Senin, Agustus 09, 2010

PERKEMBANGAN UMAT HINDU KARANGANYAR
JAWA TENGAH

Akankah Hindu akan berkibar kembali di Bumi Nusantara? Jawaban atas pertanyaan tersebut sering dikaitkan dengan ramalan, seperti : Ramalan Joyoboyo atau Sumpah Sabda Palon dan Naya Genggong, dimana ketika Brawijaya V (Majapahit terakhir) dan berakhirnya Dinasti Raja-Raja Hindu, diramalkan Hindu akan kembali berkibar di Bumi Nusantara. Apakah sekarang ini saatnya? persepsi tentang hal itu akan berbeda-beda, namun kita tidak perlu berdebat tentang hal yang merupakan kekuasaan Hyang Widhi, mari kita lihat bersama fenomena yang ada sekarang ini dimasyarakat secara nyata, real, facta. Wilayah Karanganyar merupakan kantong Hindu dengan penduduk asli suku Jawa yang cukup besar, namun itu sekitar tahun 1967, dewasa ini jumlah tersebut sudah merosot sangat jauh turun hampir separohnya sehingga berjumlah sekitar 6.000 (enam ribu) orang saja tersebar terbanyak di : Kec Ngargoyoso sekitar 2.000 orang, Kec Jenawi sekitar 1.500 orang, dan sisanya di kec. Mojogedang, dan Karanganyar Kota sekitarnya, dari keseluruhan umat Hindu Suku Bali hanya tidak lebih dari 10% yang berprofesi sebagai : Polisi, Karyawan Swasta, Dosen, Guru, dll. Walaupun demikian ada optimisme dari tokoh umat setempat yang menarik yaitu : “Jika dulu kita tinggi kuantitas tetapi rendah kualitas, maka sekarang ini walau rendah kuantitas tetapi tinggi kualitas”.

Untuk memberikan gambaran lebih jauh, maka disela-sela Rapat persiapan Piodalan Pura Pemacekan Karangpandan dimana banyak tokoh umat Hindu ini ikut dalam ke-Panitiaan, maka penulis menggali dari sebagian saja aktifis umat Hindu ini seperti : Sukiman dan Made Sabaryasa Guru Agama Hindu dari Kec. Jenawi, Suwarso (anggota PHDI) kec. Ngargoyoso, Nengah Rawi Guru Kec. Mojogedang, dan Sumarno Guru Agama Hindu dari Karanganyar Kota. Secara umum para umat ini sepakat, bahwa ”Perkembangan Umat Hindu di Wilayah Karanganyar masih perlu perhatian lebih baik” , dari pemerintah maupun lembaga umat Hindu serta para umat yang peduli terhadap kemajuan umat Hindu ini. Permasalahan umat Hindu ini bisa menjadi mewakili terhadap fenomena masyarakat Hindu ini diwilayah lain ex Kresidenan Surakarta, seperti : Solo, Karanganyar, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, dan Klaten, bahkan mungkin di wilayah lainnya di Jawa. Pada tahun 1967 – 1980 merosotnya umat Hindu di Karanganyar terutama karena persyaratan UU Perkawinan dimana untuk umat Hindu yang menikah perlu sampai ke catatan sipil sementara umat lain cukup sampai KUA (Kantor Urusan Agama) hal ini mengakibatkan banyak umat Hindu ini sampai pada KUA karena biaya yang tinggi untuk sampai ke Pencatatan Sipil dan akhirnya meninggalkan keyakinan leluhurnya. Dewasa ini hal seperti itu sudah tidak ada lagi karena di wilayah karanganyar sudah ada lembaga PHDI yang memberikan bantuan atas permasalahan perkawinan ini, namun bukan kemudian segala sesuatunya sudah baik. Para umat ini memaparkan bahwa masalah pokoknya adalah : Kesejahtraan umat yang sebagian besar petani dan buruh tani, masalah pendidikan, peningkatan pemahaman Hindu lewat darmawacana/darmatula, serta mengangkat ritual setempat (local genius) yang memenuhi sastra Hindu karena mereka umat Jawa bukan suku Bali. Dalam hal kesejahtraan ini, bisa dibantu lewat menyalurkan tenaga kerja atau bantuan ekonomis yang murah karena masih ada kejadian dimana untuk memperoleh pekerjaan kadang mereka harus meninggalkan Hindu. Dalam hal pendidikan memang sudah banyak peran guru Hindu namun menurut pengakuan para guru ini kami bukan pendarma-wacana mohon ada bantuan darmawacana atau darmatula yang rutin juga bantuan buku-buku Hindu. Dalam kegiatan ritual untuk fisik bangunan (Pura) boleh dikatakan sudah cukup hanya tinggal pemeliharaan atau tambahan sedikit-sedikit untuk lengkapnya sebuah Pura namun yang penting adalah memfungsikan Pura tersebut dalam kegiatan bhakti. Untuk kegiatan ritual berupa persembahyangan bersama mereka ada waktu pertemuan rutin umat atau Pinandita, seperti di Kec. Ngargoyoso pada Selasa-Wage, di Kec. Jenawi Selasa Kliwon. Moment ini dipergunakan mereka untuk meningkatkan sradha-bhakti kehadapan Hyang Widhi. Pola seperti ini secara umum dipergunakan di kantong Hindu lainnya di jawa. Yang belum ditemukan standard yang baku adalah masalah sarana bhakti berupa ”bebantenan”. Bagi umat yang sudah berada ditataran Tattwa, maka hal bebantenan ini menjadi tidak begitu masalah, namun sebagian besar umat ini masih menganggap sarana bebantenan ini hal yang prinsif. Walaupun tidak mungkin umat Jawa ini akan bersembahyang dengan sarana seperti di bali secara aplikatif, namun mengingat di Karanganyar ini ada perpaduan umat Jawa – Bali maka saat persembahyangan ada kombinasi Sesaji Jawa dan Banten Bali inilah yang semestinya kedepan akan menjadi bentuk baru dari sebuah persembahan. Bentuk persembahan seperti ; Nasi golong, tumpeng, asagan, dll serta perayaan seperti ”Mondosio (di Bali Medangsie) di candi Ceto, merupakan sarana bhakti yang masih menjadi ciri khas mereka jadi biarkan berkembang alami dan bisa dibantu rujukan sastra Weda dengan konsultasi kepada Sulinggih. Hal yang lainnya adalah Ageman Pinandita/Wasi, perlu digali format lokal yang bisa dijadikan pegangan para Pinandita ini tanpa menyimpang secara prinsif dengan ”Ageman Ke-Pemangkuan” yang sudah biasa dilaksanakan oleh para Pemangku/Pinandita dari Bali. Tanpa menutup mata atas bantuan umat, maka kehadiran umat Hindu yang sudah dilakukan memang cukup berbobot, seperti : pembangunan fisik Pura, darma wacana, bantuan beasiswa Sanatana Dharma, penyaluran umat untuk ditampung di Yayasan sejenis Asram di Bali, serta bantuan lainnya, namun para umat yang disebutkan diatas sepakat, bahwa permasalahan umat Hindu ini belum selesai, sehingga ”Orang tua Asuh” adalah salah satu yang diusulkan untuk membantu umat ini.

Tulisan singkat ini bagi penulis hanya prolog saja, dengan informasi ini diharapkan para cendekian Hindu, birokrat, pengusaha, dan umat pada umumnya, terpanggil hati nuraninya untuk menyumbangkan sedikit harta serta meluangkan sedikit waktu dan perhatiannya untuk kemajuan umat ini. Bagi umat dari Bali yang sering mengaku berasal dari Jawa, maka silahkan bantu saudara-saudara kita ini sesuai kemampuan yang ada karena pengakuan saja tidak cukup perlu pembuktian. Waktu dan dana yang dikeluarkan untuk melakukan ritual baik secara pribadi maupun lembaga akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk membantu para umat ini secara nyata. Aum A No Bhadrah Kratawo yantu Wiswatah (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru).




Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
08-08-2010.
PURA PEMACEKAN – KARANGANYAR
MEMBANGUN ”PASRAMAN SULINGGIH”


Proses pembangunan sarana fisik di Pura Pemacekan Karangpandan-Karanganyar/Solo, masih belum selesai, salah satu bangunan yang penting yang sudah direncanakan setelah dibangunnya Beji dan diplaspas Jumat Legi, 3 April 2009, adalah ”Pasraman Sulinggih” yang letaknya disebelah timur/dibelakang Beji dengan lokasi diluar area Beji dimana Pura masih memiliki tanah yang belum dibangun.

Pasraman Sulinggih ini dibangun dalam dua lantai dengan luas 6M x 15M = 90M dikalikan dua lantai sehingga total 180 M2. Penggerak pembangunan ini adalah MGPSSR Pusat bekerja-sama dengan Pengempon Pura Pemacekan. Anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp. 400 Juta dimana saat ini dana yang ada baru sebesar Rp.30 Juta dari sumbangan umat. Dengan keterbatasan dana tersebut rupanya semangat para umat ini tidak terbatas, sisa-sisa pembangunan Sekretariat MGPSSR Pusat berupa : Besi dibawa ke Karanganyar dengan truck sekaligus dengan beberapa tukang juga tukang lokal dan hasilnya pada 29 Juli 2010 pondasi Pasraman berhasil dipasang. Sehubungan Piodalan Pura Pemacekan jatuh pada 24 Agustus 2010 (Purnama Katiga), maka target untuk selesai Pasraman belum bisa dipenuhi, salah satu sebabnya karena dana belum siap, semoga saja dengan ini ada para donatur ada yang tergugah mendanapuniakan hartanya untuk mempercepat selesainya ”Pasraman Sulinggih”.


Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
08-08-2010.