ida Bhawati Istri Ketut Sumarti (Calon Diksita) melakukan proses internal antara Calon Diksita dengan Nabenya, Ida Pandita Mpu Nabe Dharma Kerti, dari Griya Bhuana Sari, Padangkeling, Kel. Banyuning, Kab. Buleleng, Singaraja. Pada fase ini Sang Nabe juga nangkilang (menghadirkan) Calon Diksita ke Nabe Kakyang Ida Pandita Mpu Nabe Yogiswara Dharmajaya, Bakung Sukasada, Singaraja untuk memperoleh petunjuk/nasehat yang diperlukan. Ida Pandita Mpu Nabe Yogiswara Dharmajaya adalah Putra ke-2 dari Ida Pandita Mpu Nabe Pemuteran (Renon-Denpasar) yang belum lama ini meninggal (Lebar). Fase berikut antara 14-07-2008 sampai 28-09-2008, Calon Diksita menghubungi Calon Guru Saksi-Ida Pandita Mpu Nabe Siwa Yogi dari Grya Amarta, Tegallinggah, Sukasada, Buleleng-Singaraja dan Guru Waktra-Ida Pandita Mpu Nabe Dharma Kusuma Wijaya dari Grya Paramita-Petak, Kel Astina, Kec Buleleng, Singaraja, juga Mepiuning ke Mrajan Nabe, ke Pura Catur Lawa Besakih, Nuwur Tirta Mati Raga dan Tirta Pediksaan di Pura Pingit Besakih, mepiuning di Mrajan Mpu Nabe Pemuteran-Renon, dan di Pura tk Dadia (Merajan/Kawitan) serta Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Penglatan. Dilakukan juga ”Diksa Pariksa (Pembekalan)” di rumah Calon Diksita di Penglatan Singaraja yang dihadiri oleh PHDI Kab Buleleng. Pada fase ini hal-hal bersifat administratif seperti ”Surat Undangan” disiapkan dan dikirim kepada : Bupati Kab Buleleng,Kandep Agama,PHDI-Desa Pakraman-MGPSSR Tk Kabupaten dan kecamatan, Kades, Kadus, Bendesa Adat, Ketua Paruman Sulinggih PHDI Buleleng, Guru Waktra,Guru Saksi, Ida Pandita Sepurus : di Bakung, Wanagiri, Petak, Tegallinggah, Penarukan, Mayong, Tukadmungga, Lebah Siung semuanya di Singaraja, dan Pengurus Paguyuban Sisia ”Satya Dharma Santi” (Sisia Mpu Nabe di Padangkeling), serta undangan lainnya termasuk sahabat Calon Diksita. Puncak dari proses semuanya adalah pada 01- 16 Oktober 2008 meliputi : Melaspas Calon Griya di Penglatan, Pemantapan-pemantapan, Upacara Mati Raga, Pediksaan, Pembinaan Pandita Putra terkait, diakhiri : Mesida karya ke Griya Nabe,Guru Saksi, Guru Waktra, serta Ngaturang Puja ke Pedarman Catur Lawa (Ratu Pasek) Besakih, dan Pandita Baru sudah menempati Griya sendiri.

Khusus Upacara ”Mati Raga dan Pediksaan”, maka pada malam sekitar Jam 22 Wita dilaksanakan ”Mebyekala”. Sebelum ini dilakukan Mepamit,Nyumbah/sungkem kepada keluarga baik dari keluarga Lanang & Istri yang lebih tua, karena sesudah jadi Pandita beliau hanya memuja Hyang Widhi dan Sesuhunan (Pandita hanya alat Tuhan). Pada fase Mebyekala, Diksita (Lanang-Istri) diupacarai pembersihan termasuk dimandikan oleh Calon Raka (Kakak) : Ida Pandita Sri Bhagawan Wira Kerti dari Griya Lebah Siung dan Ida Pandita Mpu Dharma Mukti Sida Kerti dari Griya Tukad Mungga. Puja dilakukan oleh Para Nabe berurut Guru Saksi (Kanan), Nabe (Tengah) dan Guru Waktra (Kiri). Mebyekala ini merupakan proses awal sebelum upacara Mati Raga. Sekitar jam 23 Wita Diksita menghadap kepada Sang Nabe untuk dilakukan Upacara Mati Raga, dimulai dari Diksita Lanang (Pria) ditutup (Rurub) kepala dengan kain putih yang sudah di Rajah dan diatas kepala (Siwa Dwara) diletakkan Daksina dipegang oleh Sang Nabe. Ketika Daksina diangkat, maka Diksita mengalami ”Mati Raga”, para petugas yang sudah disiapkan sebelumnya mengangkat Diksita dalam kondisi Mati Raga ke Bale-Bale untuk ditempatkan seperti halnya orang meninggal dengan dibungkus kain putih seluruh tubuhnya. Hal yang sama terjadi pada Diksita Perempuan. Mati Raga ini mengandung makna, bahwa saat pertama lahir kedunia, maka manusia dilahirkan dari rahim Ibu, namun seorang Pandita (Brahmana) lahir dari Tuhan melalui Brahmana (Nabe) sehingga disebut ”Sang Dwijati” (Lahir kedua kali), untuk itulah harus melalui proses ”Mati Raga” dengan upacara seperti halnya orang mati. Ketika beberapa menit ditempatkan di Bale-Bale terjadilah peristiwa alam berupa ”Gempa Bumi” cukup kuat sebanyak tiga kali, para umat dan Pandita yang berada ditempat itu berdetak kagum dengan ”Prabawa” Diksita, semoga ini pertanda baik bagi Diksita dan akan memberikan kebaikan kepada umat. Mati Raga ini berlangsung cukup singkat yaitu sekitar 1 ½ jam dimana kadang bisa mencapai 5 – 6 jam. Hal ini tergantung pada masing-masing Diksita seperti halnya cepat atau lamanya bayi lahir. Selama belum dibangunkan (Metangi) Sang Nabe tetap berada di Bale Pemiosan (Bale Pemujaan) tidak turun. Sampai akhirnya waktu menunjukkan jam 01.30 Wita isyarat dari Nabe, bahwa sudah waktunya ”Metangi”, maka Sang Nabe turun menghampiri kedua Diksita dengan Puja Mantra dan diberi Tirta, kedua Diksita bangun. Disini terlihat kasih-sayang Sang Nabe kapada putranya dengan pelukan kasih-sayang. Selesai di-Rajah Angga, maka keduanya diangkat untuk di sucikan (dimandikan) seperti halnya bayi baru lahir, semua pakaian yang dipakai sebelumnya ditanggalkan/dibuang. Sang Nabe menyisir rambut dimana ”Prucut (ikatan rambut) dipindah yang semula dibelakang (Ida Bhawati) menjadi diatas ubun-ubun (Pandita). Setelah berbusana Pandita Keduanya ”Medengen-dengen” (Mebyekala kawin untuk Pandita) dilakukan oleh Sang Nabe. Selanjutnya dilakukan acara puncak berupa ”Pe-Diksaan” (Napak /Pembaptisan jadi Pandita) yang prosesinya bersamaan dengan matahari terbit diiringi kokok ayam, sebagai pertanda baik, bahwa telah lahir seorang Pandita. Dengan perasaan terharu Sang Nabe, diiringi isak tangis kedua Diksita lewat pesan-pesan Sang Nabe kepada putranya untuk menjalankan ”Sesana Ke-Panditaan” dengan baik sehingga berguna bagi semua ciptaan-Nya. Pada pagi hari itu juga 5 Oktober 2008 dilakukan ”Pelantikan/Pengumuman” dengan seremonial dihadiri : Bupati Buleleng, Kandep Agama, Ketua MGPSSR Kab Buleleng, dan undangan lainnya, bahwa ”Ida Bhawati I Wayan Santep,S.Pd dan Ida Bhawati Istri Ketut Sumarti, telah Diksa Pandita menjadi ”Ida Pandita Mpu Widya Kerthi & Ida Pandita Mpu Istri Widya Kerthi”, Grya KENCANA SARI, Jl.Pulau Irian, Desa Penglatan Gang Arjuna RT.5, Kab/Kec. Buleleng, Singaraja.




Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar-Solo
09-10-2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)