Senin, Agustus 03, 2009

FENOMENA ”KERAUHAN” DI MASYARAKAT

Kerauhan, kerangsukan, kodal, atau apapun istilahnya merupakan Fenomena di masyarakat yang telah menjadi bagian kehidupan kita. Kerauhan ini juga dikenal di negara-negara lain termasuk di negara barat yang cara berpikirnya sudah ilmiah, bahkan fenomena yang menarik sekarang ini para eksekutif mulai dari pengusaha, pejabat, dan lainnya ada yang memanfaatkan media kerauhan ini untuk kepentingannya. Kerauhan ini bisa dialami oleh setiap orang dan bagi seorang Sulinggih merupakan pantangan untuk Kerauhan, tetapi siapa yang bisa menjelaskan kenapa ?. Dewasa ini juga ada fenomena masyarakat yang menggunakan pesan dalam kerauhan untuk melakukan sesuatu, seperti dari Bali pergi ke Jawa karena konon di Jawa perlu ritual di Semeru (Kepala), Candi Ceto (Badan), dan Gunung Salak (Kaki) walaupun tidak tahu apa makna kepala, badan, dan kaki ini, apakah itu Hyang Widhi atau apa, tidak jelas, namun yang jelas terlihat adalah terjadinya dominasi ritual dari Bali ke Jawa dan kepentingan prestise serta bisnis pariwisata. Kembali ke Kerauhan, sebagian masyarakat memberi ”Konotasi” tentang Kerauhan adalah kehadiran Bhuta Kala, tetapi apakah benar ”Kerauhan” itu pasti kedatangan Bhuta Kala tidak ada yang bisa menjawab secara pasti bahkan juga oleh kita yang melemparkan pendapat itu. Namun sekedar melihat atau mengamati, maka ada beberapa hal yang bisa dijadikan pagangan.

Kerauhan ini umumnya bisa dialami oleh kelompok masyarakat, seperti : Mereka yang mendalami kegiatan spiritual/kebatinan, umumnya dilengkapi dengan kemampuan pengendalian diri ketika kerauhan, mereka yang secara keturunan atau fungsinya mengharuskan kerauhan, seperti : Balian Dasaran, tukang ”Naret” (Menusuk keris/tombak ke badan saat ritual Yadnya), dlll, dan terakhir mereka yang lemah pshykis sehingga mudah kerauhan dan umumnya tidak sadar akan dirinya saat kerauhan. Para praktisi spiritual dan Pinandita ada yang bisa kerauhan. Jika Pinandita menjadi muncul kepekaannya karena kesehariannya menjalankan fungsinya, praktisi spiritual umumnya diawali oleh bantuan guru atau orang yang lebih senior atau karena melakukan laku spiritual misalnya meditasi ke tempat-tempat sakral, puasa, dan lain-lain. Yang paling penting adalah orang tersebut punya bakat (talenta) ini akan mempercepat proses. Berikut adalah pertanyaan : Kerauhan siapa ?, bhuta kala atau apa ?. point ini adalah sesuatu yang abstrak dan bersifat ”keyakinan” sehingga tidak bisa memaksa atau dipaksakan pada setiap orang, bakat/talenta dan tingkat kesucian seseorang sangat besar perannya disini. Beberapa orang yang berbeda bisa kerauhan dengan tingkat alam spiritual yang berbeda. Ada ciri-ciri yang kasat mata bisa dijadikan sedikit pedoman, walaupun tidak sepenuhnya seperti itu karena rahasia alam ini adalah kekuasaan Hyang Widhi dimana tidak semua orang tahu sepenuhnya. Bhutakala /perancangan biasanya menuntut sesuatu kepada kita, seperti : segehan, kadang telor, anak ayam, tuak, dll. gerakan tubuhnya juga biasanya beringas. Jika leluhur biasanya mengandung pesan-pesan . Pertanyaannya mungkinkah getaran ”Dewa” seperti misalkan ”Dewa Wisnu” rauh ke seseorang ?. Seperti disebutkan dalam kitab suci Dewa berasal dari kata ”Dev” yang berarti sinar, jadi ini adalah Hyang Widhi tetapi dalam wujud (murti), sedangkan pada manusia ada Atma yang sama dengan Paramaatma, jadi pada tingkat kesucian seseorang yang baik, sangat mungkin sinar Hyang Widhi menyatu pada orang tersebut, walaupun tidak harus dalam bentuk kerauhan seperti yang biasa kita lihat dengan aktifitas fisik tetapi lebih banyak aktifitas rohani/batin.

Yang perlu digaris bawahi adalah umat sebaiknya tidak menjadikan ”Ngerauhang” sebagai bagian utama ketika akan melaksanakan suatu ritual, misalnya ”Ngaben” karena belum tentu apa yang disampaikan Balian Dasaran itu benar atau belum tentu yang datang itu adalah yang kita inginkan seperti orang tua yang akan di Aben. Lebih banyaklah merujuk kepada Sastra Agama, bahwa mereka yang sudah meninggal sudah berbeda alam dengan kita sementara Ngaben adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan dan dasar sastra agamanya ada sehingga tidak perlu meminta petunjuk Jro balian pun Ngaben itu tetap baik dan harus dilakukan. Masalah biaya ?, banyak Sulinggih yang sudah memberikan jalan dengan biaya murah tetapi tidak menyalahi sastra agama. Bagi praktisi spiritual perlu berhati-hati jika mengalami atau melihat orang kerauhan karena ini hal niskala yang tidak setiap orang mengerti, tanda-tanda yang disebutkan diatas sedikit banyak bisa membantu untuk menilai apakah orang kerauhan itu perlu didengar/diperhatikan atau diabaikan saja.

Sesungguhnya manusia itu tidak ada apa-apanya hanya Hyang Widhi yang kuasa dan punya kemampuan, namun manusia bisa menjadi ”Perantara” baik pada tingkat Bhutakala, leluhur, orang suci, tingkat Bhatara, serta tingkat Dewa, itu semuanya kekuasaan Hyang Widhi. Semoga kedepan kita dapat melihat lebih jernih terhadap ”Kerauhan” itu sendiri dan menjaga kesucian diri melalui pengamalan Tri Kaya Parisudha sehingga Hyang Widhi selalu bisa hadir (Rawuh) kedalam diri kita dan menuntun keseharian kita, bukannya bhutakala yang menjadi komandan, sehingga dengan kesucian kita menjadi orang yang : rendah hati, tenggang rasa, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan rukun dengan prinsif ”Vasudewa Kutumbakham” (semua mahluk dialam semesta ini adalah bersaudara).


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar/Solo-Jateng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)