SERINGLAH BERDIALOG DENGAN HATI NURANI
Kekuatan Pikiran dan kekuatan Rohani adalah dua hal yang harus seimbang dimiliki oleh manusia. Sengaja kata “Kekuatan” yang dijadikan awalan dua hal penting diatas supaya manusia merasa punya sesuatu yang diandalkan, namun yang ingin dijelaskan disini adalah bagaimana menyeimbangkan Pikiran dan Rohani agar memberi manfaat buat diri sendiri dan orang lain.
Penulis sangat mementingkan keharmonisan hubungan antar manusia dilihat dari “manusianya” bukan dari keluarga mana dia, apa agamanya, apa statusnya dalam masyarakat, dll. sangat terasa keindahan hubungan antar manusia itu ketika tinggal di Jakarta/Bekasi, beberapa kawan yang dari berbagai agama, seperti Islam, Kristen,Katolik, Budha, dan juga Hindu, bisa ber-interaksi dengan baik, bahkan selalu menemukan titik temu jika berdiskusi masalah keyakinan, karena titik tolak kita adalah “hati nurani”. Penulis sangat bisa merasakan , bahwa apa-apa yang tertuang dalam ajaran agama yang merupakan Wahyu Tuhan dan tertuang dalam berbagai Kitab Suci dapat diperoleh kalau kita sering berdialog dengan hati nurani. Ajaran Catur Warna (yang pernah diselewengkan menjadi Kasta) perlu diluruskan. Seperti di India sana dulu masih dijumpai larangan bagi umat yang bukan Brahmana untuk membaca Weda. Jadi hanya Brahmana yang boleh membaca Weda. Menurut penulis pengertiannya bukan demikian. Jika manusia ingin memperoleh ajaran Weda, maka berlakulah seperti Brahmana yaitu dengan mengasah kekuatan Rohani. Pada saatnya nanti, maka kita akan memperoleh “Password” untuk memperoleh Weda didalam hati nurani. Hal ini bukan berarti kita mengabaikan untuk membaca Kitab Suci Weda (Sruti dan Smerti). Pemahaman tentang Weda melalui buku tetap harus dilakukan karena tidak semua umat mampu masuk kealam rohani sehingga penyampaian ke umat tetap harus ada landasannya atau referensi Kitab suci Weda.
Diatas disampaikan, bahwa penulis memperoleh kenikmatan hubungan antar-manusia dengan memandang manusianya, tetapi ketika masuk ke agama penulis sendiri (Agama Hindu) yang sangat kuat pengaruh adatnya, masih ada kebodohan mengenai kasta, masih ada sifat mengagungkan diri, terlihat ada kekuatan yang melebihi kekuatan Rohani, yaitu “Kekuatan Pikiran”. Kekuatan pikiran ini mendorong manusia mengikuti hawa nafsu jika tidak diimbangi atau dikendalikan kekuatan rohani. Banyak umat yang mengangap dirinya atau kelompoknya merupakan keturunan ter-mulia yang sesungguhnya ketidak tahuan dan kebodohan mereka, karena kekuatan pikirannya (Ego) melebihi kekuatan rohani. Ada “Pandita” yang menyebut diri Brahmana karena sudah memakai gelar, salah menempatkan dirinya. Seorang Pandita adalah lintas golongan, karena dengan “Dwijati” sudah lahir yang kedua dari Brahman sehingga disebut Brahmana Tetapi yang terjadi adalah masih masuk kedalam organisasi umat dan mengelompokkan diri. Penulis sempat berbeda pendapat dengan kawan tentang seorang Pandita yang ngetop di Bali karena pintar dan punya selera humor tinggi yang katanya punya wawasan jauh, orang pintar bicara itu banyak, politikus kita banyak yang pintar bicara, bahkan tukang obat juga pintar bicara, jika beliau berbicara masalah ajaran agama, kita bisa baca sendiri, tetapi yang penting buat adalah “bagaimana rohaninya ?”, apakah beliau sudah bisa menempatkan dirinya sebagai “Sulinggih” dimana harus mampu mengayomi umat secara keseluruhan, bukan malah meng-kotakkan umat dan mempertahankan statusquo. Penulis sangat menghormati beliau Ida Pedanda Oka Puniaatmaja ketika mendampingi beliau sebentar ketika beliau ada di Solo bersama-sama dengan Para Mpu, penulis menghormati Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, karena beliau sangat mengerti arti “Manusia” dimata Ida Sanghyang Widi Wasa. Beliau menanda-tangani Bhisama tentang Pemurnian ajaran Catur Warna”, Beliau-beliau ini yang menurut penulis sudah memiliki “Pasword” untuk masuk ke hati nurani sehingga setiap langkahnya akan dituntun oleh ajaran Weda yang ada di hati nurani beliau.
Sesungguhnya tidak menyenangkan masuk kewilayah pembicaraan ini karena penulis menitik-beratkan pada hubungan antar manusia, tetapi karena ini terlihat pada masyarakat penulis sendiri (Bali) dan melihat juga hal ini ditempat lainnya, sehingga ada kerikil-kerikil yang harus disingkirkan agar terjadi “Keharmonisan hubungan antar manusia”. Apalagi umat Bali yang berada di Jawa, tidak seharusnya membawa hal itu dari Bali, karena banyak PR kita untuk pengembangan umat di Jawa yang sangat membutuhkan peran aktif kita. Sebagai akhir kata penulis mengajak “Mari berdialog dengan hati nurani karena disana ada kedamaian”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Jeten, Karanganyar-S o l o
13-08-2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)