Senin, Mei 03, 2010

AGAMA sebagai AGEMAN

“Agama Hindu” oleh para ahli disebutkan lahir 1.500 Sebelum masehi, ada yang menyebut 6.000 tahun Sebelum Masehi, dan seterusnya, ini hanya merupakan petunjuk saja dan suatu cermin pada tingkat pengetahuan yang diyakini oleh para ahli tersebut. Diyakini, bahwa Hindu sudah ada sejak kehidupan ini ada sehingga disebut “Sanathana Dharma” atau secara terjemahan bebas merupakan sumber mata air yang merupakan sumber dari segala keyakinan yang ada. Sebagai mata air, maka Sanathana Dharma ini mengalir ketempat yang lebih rendah, menyebar mengikuti aliran sungai yang ada dan berbelak-belok mengikuti setiap sungai yang dilalui yang mempunyai bentuk dan aliran yang berbeda. Aliran sungai yang berbeda ini bagi Sanarhana Dharma akhirnya membentuk tradisi-tradisi yang berbeda pada setiap tempat namun mempunyai sumber mata air yang sama, sehingga tidak menutup kemungkinan, bahwa keyakinan yang ada sekarang ini bersumber dari satu yaitu “Sanathana Dharma”. Aliran sungai Sanathana Dharma juga mengalir di Nusantara, bahkan di Nusantara inipun kemudian menjadi berbeda sesuai dengan tempat atau daerahnya, namun sekali lagi tetap dengan air dari sumber yang sama, inilah yang kemudian kita sebut Agama Hindu.

Dengan pemahaman diatas, maka Hindu dengan ciri tradisi Bali juga ciri ditempat lain seperti di Jawa dengan tradisi Jawanya, perlu dimaklumi oleh kita dan tidak perlu dipermasalahkan. Ketika tradisi menjadi dominan apalagi didaerah tersebut mayoritas penduduknya beragama Hindu, maka tradisi beragama ini kemudian memanfaatkan kebijakan pemerintah daerah sehingga sangat wajar jika Perayaan Nyepi di Bali misalnya, bisa dilaksanakan dengan Catur Bratha Penyepian secara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, khususnya dengan umat tidak boleh keluar (Amati Lelungaan), juga tidak menyalakan lampu (Amati Geni) kecuali karena sesuatu hal yang bisa dimaklumi. Bagi umat Hindu diluar Bali yang bukan mayoritas, maka memanfaatkan kebijakan pemerintah menjadi tidak mudah tetapi makna ajaran agama tetap masih bisa dilaksanakan, seperti ketika Nyepi, umat di Jawa banyak yang mengunjungi tempat suci (Candi, Pura, Petilasan) dan melaksanakan Brata Penyepian dengan baik. Ketika tradisi didaerah yang dominan dilaksanakan dengan utuh (Bhuwana Agung & Bhuwana Alit), maka sudah pasti akan menyentuh umat lain yang non Hindu, namun dengan penjelasan yang baik oleh pemerintah atau pemuka agama, maka seharusnya tidak menimbulkan masalah secara prinsif. Kekhawatiran akan ketersinggungan umat beragama lain, misalnya umat muslim sehingga akan menimbulkan effek contra didaerah lain sebaiknya tidak kita tanamkan pada diri kita karena organisasi umat muslim itu banyak seperti : NU, Muhamadiyah, dan lainnya dimana mereka punya sifat toleransi yang tinggi. Jikapun ada pertentangan itu bersifat personal karena pemahaman umat beragama apapun tentu ada tingkatannya, jadi agar jangan dicampur adukkan, jangan disama-ratakan atau bahasa Jawanya jangan di gebyah uyah. Sudah waktunya tradisi beragama ini lebih banyak penekanan kedalam diri dibandingkan keluar diri termasuk tidak semata-mata memfokuskan pada tradisinya, sehingga sudah selayaknya kita menjadikan dan memaknai “Agama sebagai Ageman”.

Sebagai “Ageman” atau pegangan, maka agama akan menuntun manusia menjadi lebih baik atau dalam bahasa pengendalian diri akan menjaga manusia agar tidak liar. Jika tradisi mempunyai perwujudan fisik yang berbeda, maka sebagai ageman agama memiliki tujuan yang sama yaitu : Terciptanya kebahagiaan pada diri kita dan sekitarnya sebagai mahluk yang sama-sama ciptaan Tuhan. Dengan motivasi kebahagiaan ini, maka kita tidak akan melakukan perbuatan yang menyebabkan kita dan sekitarnya menjadi tidak bahagia, kita akan selalu terdorong secara terkendali untuk menebarkan benih-benih kebahagiaan disekitar kita, akhirnya kita tidak perlu menumbuhkan kecurigaan kepada pemeluk agama lainnya jika kita mendasarkan pada hati nurani yang baik. Para peneliti barat sudah mempelajari, bahwa konsep berpikir yang baik akan memantulkan kebaikan kembali kepada kita karena manusia memiliki medan magnet. Jika kita memikirkan hal positif maka magnit positif ini akan menarik hal-hal positif kearah kita, sebaliknya jika kita berpikir negative, maka kembali medan magnet yang bersifat netral ini akan menarik hal negative kearah kita, jadi semuanya terserah kepada kita. Jika kita berdiri didekat tebing dan berkata “saya hebat”, maka akan memantul kata yang sama kearah kita “saya hebat” (bukan pujian buat kita), tetapi jika kita mengatakan “anda hebat”, maka kata yang memantul akan menyampaikan kepada kita “Anda hebat”. Contoh diatas adalah ajaran Karma Phala yang dipaparkan secara moderen dan universal. Selanjutnya “Agama sebagai Ageman”, akan menjadikan kita menjadi lentur, dimana kita bisa berada dalam tradisi beragama apapun. Kita akan nyaman berada diacara teman yang non Hindu, dan kita akan damai berada disekitar teman yang melakukan tradisi Hindu secara India, orang Bali akan bahagia berada dilingkungan umat Hindu yang melaksanakan tradisi Jawa, dan kita juga akan terkendali dan tidak terpengaruh berada disekitar orang yang tidak beragama sekalipun, bahkan mungkin akan menularkan hal positif kesekitar kita. Jika kita dijaman teknologi ini sudah umum memiliki pegangan hasil teknologi berupa handphone, maka Ageman juga bisa memberi “alarm” kepada kita untuk “eling lan waspodo”, kita juga perlu “Call” Sang Pencipta ketika kita dalam kekalutan, dan akhirnya menerima “sms” berupa anugrah yang berlimpah karena telah mengikuti ageman dengan baik. Akhirnya, apapun yang kita lakukan semoga tidak menyimpang dari “Ageman”. Om Sriyambhawantu (semoga kebahagiaan menyelimuti diri hamba), Sukhambhawantu (semoga kesenangan menyelimuti diri hamba), Purnambhawantu (semoga kesempurnaan menyelimuti diri hamba).




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
14-04-2010
PEMUDA HINDU SURAKARTA MENGIKUTI
JAMBORE KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
KOTA SURAKARTA

Sejak 28 September 2005 selama 3 hari dilaksanakan ”Jambore Kerukunan Antar Umat Beraga Kota Surakarta” di Stadion Manahan Surakarta, yang ditutup pada 30 September 2005. Acara Jambore dibuka oleh Walikota Surakarta Joko Widodo. Acara ini merupakan acara rutin yang dilakukan setiap tahun dan kali ini merupakan yang kelima kalinya. Penyelenggaraannya dilakukan sekitar bulan Agustus – Oktober agar tidak berbenturan dengan kegiatan test atau ulangan karena sebagian besar pesertanya adalah pelajar. Acara ini diselenggarakan oleh Dinas Kesra Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKPPKB) dengan Penanggung jawab Dra.Sukriyah. Peserta Jambore berjumlah 150 orang yang terdiri dari Komponen Pelajar, Mahasiswa, Karang Taruna, dan Pramuka. Peserta dari Hindu = 10 orang, Budha = 10 orang, Muslim = 60 orang, Kristen = 20 orang, Katolik = 20 orang, dan sisanya Karang Taruna dan Pramuka. Acara diisi dengan Ceramah dan Diskusi diantara peserta dengan Narasumber, tentang : Peran Generasi Muda, Napza (penggunaan obat terlarang), Gender dan kekerasan pada anak, reproduksi, pendidikan perdamaian, dan dialog dibawakan oleh para tokoh 5 (lima) agama. Acara seperti ini menjadi sangat penting dilakukan, seperti yang disampaikan penanggung jawab pada penutupan acara agar terjadi kerukunan antar umat beragama khususnya di Kota Surakarta sebagai kota dengan image ”Sumbu Pendek’ (mudah tersulut). Dengan kegiatan ini semoga Surakarta menjadi kota yang tenang dan rukun diantara pemeluk agamanya.

Pemuda Hindu Surakarta pada acara ini mengirim peserta dengan mengambil siswa klas I dan II SLTA yaitu : SMA 3, SMA 4, SMA 5, SMA Murni, dan SMA Warga. Siswa Klas III memang sengaja tidak diikutkan agar tidak mengganggu persiapan ujian. Wakil Hindu kali ini dibawah Pimpinan Pinandita Bagiadi, dengan koordinasi oleh PHDI Surakarta dibawah pimpinan Dr.Made Setiamika dan Sekretaris Ida Bagus Suarnawa. Pemuda dan remaja Hindu di Surakarta cukup banyak jumlahnya sehingga perlu diberi pembinaan dan kegiatan keagamaan yang positif, yang diperlukan adalah dukungan orang tuanya demikian disampaikan oleh Sekretaris PHDI Surakarta. Dari komponen Umat Budha juga hadir mewakili Vihara Damma Suntara – Pucangsawit, Surakarta dan Vihara Lemah Abang Surakarta, dibawah pimpinan Ketua Majelis Agama Budha Teravada Cabang Surakarta – Pinandita Wirakusala Sekyono.

Pada penutupan acara seorang peserta membacakan Slogan dengan keras : ”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, beragama kita patuh”.


Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
30-9-2005.