Senin, Agustus 03, 2009

MAKNA KEBERADAAN
PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN-KARANGANYAR-SOLO


Menyambut Piodalan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang kali ini jatuh pada tanggal 10 September 2003, atau pada Purnama Katiga, ada hal penting yang mengetuk hati penulis untuk mengungkap makna keberadaan petilasan ini dari sisi “Bhakti pada Leluhur”.

Keberadaan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan sejak diterimanya petunjuk oleh Jro Gede Ketut Subandi (Almarhum) pada 9 Maret 1984, yang diceritakan pada penulis dan pengembangan selanjutnya yang dipelopori Pandita Mpu Nabe Pemuteran dan Bapak I Ketut Nedeng (Dipugar secara besar th.2000, pemugaran sederhana 1986), menimbulkan bermacam-macam pertanyaan akan keberadaannya.

Petilasan ini sendiri berada di Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Desa/Kec.Karangpandan, Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah . sebuah desa kecil dilereng Gunung Lawu. Nama “Pasekan” adalah nama Dukuh ini yang sudah dipakai sejak dulu. Nama ini relevan dengan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan sendiri yang merupakan “Trah Mpu Ketek” yang merupakan yang tertua dari “Sang Sapta Pandita”. Sapta Pandita ini sanak keturunannya dikenal dengan “Warga Pasek “ (Pasek, Bendesa,Tangkas). Pemilik tanah tempat Petilasan ini berada beberapa kali menolak orang yang ingin memugar petilasan ini karena beliau mendapat petunjuk untuk menunggu “Trah” beliau dari Bali yang akan menata tempat ini. Diceritakan oleh Jro Gede Ketut Soebandi, bahwa Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dulu adalah “Purohita/Rohaniawan” kerajaan Surakarta. Paku Bhuwono XII adalah juga yang menanda-tangani Prasasti Petilasan ini pada bulan September 2002. Kata “Pasek” sendiri berarti “Paku/Pacek”. Keterlibatan terhadap keberadaan Petilasan ini adalah juga dari fihak Mangkunegaran (sekitar tahun 1986) , dibuktikan oleh adanya pengalaman spiritual yang dialami oleh salah seorang keluarga Mangkunegaran seperti yang diceritakan oleh Bapak I Ketut Nedeng yang mengalami sendiri hal itu. Keterlibatan Paku Bhuwono dan Mangkunegaran, masih bisa dikaitkan dengan Sang Sapta Pandita. “Mpu Wiradnyana” (Saudara ke-tiga dari Sapta Pandita) keturunannya beberapa tingkat adalah “ Mpu Purwa dan saudara perempuannya “Ken Dedes”. Mpu Purwa kemudian menurunkan warga Pasek di Bali yang dikenal dengan “Pasek Tatar”. (Ir. Soekarno/Presiden I RI adalah Trah Pasek Tatar). Sedangkan Ken Dedes kemudian menurunkan Raja-Raja dan keturunannya di tanah Jawa, seperti : Paku Bhuwono, Mangkunegaran, Hamengku Bhuwono, Paku Alam.

Jika kita berbalik kebelakang pada masa “Sang Panca Tirta” (Mpu Gnijaya, Mpu Ghana, Mpu Semeru,Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah), dimana kecuali Mpu Bharadah, keempat beliau ini ke Bali menjadi Purohita pada pemerintahan “Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa (988-1011 Masehi). Keturunan Mpu Gnijaya (Tertua dari Panca Tirta), adalah Sang Sapta Pandita. Beliau ini memiliki wawasan yang jauh kedepan dalam rentang kurun waktu ratusan tahun. Ini dibuktikan oleh apa yang dilakukan beliau-beliau terhadap sanak keturunannya dimana mempunyai makna “Penyiapan diri untuk bhakti pada leluhur sesuai dengan jati-diri trah Sapta Pandita”.

Penyiapan diri yang juga mengandung kewaspadaan terhadap sanak keturunannya bisa disampaikan sebagai berikut.

Untuk mengikat sanak-keturunannya, maka dikeluarkan “Bhisama” (Pesan sakral dari leluhur) yang intisarinya :
• Keturunan Sapta Pandita tidak boleh menganggap satu sama-lain lebih jauh dari sepupu.
• Keturunan Sapta Pandita wajib bhakti pada Leluhur dan merawat “Parhyangan” leluhurnya dimanapun berada.

Jika sanak keturunannya melanggar hal itu, maka akan membawa sengsara dalam kehidupan, baik dari sisi ekonomi dan keharmonisan rumah-tangga, ada juga yang tidak sadar akan dirinya dan bangga menyebut diri “Parekan (Abdi)” padahal mereka adalah Trah Mpu Gnijaya Sang Brahmana-Jati. Tetapi sebaliknya jika bhakti pada leluhur akan memperoleh keharmonisan di keluarga dan dimasyarakat. Budaya “Sungkem” ini juga dilakukan di masyarakat Jawa. Untuk tidak menghilangkan jati diri sanak keturunannya, maka keturunan Sapta Pandita dididik untuk menuliskan dalam rontal secara terus menerus, sambung menyambung dan menurunkan serta membuat lagi untuk sanak-keturunannya yang lain. Jika dijaman sekarang ini dalam IT (information Tecnology) dengan media Computer, beliau sudah mengaplikasikan “Program Visio”. Sehingga dibeberapa keluarga besar Warga Sapta Pandita memiliki Prasasti (Rontal) yang isinya sama tentang keleluhuran dengan Warga Sapta Pandita yang lain.

Hal yang diwaspadai oleh Sang Sapta Pandita terbukti, beberapa ratus tahun kemudian yaitu sekitar abad 14-15 Masehi dan sudah mulai sebelumnya, terjadi cobaan terhadap Trah Sapta Pandita. “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” yang menjadi Raja Bali (Gelgel-Klungkung) , akhirnya tidak bisa meneruskan Tampuk kerajaan pada keturunannya, bahkan dengan 6 (enam) putranya yang masih kecil beliau kemudian meninggalkan kerajaan Gelgel. Dikemudian hari 6 (enam) putranya ini tersebar di enam tempat, seperti : Mandwang, Sangkanbuana, Songan, Pegatepan, dll. selanjutnya menurunkan Warga Pasek Gelgel dan Bendesa . Pasek Gelgel sendiri merupakan keturunan dari “Mpu Withadarma” (saudara ke-empat dari Sapta Pandita). Sesudah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel meninggalkan kerajaan, maka mulainya Era “Dalem” yang memimpin kerajaan Gelgel. Cobaan lainnya adalah dengan banyak dimusnahkannya prasasti sebagai lelintihan Trah Sapta Pandita, tapi seperti cerita Sesepuh Warga Sapta Pandita, dibakar satu kranjang masih ada dua kranjang, ini semua karena “Kewaspadaan” Sang Sapta Pandita” pada sanak keturunannya, dan ini adalah bukti cinta-kasihnya pada sanak keturunannya.

Ada persiapan lainnya dari Sang Sapta Pandita untuk sanak-keturunannya khususnya yang ada di Tanah Jawa. Seperti diketahui jika “Sang Panca Tirta” (kecuali Mpu Bharadah) menetap di Bali, Sang Sapta Pandita justru di Jawa, yaitu di “Kuntuliku Desa” (diperkirakan sekitar Malang atau Kediri). Walaupun pada jamannya beliau sering pulang-pergi Jawa-Bali untuk bhakti pada parahyangan leluhurnya yang berada di Bali. Kenapa beliau menetap di Jawa , apa sebenarnya yang ingin beliau persiapkan terhadap sanak-keturunannya ?. Jika kita kembali ke Jaman Runtuhnya Kerajaan Majapahit. Raja terakhir Majapahit (Brawijaya) meninggalkan kerajaan dan pergi kesekitar Gunung Lawu – Karanganyar Jawa Tengah, karena putra beliau sebagai penerus kerajaan, telah dididik dengan faham lain di Sumatra. Prabu Brawijaya terakhir, kemudian dikenal dengan “Sunan Lawu”. Mahapatih Majapahit yang setia, Sabdapalon-Nayagenggong, kemudian melaksanakan “Upacara Agnihotra” dan bersumpah, bahwa kejayaan Majapahit akan kembali 500 tahun kemudian. Sekarang adalah saat dimana kejayaan itu kembali, yaitu “kembali ke jatidiri / kembali ke rohani”, Hal ini bukan berarti terjadinya penggantian faham secara besar-besaran, karena sesungguhnya semua agama adalah mengajarkan kebaikan, tetapi setiap penganutnya akan diuji kemapanannya akan keyakinan dirinya seperti yang terjadi pada jaman runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada saat seperti sekarang dimana manusia sudah jauh dari ajaran agamanya yang berarti jauh dari hati nurani sehingga sudah tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah, bahkan tidak merasa berdosa menghilangkan nyawa orang lain. Pada saat seperti ini, maka perlu peran “Rohaniawan” untuk meluruskan hal itu agar manusia kembali ke jati-dirinya. Apa bentuk Bhakti Leluhur yang dipersiapkan oleh Sang Sapta Pandita apakah semua keturunannya harus jadi Pendeta ?. Rohaniawan adalah menjadikan rohani sebagai dasar perjuangannya apapun profesinya karena rohani akan mengajarkan “kebenaran”. Bagi sanak-keturunan yang bhakti pada leluhur, maka akan dilibatkan dalam meluruskan yang salah untuk kesejahtraan umat manusia. Sebagai Trah Sapta Pandita, maka mempunyai cirri-ciri : Cocok menjalani kehidupan rohani, tetapi juga pendebat yang keras. Untuk itu “Sangat penting untuk terlibat dalam kehidupan kesejahtraan masyarakat secara benar, sesuai dengan kemampuannya, sebagai tanda bakti pada leluhur”.

Penulis,

Nyoman Sukadana
(Pasek Tatar-Sapta Pandita)
Jaten,Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
09-09-2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)