Senin, Agustus 03, 2009

APAKAH ”HYANG KOMPYANG” BEGITU KEJAM

Pola penerapan ajaran-ajaran Weda kepada masyarakat Hindu di Bali jaman dulu telah menyisakan suatu pemahaman yang belum jernih dalam aplikasinya dewasa ini, apakah hal ini kelalaian para Sulinggih atau pemimpin agama jaman dulu dan jaman sekarang penulis tidak tahu, tetapi fenomena yang bisa kita lihat dimasyarakat akan menjawab hal itu. Dalam tulisan ini kita coba melihat fenomena ”Bhakti pada Leluhur” masyarakat Hindu di Bali. Masyarakat Hindu secara umum mengikuti dengan baik apa yang diterimanya dari fihak yang dianggap lebih tahu atau yang dipercaya sebagai panutan, apakah itu Pandita (Brahmana/Sulinggih) seperti : Pedanda, Mpu, Bhagawan, Rsi, Bujangga, Dukuh, atau Pinandita (Jero Mangku), tokoh agama/tokoh adat, atau penglingsir, sehingga mereka menurut saja ketika harus membeli seperangkat banten yang mahal-mahal untuk keperluan Ngaben atau melakukan ritual tertentu jika menghadapi masalah, seperti : Nawur Sesangi, me-baya (Istilah Jawa : Ruwatan), mengadakan pertunjukan wayang, dan bentuk laku lainnya yang harapannya agar terjadi perbaikan dirinya dan keluarga skala-niskala sesudah diadakan acara tersebut. Suatu pemandangan yang umum terjadi, bahwa masyarakat ini berani mengeluarkan uang yang besar untuk suatu upacara atau jika harus Ngelinggihang Hyang Widhi berupa Kemulan atau Stana Leluhur berupa Meru (untuk Kawitan/Atma pratista), Paibon, atau Pelinggih Hyang Kompyang. Kebutuhan akan hal ini telah mengalahkan kebutuhan lainnya, seperti: pendidikan, kesehatan, Asuransi termasuk bantuan kepada fihak lain yang membutuhkan (Dana Punia), sehingga terkesan pola kehidupan ini sangat pribadi bahkan cendrung egois. Tetapi itulah cara mereka menunjukkan bhaktinya pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan, apakah hal ini dibenarkan ajaran Weda, mari kita cermati bersama-sama.

Fenomena lainnya yang tidak kalah serunya adalah : Pemanfaatan Balian Kodal, metuunang, me-peluasan, sebagai tempat bertanya tentang keleluhuran atau jika mereka menghadapi masalah baik ekonomi atau kesehatan. Apakah ini pengejawantahan dari ketidak percayaan mereka pada tokoh agama atau Sulinggih atau karena mereka mencari jalan pintas akibat tidak tahan menghadapi kehidupan yang semakin sulit ? hal ini menjadi tidak jelas, namun faktanya sebagian besar masyarakat ini melakukannya. Secara umum hasil metuunang ini akan mengatakan, bahwa : Leluhur kepanesan, masih terikat (Nu Metegul di-kedituan), belum dapat tempat (Konden maan tongos), dan bentuk penjelasan lainnya yang menyatakan Hyang Kompyang masih bermasalah, sehingga keturunannya (Damuh) ikut panas di Mayapada (Dunia) yang berakibat ekonomi seret, sakit-sakitan, ribut dikeluarga atau ribut dengan tetangga, sehingga sering muncul kalimat ”Irage kesalahang Hyang Kompyang atau kesalahang Kawitan (Kita dihukum Leluhur)”, dan untuk mengatasi hal itu banyak yang kemudian mengikuti petunjuk Jero Balian untuk membuat Banten tertentu atau bagi yang belum Ngelinggihang atau membuat Stana Leluhur biasanya diminta merealisasikannya, dimana semua itu mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk minta ampura kepada Hyang Kompyang. Yang menjadi pertanyaan adalah : Apakah Hyang Kompyang itu begitu kejam, sehingga keturunannya sampai dihukum seperti itu ? apakah leluhur itu yang sudah merage Dewa Hyang mempunyai sifat pemarah atau pendendam? ini perlu dijelaskan baik oleh tokoh agama maupun para Sulinggih.

Atas pemaparan diatas, jika kita mencoba mencari penjelasan logis (dengan Wiweka) atau penjelasan atas dasar Weda, atas permasalahan diatas, maka ada point-point yang bisa diambil, seperti : kenapa mereka datang ke Balian Metuunang, kenapa mereka berpaling ke Hyang Kompyang (Leluhur) jika ada masalah ekonomi atau kesehatan, dan kenapa mereka mengeluarkan uang yang besar untuk banten ? ini karena mereka belum menghayati pengertian ”Bhakti” yang merupakan bagian dari ajaran Catur Marga atau pengertian ”Putra” yang berasal dari Pum dan Trayate atau ”Penyebrang Dosa Orang Tua”. “Bhakti” adalah bentuk kepasrahan sejati kehadapan Hyang Widhi atau Bhatara Kawitan tanpa mengharapkan balasan apapun atau tanpa pamrih, sehingga orang tersebut pantas disebut dengan “Bhakta”. Walaupun masyarakat Hindu di Bali dikenal oleh orang luar sangat Bhakti pada Hyang Widhi dan Leluhur, tetapi bhakti seperti apa yang telah dilakukan, jangan-jangan baru pada tingkat “Me-bhakti” atau hanya baru pada tingkat melaksanakan belum sampai penghayatan dari hati yang terdalam. Apakah setiap ada masalah lalu datang ke Hyang Kompyang membuat banten dan berharap setelah itu hutangnya lunas, sakitnya sembuh, atau kehidupannya tenang ? bukankah itu ”pamrih” namanya. Contoh yang gampang untuk mengenal bhakti seperti ini adalah Bhakti pada ayah ibu karena beliau adalah leluhur yang terdekat. Jika kita bhakti pada ayah ibu dengan harapan agar diberikan uang atau imbalan materiil lainnya, itu bukan bhakti yang sejati. Bhakti yang benar adalah berupa kepasrahan yang utuh kepada ayah-ibu juga leluhur tanpa mengharapkan imbalan bahkan mendoakan agar ayah-ibu juga leluhur memperoleh ketenangan, bukan malah meminta leluhur memberikan sesuatu ketika kita mengalami kesulitan, namun mohonlah tuntunan pada Hyang Widhi atau Bhatara Kawitan karena kepada beliau kita dibenarkan memohon dan itupun jika perlu, karena tidak setiap bhakti harus disertai permohonan. Tindakan ini akan menyebabkan kita lega, lapang dada, tenang sehingga bisa berpikir jernih untuk menghadapi kehidupan sehingga muncul ide-ide yang baik dan benar bagaimana menghadapi kesulitan ekonomi, masalah kesehatan, dan sebagainya. Itu contoh Bhakti, lalu bagaimana jika Logika (wiweka) yang kita pergunakan ? Ketika kita menghadapi kesulitan ekonomi kemudian kita membuat banten yang besar-besar, membuat Pelinggih yang megah, apa yang terjadi ? uang kita semakin terkuras dan bisa jadi hutang bertambah, jangan-jangan sesudah itu Hyang Kompyang lagi yang disalahkan jadi penyebabnya lalu datang lagi ke Balian Metuunang disuruh buat banten lagi, maka semakin susah hidup ini. Seharusnya yang pertama dilakukan dalam situasi seperti ini adalah ”Ngelinggihang di hati”. Puja terus Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan hingga Melinggih di dalam hati kita, jika dikemudian hari keuangan cukup lakukan Bhakti dengan membuat Pelinggih beliau berupa : Meru, Paibon, atau Pelinggih Hyang Kompyang sehingga keluarga besar bisa melakukan Puja Bhakti dengan lebih baik. Bagaimana dengan peran “Putra” (sentana atau anak keturunan) ? Putra adalah penyebrang dosa orang tua, maka anak yang berbhakti atau anak yang su-putra akan menjadi penyebrang dosa orang tua atau leluhur, demikian sebaliknya terhadap anak yang durhaka akan berakibat buruk pada leluhur atau orang tua, ini jelas disebutkan dalam ajaran Weda. Jadi … kesimpulan dari semua itu ada pada “Karma” sesuai ajaran Karma-Phala, jika kita melakukan kebaikan dalam kehidupan ini, maka pahala kebahagiaan akan kita peroleh semasih hidup (Jagadhita) atau sesudah mati (Moksartam), maka jadilah orang yang menganut ajaran Tri Kaya Parisudha dan hindari mendakwa leluhur itu sebagai penyebab masalah kita apalagi karena atas petunjuk Jero Balian.

Untuk renungan, mari kita melihat bagaimana bhaktinya Sang Dasarata - Raja Ayodya (Ayah Kresna) seorang tokoh panutan disegala jaman yang sangat menghormati leluhurnya. Disebutkan pada sebait Kekawin Ramayana sbb :

Gunamanta Sang Dasarata, Wruh sira ring Weda bhakti ring Dewa
tar malupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh

Raja Ayodhya itu adalah ahli Weda, seorang bhakta (pemuja Tuhan yang taat), tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya. Mungkin karena kualitas Dasarata itu pulalah, maka Dewa Wisnu memilih Raja Ayodya itu sebagai „Ayah“-Nya di dunia ini seperti disebutkan dalam Kekawin Ramayana, “Sira ta triwikramapita/Pinaka bapa Bharata Wisnu mangjanma“.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)