Kamis, Desember 16, 2010

LELUHUR dan SOROH


”Leluhur & Soroh” saat ini menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat Hindu etnis bali, hanya masalah soroh/clan ini baru dikenal belakangan dan kebanyakan setelah kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangan berikutnya keleluhuran & ikatan Soroh menjadi sedikit kabur sehingga perlu dipisahkan makna masing-masing dengan jelas, dan apakah memang dibenarkan ajaran Weda.

Leluhur atau lebih jauh disebut Kawitan (wit/asal) merupakan asal-usul keberadaan kita sekarang ini. Ajaran Hindu Tri Rnam, Catur Guru, dan lainnya menegaskan pentingnya bhakti pada leluhur bagi para damuh atau para pratisentana (para keturunan), jadi sebagai umat Hindu yang baik, maka bhakti pada leluhur adalah paramo dharmah (dharma yang utama).

”Soroh atau Clan“ merupakan ikatan persaudaraan dalam satu wit/asal leluhur yang sama dimana tujuan utamanya adalah terbina kekerabatan yang baik sebagai wujud bhakti pada leluhur sekaligus terbinanya kebersamaan para pratisentana/damuh untuk memelihara parhyangan Bhatara Kawitan, jadi prinsif dasarnya sangat mulia dan memenuhi ajaran Bhakti. Studi mengenai gerakan kewargaan di Bali menunjukkan hingga tahun 2010 ada lebih dari 32 organisasi kewargaan di Bali, dari jumlah tersebut, malah ada yang sudah terbentuk sebelum Indonesia merdeka yaitu Keluarga Besar Bhujangga Waisnawa yang terbangun tahun 1930 direorganisasi tahun 1951 dan 1982. Tahun 1950 berdiri organisasi warga Arya Kenceng Tegeh Kori, tahun 1962 terbentuk ikatan kewargaan Keluarga Besar Arya Kepakisan Dauh Baleagung. Sementara itu Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) sebagai pasemetonan warga Pasek warih Mpu Gnijaya dibentuk pada 17 April 1952. Adapun Maha Gotra Sentanan Dalem Tarukan berdiri tahun 1980. Maha Kerthawarga Danghyang Bang Manik Angkeran Siddhimantra (MKDBMAS) berdiri 1 Juli 2000 berkeinginan mempersatukan keturunan Manik Angkeran yakni: Ida Bang Banyak Wide yang menurunkan Arya Wang Bang Pinatih; Ida Bang Tulus Dewa menurunkan Arya Wang Bang Sidemen; Ida Bang Wayabiya menurunkan Arya Wang Bang Wayabiya; dan Sira Agra Manik merupakan leluhur Sira Agra Manikan, dan masih banyak ikatan soroh/clan lainnya. Eksistensi ikatan soroh ini perlu dipelihara dengan baik, layaknya memelihara bunga yang berwarna-warni di taman, sehingga sejatinya adalah keindahan, bukan sesuatu yang patut dipertentangkan. Kebesaran leluhur satu soroh/clan di masa lalu hendaknya jangan hanya diagung-agungkan tetapi mampu meniru, patitis atau bersuluh pada nama besar kawitan-nya, menjaga dan mempertahankan nama besarnya, jangan justru merusak citra para leluhurnya. Belakangan hal Soroh ini menjadi kekhawatiran banyak fihak karena khawatir umat di Bali akan terpecah-pecah, walaupun ada juga yang khawatir tersaingi (Superioritas soroh). Kekhawatiran ini bisa jadi akibat ulah dari person warga yang tidak memahami jati diri ikatan soroh ini. Ikatan Soroh yang masih mencari bentuk ini juga menjadi terganggu atas ulah dari pratisentana yang sibuk mencari jati diri leluhurnya dari sisi babad bahkan menjadikannya kebenaran serta mendebatkan dengan babad yang diyakini soroh lainnya. Babad merupakan sumber informasi keleluhuran dimana bagi sebagian orang dianggap tidak akurat karena tidak memiliki bukti otentik seperti angka tahun dan bukti sejarah lainnya, bahkan ada yang dengan begitu semangat mempublikasikan perbedaan versi babad yang diketahuinya sehingga cendrung kearah perdebatan yang tidak sehat, seperti : kekakuan akan hakekat Mpu Kuturan yang satu mengatakan ada dijaman Udayana Warmadewa (sekitar tahun 1000) yang lain mengatakan bukan dijaman itu, padahal kedua fihak itu tidak ada satupun yang pernah bertemu Mpu kuturan, jadi ibarat “memperebutkan balung/tulang tanpe isi”. Jika dihayati, pengenalan Babad adalah sebagai bentuk bhakti pada leluhur, jika kita tidak kenal leluhur kita maka sebut saja “Bhatara Kawitan” karena ajaran Hindu mewajibkan kita bhakti pada leluhur. Babad yang beredar sekarang ini sesungguhnya bersumber dari Mrajan, pedukuhan, yang ada di bali lalu dipertemukan, maka dijadikan lebih moderen dan mudah dimengerti, sekali lagi ini hanya untuk mengenal leluhur dan meniru sesana yang baik dari mereka. Hal akurasi katakanlah misalnya Babad itu hanya dongeng saja, maka orang tua kita sering men-dongeng untuk mengajarkan anaknya etika yang baik. Babad yang beredar sekarang ini sebenarnya ada bukti otentiknya dan peninggalan-peninggalan serta sudah diyakini oleh sebagian besar masyarakat bali dari berbagai soroh jadi tidak perlu lagi diluruskan karena kita sama-sama tidak tahu masa lalu, ”yang perlu diluruskan adalah yang belum bhakti pada leluhurnya”. Jika karena senang mempelajari Leluhur lewat dunia babad, usana (usana Jawa & Bali), atau sumber lainnya, maka jadikanlah itu hanya menggali pengetahuan saja, tidak bisa dipaksakan kepada fihak lain untuk juga mengakuinya. Memperdebatkan Babad hanya akan berhenti pada alam pikiran dan mengakibatkan munculnya ketidak puasan bahkan kebencian, walaupun dengan dalih niskala kemudian kita berusaha meyakinkan fihak lain itu tidak ubahnya pedagang obat berpromosi agar obatnya laku. Masalah keyakinan kepada leluhur (wit/asal) adalah bersifat batin atau rasa, tidak harus kita tahu nama kawitan (Mpu.., Sri .., I Gusti .., dll) baru kita tumbuh bhakti pada kawitan, jika kita percaya yang disebut dalam babad, lontar, adalah nama beliau maka silahkan pakai itu sebagai sebutan leluhur kita, jika tidak tahu sekali lagi sebut saja ”Bhatara Kawitan” toh nama-nama leluhur tidak kita dengar langsung seperti familiarnya kita menyebut nama ayah dan ibu kita. Sudah pasti usaha-usaha mengangkat keberadaan leluhur dengan memperdebatkan Babad, lontar, yang bersifat pengetahuan hanya berbobot dari sudut pikiran namun miskin dari segi nurani jika kita tidak mendalami bhakti yang sesungguhnya . Jika kita merupakan pratisentana yang baik maka nama itu sudah bukan masalah lagi yang dipentingkan bhakti kita. Seperti di jawa, umat Hindu ataupun yang bukan Hindu biasa menghormati tetua/sesepuh desa sebagai cikal-bakal, wit, bahkan danghyang. Mereka tidak perlu membentuk ikatan soroh/clan untuk menunjukkan bhakti pada leluhur, mengingat banyak dari mereka yang memahami, bahwa manusia yang sudah meninggal sudah menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi, sudah amor ring achintya, sesungguhnya sudah bukan personifikasi lagi. Jadi mari kita tingkatkan bhakti kita pada leluhur sesuai ajaran Hindu walaupun kita tidak berada didalam lingkup soroh apapun, karena kita adalah ”Soroh Brahman” sebagai sumber mahluk hidup termasuk sarwa tumuwuh (binatang) dan sarwa prani (tumbuhan).


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 08-12-2010
TRADISI SURO - DI MERIAHKAN REOG SINGO PASEK

Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, yang lebih dikenal dengan ”Pura Pemacekan” keberadaannya dilingkungan masyarakat yang bukan etnis Bali dan sebagian besar (99%) bukan umat Hindu, namun mereka juga adalah umat yang sejak dulu menjaga bahkan melakukan ritual di Petilasan, sehingga ada ikatan emosional dan psychologis dengan Eyang Putro Rsi Pitu (sebutan mereka). Hal ini merupakan situasi yang tidak mudah bagi umat Hindu khususnya Pengempon dari sisi komunikasi, dimana hubungan yang baik agar bisa tetap terjaga. Setiap piodalan masyarakat di dukuh Pasekan selalu diikutkan dalam kegiatan kerja-bhakti, juga parkir, dan jualan makanan/minuman, sehingga mereka merasakan manfaat dari keberadaan petilasan.

Dalam rangkaian bulan Suro, bagi umat Jawa tradisionil (yang masih melakukan tradisi) mereka melakukan ’Tradisi Suran/ Wilujeng Suro” yaitu peringatan tahun baru Jawa (Saka Jawa) yang tidak berani dilanggar untuk tidak dilakukan. Guna ”Memetri/memperingati” tradisi leluhur yang sudah berlangsung turun temurun itu, maka RW 05 Dusun Keprabon, Desa/Kec Karangpandan, Karanganyar (Jateng), yang terdiri dari tiga RT atau tiga Dukuh, yaitu : Dukuh Ngledok RT 05/05, Dukuh Pasekan RT 06/05, dan Dukuh Perumahan Rakyat RT 07/05, kembali melaksanakan ”Wilujeng Suro” pada Kamis Malam, 09 Desember 2010. Acara seperti ini dilaksanakan setiap tahun oleh RW 5 Dusun Keprabon, dan bagi Pengempon ini adalah keterlibatan yang kesekian kali sejak pertama pada Januari 2007 dan merupakan pertama bagi Pengempon Generasi kedua yang baru dibentuk Februari 2010. Nuansa Budaya Jawa sangat kental terlihat pada acara ini sehingga walau umat ini hampir 99% beragama Islam tetapi mereka sangat mencintai budaya leluhurnya melalui acara Wilujeng Suro yang mempunyai makna spiritual yang adiluhung. Wilujeng Suro dimaksudkan untuk menghilangkan sifat Asura (Raksasa) dan membangkitkan Sura (Suci) sehingga Bulan Suro dimaksudkan juga sebagai ”Bulan Kebangkitan Kesucian Diri”, yang pada intinya menyongsong kebaikan dan membuang sifat-sifat buruk. Wilujeng Suro memang kental dengan tradisi Jawa, baik dari segi sarana upacara maupun bentuk penghormatan lainnya. Dilakukan pada Kamis malam karena dianggap hari yang baik dan yang penting sebelum tanggal 10 kalender Jawa tahun ini. Dilaksanakan persembahan di Petilasan karena mereka menganggap Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang disebut mereka dengan ”Eyang Putro Rsi Pitu” adalah Cikal Bakal atau Danghyang yang sangat dihormati. Bagi Pengempon karena ikatan batin penduduk setempat sudah sejak lama ada sementara pratisentana Bhatara kawitan menemukan beliau belakangan, maka sepantasnya mendukung umat yang menjalankan bakti ini.
(Keberadaan Petilasan ini memang diawali oleh Pewisik yang diterima oleh Jro Mangku Gde Ketut Subandi ketika beliau masih bertugas di Kepolisian sekitar tahun 70-an, yang ikut melacak kemudian adalah : Kanjeng Sanjoto dari Puri Mangkunegaran dan Brigjen Giyanto dengan diantar oleh Suaji dari Dukuh Gondang Gentong, Ds.Nigasan, kec.Karangpandan pada tahun 1973. Selanjutnya pada 9 Maret 1984 Jro Mangku Gde Ketut Subandi memperoleh petunjuk lebih jelas ketika beliau di Puri Mangkunegaran agar datang 31 km kearah Tawangmangu, maka bertemulah Pratisentana Bhatara Kawitan dengan Leluhurnya pada 10 Maret 1984 tersebut. Banyak terlibat semeton dari Bali dan Solo/Karanganyar lainnya, juga para Mpu seperti Sinuhun Bongkasa, Mpu Dwi Tantra, khususnya Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran dengan cucunya Mpu Daksa Jaya Dhyana (Nusa Penida) , yang banyak perannya sampai berdiri Pura yang cukup megah ini. Pemugaran sederhana pada 1986, peresmian (Pitra Yadnya) 9 Nopember 1990. Tahun 1998-1999 persiapan & pembangunan sederhana, dan Fase 2000-2002 pembangunan besar dengan tambahan Pelinggih baru : Meru tumpang Pitu, Piasan, Padmasana, Sapta Pertala, bale pawedan, candi gelung, candi bentar, bale banjar dan terakhir Bale kulkul. Peresmian dengan Penanda tanganan Prasasti pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) oleh Sinuhun Paku Bhuwono XII dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Berikutnya di era Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda dibangun Beji yang diplaspas Jum’at legi, 3 April 2009. Pasraman Pandita merupakan pembangunan selanjutnya dengan pondasi awal pada 29 Juli 2010, saat ini bangunan berlantai II sudah berdiri walau belum selesai (Finishing) karena keterbatasan dana. Pengempon generasi I berakhir pada 11 Februari 2010 masa bhakti 5 tahun, dilanjutkan generasi II sejak 11 Febr.2010 untuk 5 tahun).

Jalannya Prosesi Wilujeng Suro & Pentas Reog Singo Pasek
Rangkaian ”Prosesi Wilujeng Suro” ini sudah mulai dilaksanakan pada 07 Desember 2010 (tepat 1 suro) dengan tradisi ”Bersih Desa”. Acara puncak pada 09 Desember 2010 (Kamis Malam). Prosesi berjalan dengan tradisi Jawa. Sekitar Pukul 19 wib acara menghaturkan sesaji dipimpin oleh Mbah Wiryo Rejo salah seorang Tetua/sesepuh Dukuh Pasekan dan didampingi oleh Jero Mangku Nyoman Sukadana serta Pengempon dan umat lainnya dari Solo/Karanganyar sekitarnya, untuk ikut memohonkan kepada Eyang Putro Rsi Pitu. Setelah persembahan selesai dilanjutkan di Bale Banjar dimana hadir : Bayan,Ketua RT/RW, dan warga setempat, serta Ketua Pengempon Ketut Landra dan pengurus lainnya mengikuti acara Suran dengan khidmat. Acara puncak adalah dipentaskannya ”Reog Singo Pasek” untuk pertama kali. Sarana reog merupakan inisiatif warga dengan memungut iuran anggota, juga terbesar merupakan sumbangan dari umat warih Bhatara Kawitan khususnya dari Bali. Pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada warga setempat walaupun Reog tersebut sudah di prayascita waktu Piodalan Purnama ketiga tahun ini. Sadin Rahmad Kartolo dari Dadi Plaosan, Magetan Jatim adalah orang yang dengan dedikasi tinggi sejak bulan Agustus 2010 datang dari Magetan untuk melatih warga agar bisa tampil pada perayaan Suran ini. Beliau datang dan melatih bisa 3-4 kali seminggu hanya dengan diberikan uang transport, dan akhirnya bisa tampil pada perayaan Suran. Pementasan Reog dimulai dengan penyerahan ”Cemeti/Pecut” oleh wakil Pengempon Jero Mangku Nyoman Sukadana kepada pemeran ”Kelana Suwandono” dan selanjutnya reog dimulai dengan menampilkan : Jatilan (penari anak-anak dengan kuda lumping), Warok yang kekar dan berjenggot, Bujang Anom 2 penari yang kocak, dan terakhir Dadak Merak berujud kepala barong yang dihiasi dengan bulu merak sebanyak 2 dadak merak dimana salah satunya milik warga bertuliskan ”Singo Pasek” satu lagi dibawa dari tempat lain sebagai pendamping sehingga terlihat sangat gagah. Untuk ukuran latihan yang sangat singkat, maka penampilan Reog Singo Pasek ini boleh dikatakan sukses, dibuktikan para penari yang sangat bersemangat melakukan perannya, dan ini pasti karena kehebatan pelatihnya juga. Kedepan jika Reog Singo Pasek ini bisa tampil di bali, seperti : Pesta Kesenian Bali (PKB) atau event lainnya, maka akan semakin mempererat hubungan Jawa-bali dari sisi budaya leluhur yang adiluhung. Reog Singo Pasek – tetap Jaya demikian kalimat yang sering diucapkan termasuk ketika berakhirnya pementasan reog dan berakhir pula prosesi Suran warga Dukuh Keprabon, Karangpandan, karanganyar.



Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-12-2010.

Selasa, November 30, 2010

AGNIHOTRA DALAM NYALA SEBATANG DUPA

Mengamati fenomena semakin maraknya kegiatan Upacara Agnihotra (Homa Yadnya) dibeberapa tempat di Indonesia khususnya di Bali, maka pada suatu kesempatan menghadap seorang Pandita, penulis menanyakan apa sebenarnya makna hakiki dari Agnihotra ini. Pandita menjawab dengan singkat tetapi jelas, bahwa ”Ketika menghidupkan sebatang dupa untuk sembahyang maka itu adalah Agnihotra”. Penulis tercenung sejenak tetapi kemudian tersadar dengan suatu pemahaman yang terang benderang, bahwa Inti dari Yadnya Agnihotra adalah pemujaan kepada Dewa Agni dan dalam nyala sebatang dupa yang kita haturkan sesungguhnya kita sudah melakukan Agnihotra. Lalu kenapa sekarang ini masih muncul perdebatan seputar pelaksanaan Yadnya Agnihotra ini ? Itu karena kebiasaan kita hanya melihat pada kulitnya saja yaitu ritualnya tidak menyatukan diri pada makna utama dari yadnya ini yaitu persembahan kepada Dewa Agni. Jika dengan sebatang dupa kita sudah melaksanakan Agnihotra maka haruskah mengikuti Yadnya ini seperti yang biasa dilakukan di India ? Lalu apakah kita larang saudara kita dari India atau orang Bali yang belajar di India, untuk melaksanakan Yadnya Agnihotra ini ? Tentunya tidak !!, masalah sembahyang seperti halnya keyakinan beragama adalah masalah pribadi dan bersifat hak asasi yang tidak perlu dilarang, asalkan tidak mengganggu ketentraman orang lain. Untuk itu sebelum kita terlanjur menghakimi fihak lain salah atau benar, maka alangkah baiknya dipahami dulu apa itu Agnihotra.

AGNIHOTRA adalah upacara yadnya untuk memuja Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Agni, dan merupakan maha yadnya, multifungsi, efisien, serta effektif. Sumber-sumber upacara Agnihotra bisa dijumpai pada kitab-kitab Ithihasa, Purana (Kekawin Ramayana) dan beberapa upanisad seperti: Swetha Swatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan Sri Isopanisad. Didalam kitab suci Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, Atharwa Weda, puja-puja terhadap Dewa-Dewa sangat banyak tetapi yang dominan adalah puja-puja kepada Dewa Agni. Dewa Agni, dalam bentuk material api dalam kehidupan manusia memiliki tujuh fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai penerang
2. Sebagai pencuci dan pembasmi kekotoran
3. Sebagai pengusir roh jahat
4. Sebagai penghubung pemuja dan yang dipuja
5. Sebagai saksi upacara
6. Sebagai pendeta pemimpin upacara
7. Sebagai sumber kekuatan atau energi.

Atharwa Weda XXVIII.6, menyatakan : Yatra suharda, sukrtam Agnihotra hutam yatra lokah tam lokam yamniyabhisambhuva sano himsit purusram pasumsca. (Dimana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang mempersembahkan dan melaksanakan Agnihotra, disana majelis (pimpinan masyarakat) bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya.) Dengan demikian sesungguhnya Yadnya Agnihotra mempunyai landasan sastra yang jelas sehingga tidak perlu membuat kita ragu lagi. Yang perlu dibicarakan dengan bijaksana adalah aplikasinya dalam keseharian masyarakat khususnya di Bali yang sangat kuat adatnya jangan sampai umat pada tataran awam menjadi menolak Agnihotra ini hanya karena melihat ritualnya yang sangat berbeda dengan kebiasaan upacara yadnya di Bali (Ke-Indiaan). Penolakan ini tidak hanya pada tataran masyarakat awam tetapi ada juga Pandita yang tidak sependapat walaupun tidak prontal seperti dengan tidak mengijinkan dilaksanakan di utama mandala (Jeroan Pura). Berbicara sebuah ritual sebenarnya juga berbicara masalah adat dimana adat ini adalah kebiasaan masyarakat dan bersifat tidak kekal (dinamis) sehingga mau tidak mau akan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Walaupun demikian memadukan adat yang berbeda (India dan Indonesia/Bali) seperti dalam aplikasi Yadnya Agnihotra dengan tradisi India yang dilaksanakan di Bali, maka perlu kesadaran, bahwa hal itu akan dapat menimbulkan pertentangan, maka tindakan yang bijak adalah tidak ekstreem dengan serta merta (100%) membawa tata cara India ke Bali tetapi yang terbaik adalah menyesuaikan dengan local genius tanpa menghilangkan maknanya. Ada “Hotri” (pemimpin Yadnya Agnihotra) yang sudah dapat melakukannya dengan baik sehingga saat mengikuti Agnihotra, maka perpaduan India dan Bali sangat baik sehingga hampir menyerupai Puja Stawa Pemangku tetapi tetap terasa bedanya. Disisi lain ada yang menurut penulis tidak berhasil menyatukan hal ini khususnya adaptasi nyanyian-nyayian daerah seperti “Janger” yang sangat tidak cocok dengan kekhusukan yadnya. Hal lain adalah cara duduk apakah harus melingkar khususnya ketika dilaksanakan didalam Pura, karena kebiasaan kita di Bali (Indonesia) adalah menghadap ke Pelinggih sehingga tidak membelakangi Pelinggih. Juga kebiasaan menghadap ke Matahari atau gunung. Lalu sarana yadnya, apakah tidak bisa dari lokal karena kita dididik oleh leluhur untuk mengambil sarana sembahyang dari lingkungan kita, seperti kita dibiasakan untuk menanam kembang, pohon janur, dll yang nantinya akan kita persembahkan kembali kepada Hyang Widhi, nah kalau untuk Agnihotra kemudian kita harus import bahan-bahan dari India apakah hal itu benar ? dan banyak hal yang akan berbeda penafsiran bagi setiap orang, bagi setiap kepala.

Jika demikian, berpalinglah sejenak pada “sebatang dupa” karena didalamnya memancar kekuatan Dewa Agni dalam tujuh bentuk yang agung salah satunya sebagai “Penerang” semoga dalam nyala sebatang dupa kita lebih memahami hakekat Agnihotra yang sejati dan tidak memperdebatkan bhakti kepada Beliau ini hanya karena ritualnya berbeda, caranya berbeda, bahannya berbeda, tetapi menyatukan diri dalam sebuah BHAKTI apapun bentuknya.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
AJARAN CATUR WARNA DAN APLIKASINYA DI BALI


Catur Warna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas „guna“ dan „karma“ dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa. Sumber-sumber ajaran Catur Warna diantaranya :

Mantra Yajur Weda XXX.11. dinyatakan :
Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatria dari lengan Brahman, Vaisya dari perut-Nya, dan Sudra dari kaki Brahman. Jadi semua warna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Mantra Yajur Weda XVIII.48.. dinyatakan :
Untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya, dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat warna ini akan mulia kalau sudah mentaati swadarmanya masing-masing.


Bhagawadgita IV.13 dan XVIII.41
Varna seseorang didadasarkan pada guna dan karmanya.Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadi yang menentukan Varna seseorang adalah profesinya bukan berdasarkan keturunannya.Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan.

Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55.
Hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya, dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dwijati (Pandita) Sudra tidak diperkenankan menjadi Dwijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan.

Yajur Weda XXV.2
Varna seseorang tidak dilihat dari keturunannya, misalnya ke-Brahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya .

Kitab Mahabharata XII.CCCXII.108
Ke Dwijatian seseorang tidak ditentukan oleh ke-wangsaannya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaannya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.

Jika digali lebih jauh kitab suci agama Hindu yang menjadi pegangan bagi umat, maka akan banyak ditemui penjelasan-penjelasan tentang Catur Warna ini yang intinya sama, bahwa “Warna seseorang disesuaikan dengan Profesinya”.


Selanjutnya bagaimana Aplikasi ajaran Catur Warna ini di Bali yang merupakan basis bagi perkembangan agama Hindu di Nusantara, apakah sudah dijalankan sesuai dengan yang digariskan dalam kitab suci? Untuk mengetahui hal itu mari kita mundur dahulu ke-beberapa ratus tahun yang lalu pada saat masa leuhur-leluhur orang Bali hidup dan berinteraksi dalam kehidupan masyarakat.

Kita mulai saja sekitar abad XI. Dimana masa itu Bali dipimpin oleh suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang berkuasa di Bali dari tahun saka 910 sampai dengan 933 (tahun 988 – 1011 Masehi). Sri Gunaprya Darmapatni adalah putri dari Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa Raja Daha-Jawa Timur. Sebelum dipersunting oleh Udayana Warmadewa bernama Mahendradatta, sedangkan kakaknya Sri Kameswara menggantikan ayahnya menjadi Raja Daha.. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula dan Bali Aga. Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Kedatangan mereka ke Bali tidak bersamaan tetapi secara bertahap dimulai oleh :


1. Mpu Semeru (Mpu Mahameru)

Pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliu mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Pasek Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Bekas parahyangan Mpu Semeru sekarang sudah berdiri sebuah Pura diberi nama Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).


2. Mpu Ghana

Penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara keturunan beberapa tingkat dari Mpu Withadarma ( Mpu Withadarma adalah yang ketiga dari Sapta Resi)/Sapta Pandita leluhur Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi), Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande). Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danhyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga. ( Mengenai Danghyang Nirartha akan dijelaskan kemudian yang sangat terkait dengan aplikasi Ajaran Catur Warna di Bali.).


3. Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha

Pemeluk agama Budha Mahayana, tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon, wara pahang, tahun saka 923 (tahun 1001 Masehi). Beliau berparhyangan di Padang. Beliau hidup sewala brahmacari (selama hidup kawin hanya sekali dan berpisah dengan istrinya yang tetap di Jawa yang dikenal dengan Rangda/janda dari Girah penganut ilmu hitam) Beliau mempunyai seorang putri Dyah Ratna Menggali yang kemudian kawin dengan Mpu Bahula putra dari Mpu Bharadah, jadi masih sepupu. Ditempat Parahyangan Mpu Kuturan telah berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Silayukti yang artinya tempat Mpu Kuturan mengajarkan kebenaran. Mpu Kuturan adalah ahli ilmu pemerintahan/tata Negara dan ahli strategi, dan atas keahliannya berhasil mengadakan pertemuan tiga aliran terbesar dari enam sekte yang hidup di Bali yang sebelumnya selalu bertentangan, tempat pertemuannya sekarang disebut Samuan-Tiga yang dulu bermakna Pertemuan tiga sekte terbesar. Beliau juga menciptakan Pelinggih (Bangunan suci) tempat memuja Brahmana, Wisnu, Siwa, yang disebut : Kemulan/ Rong Tiga sehingga aliran yang berbeda-beda itu memuja melalui satu tempat yang sama, yaitu Rong Tiga, sehingga damailah masyarakat waktu itu. Pada masa Mpu Kuturan ini juga banyak dibangun Pura-Pura seperti : Uluwatu, dll, yang pada masa Danghyang Nirartha dan sesudahnya terjadi kekeliruan dengan menganggap itu adalah tempat Pemujaan Danghyang Nirartha oleh keturunannya. Kesalahan serupa ini banyak terjadi pada Pura-Pura lainnya.


4. Mpu Gnijaya

Pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada pada hari kamis kliwon, wara dungulan, sasih kedasa, tahun saka 971 (tahun 1049 Masehi). Beliau berparhyangan di Bisbis (Gunung Lempuyang), sekarang tempat parahyangan beliau telah berdiri sebuah Pura yang bernama “Pura Lempuyangan Madya”. Mpu Gnijaya dari perkawinannya dengan Dewi Manik Geni, selanjutnya menurunkan : Sapta (Tujuh) Pandita yang tidak menetap di Bali tetapi di Kuntuliku Desa, Jawa Timur, walaupun mereka sering ke Bali memuja leluhurnya. Sapta Pandita ini kemudian menurunkan : Warga Pasek di Bali (Pasek, Bendesa, Tangkas) yang jumlahnya sangat besar. Ketujuh Mpu tersebut adalah :

a. Mpu Ketek : Keturunannya dikenal dengan sebutan Pasek Toh Jiwa, termasuk disini adalah “Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan” yang petilsasnnya ada di Karangpandan, Karanganyar, Solo, Jateng. Keturunan Mpu Ketek yang bernama “Kyayi Agung Pasek Subadra” dan Kyayi Pasek Toh Jiwa” berperan besar pada jaman Samplangan, yaitu pada awal Gelgel. Putra Kyayi Pasek Toh Jiwa, yaitu Pasek Toh Jiwa menjadi Tabeng Wijeng Kerajaan Gelgel, sedangkan Putra Kyayi Agung Pasek Subadra. Yaitu : Pasek Subadra menjadi Pandita dengan gelar “Dukuh Suladri”. Keturunan-keturunan Dukuh Suladri ada yang diambil oleh : Sri Angga Tirta Ksatrya Tirta Arum, Dalem Dimadya, dan ada juga oleh Anglurah Pinatih (leluhur Warga Wang Bang Pinatih)
b. Mpu Kananda : salah seorang keturunannya adalah Ki Dukuh Sorga yang kemudian menurunkan Pemangku Kul Putih di Bali. Materi kepemangkuan Kul Putih ini banyak menjadi pegangan para Pemangku.
c. Mpu Wiradnyana : Mpu Wiradnyana berputra Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha, berasrama di Hutan Tumapel. Beliau berputra : Mpu Purwa dan Ken Dedes. Mpu Purwanatha pernah menghukum rakyat desa Panawijen karena tidak jujur mengenai putrinya Ken Dedes yang diculik oleh Tunggul Ametung dengan keringnya sumur desa, walaupun akhirnya diampuni. Ken dedes selanjutnya menurunkan Raja-Raja di Tanah Jawa, seperti : Paku Bhuwono, Mangku Negaran, Hamengku Bhuwono, Paku Alam, dll. Mpu Purwa keturunannya di Bali dikenal dengan “Pasek Tatar”, termasuk disini adalah Ibunda Presiden Sukarno, Nyoman Rai Srimben.
d. Mpu Witadharma : keturunan Mpu Witadharma terbanyak dibanding saudaranya yang lain, yang di Bali dikenal dengan sebutan : Pasek Gelgel, Pasek Bendesa, Pasek Bendesa Mas, dan Pasek Tangkas Kori Agung (lain Ibu). Keturunan Mpu Witadharma yang berjasa menata Parhyangan di Bali adalah Mpu Dwijaksara yang membangun “Pura Dasar Bhuwana Gelgel-Klungkung” yang sebelumnya bernama “Babaturan Penganggih”. Putra Mpu Dwijaksara yang terkenal pada jaman pemerintahan di Bali adalah “Ki Patih Ulung”. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel keturunan Ki Patih Ulung pernah menjadi Raja Bali setelah Majapahit menguasai Bali sebelum dynasty Dalem.
e. Mpu Ragarunting : Keturunannya beliau dikenal di Bali dengan sebutan : Pasek Salahin, Kubayan, dan Tuttwan. De Pasek Lurah Tuttwan kawin dengan putri Arya Timbul/ Arya Buru putra Prabu Airlangga dengan seorang gadis gunung.
f. Mpu Preteka : Keturunannya dikenal dengan Ki Dukuh Gamongan Sakti, Ki Dukuh Prateka Batusesa, dan di Bali dikenal dengan „Pasek Kubakal“.
g. Mpu Dangka : Keturunannya dikenal dengan „Pasek Gaduh, Ngukuhin, Kadangkan“. Keturunan Mpu Dangka Kyayi Lurah Dangka pernah memimpin pasukan menyerang Blambangan menyertai Kriyan Ularan (Jelantik) sehingga karena keperwiraannya diberi gelar „Sang Wira Dangka“.


Mpu Bharadah/Mpu Pradah adalah yang terkecil dari “Panca Tirta” beliau tetap tinggal di Jawa menjadi Purohita kerajaan Daha, berparahyangan di Lemahtulis-Pejarakan. Beliau menganut Budha Mahayana. Mpu Bharadah sering ke Bali menengok kakak-kakaknya terutama Mpu Kuturan dan sering berdiskusi masalah kerohanian , sehingga sekarang bekas peristirahatan beliau di Padang masih ada.

Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu. Sri Airlangga diundang ke Daha Jawa Timur oleh pamannya Sri Kameswara pada usia muda (16 tahun) yang tujuannya untuk menjadi raja di Daha. Tetapi saat diadakan suatu perayaan ada pemberontakan Sri Wurawuri sehingga Sri Airlangga mengungsi kehutan. Singkatnya akhirnya Sri Airlangga berhasil menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) dan beliau berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.

Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Bali dikalahkan oleh Majapahit . Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (tahun 1343 – 1350 Masehi). Pada saka 1272 (tahun 1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali. Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setalah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Siapakah Sri Kresna Kepakisan ?. Beliau adalah putra Mpu Soma Kepakisan yang juga keturunan dari Mpu Bharadah.

Berlanjut kemudian Dinasti Sri Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (tahun 1460-1550 Masehi). Pada masa ini datang dari Jawa pada saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah. Mpu Bharadah berputra Mpu Siwagandu dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratna Menggali (Putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah) menurunkan Mpu Tantular yang mengarang Kakawin Sutasoma. . Mpu Tantular menurunkan 4 orang Putra , yaitu :
1. Mpu Siddhimantra : menurunkan Manik Angkeran, yang selanjutnya keturunannya dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh.
2. Mpu Panawasikan : yang hanya mempunyai seorang putri bernama Dyah Sanggarwati, (selanjutnya dikawinkan dengan sepupunya Danghyang Nirartha.).
3. Mpu Smaranatha : yang menjadi Purohita di Majapahit pada masa pemerintahan Sri Hayam Wuruk Saka 1272 – 1311 (tahun 1350- 1389 Masehi) dengan Maha Patih Gajah Mada. Mpu Smaranatha berputra Ida Angsoka dan Ida Nirartha (Danghyang Nirartha).
4. Mpu Kepakisan : beliau adalah guru Mahapatih Gajah Mada. Beliau berputra 4 orang yang semuanya menjadi Adipati (wakil Raja), yaitu : di Blambangan, Pasuruan, Sumbawa (putri), dan di Bali (Sri Kresna Kepakisan).

Kembali kepada „Danghyang Nirartha“ putra Mpu Smaranatha, pada tahun 1489 beliau ke Bali, pada saat itu di Majapahit sudah mulai masuk agama baru (Islam). Apakah Danghyang Nirartha pernah mempelajari agama Islam tidak jelas, tetapi di Lombok Danghyang Nirartha mengajarkan „Islam Kala Tiga (Waktu Tiga). Danghyang Nirartha beristri 6 orang tiga diantaranya di Jawa dan tiga lagi sewaktu beliau ke Bali. Istri pertama dari Kediri Jawa Timur yang keturunannya dikenal dengan „Kemenuh“, Di Pasuruan beliau kawin lagi dan keturunannya dikenal dengan „Manuaba“. Yang ketiga adalah di Blambangan, dari perkawinannya menurunkan „Kaniten“. Setelah di Bali yaitu ketika beliau singgah di Gadingwangi, dimana yang menjadi Bendesa adalah „Pasek Bendesa Mas“ (Keturunan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel), beliau mengawini Ni Luh Nyoman Manik Mas putri Pasek Bendesa Mas, sehingga keturunannya dikenal dengan „Mas“. Danghyang Nirartha juga mengawini Panjeroan (abdi) Ni Luh Nyoman Manik Mas dan keturunannya dikenal dengan „Petapan/Antapan“. Istri yang keenam Danghyang Nirarta adalah Ni Berit (sahayanya) ketika beliau di Bali Barat baru tiba dari Jawa, dari sini keturunannya dikenal dengan „Temesi/Bindu“. Selanjutnya karena kemampuannya, maka Danghyang Nirartha diangkat oleh Dalem Sri Waturenggong menjadi Purohita/Bahagawanta kerajaan Gelgel mewakili aliran „Siwa“. Dalem juga ingin mengangkat Danghyang Angsoka (kakak Danghyang Nirartha) menjadi Purohita, tetapi tidak terjadi karena tua dan juga sudah ada adiknya Danghyang Nirartha, maka diganti putranya „Danghyang Astapaka“ mewakili „Budha Mahayana“. Danghyang Astapaka berasrama di Budakeling. Sejak itu kedudukan Para Mpu (keturunan Mpu Gnijaya) yang mewakili „Siwa Budha“ dan Rsi Bujangga yang mewakili „Waisnawa“, digantikan oleh mereka berdua. Bahkan dalam bidang kemasyrakatan, Danghyang Nirartha dengan restu Dalem Waturenggong membenahi struktur pelapisan masyarakat Bali. Pada mulanya masyarakat Bali menganut sistim warna lalu disusun berdasarkan Wangsa. Danghyang Astapaka dan Danghyang Nirartha serta keluarga menduduki pos sebagai „Brahmana Wangsa“, „Ksatrya Wangsa“ diisi oleh keluarga Dalem. Para Arya (I Gusti) mengisi „Wesya Wangsa“. Ketiga ini juga disebut „Tri Wangsa“. Selanjutnya diluar itu menjadi “Sudra Wangsa”. Sudra ini juga disebut Jaba. Secara turun temurun keluarga Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka mengambil porsi Brahmana dan jika di Pudgala jati/Dwi Jati bergelar “Pedanda”. Penyimpangan system Warna menjadi Wangsa (Jaman Portugis menjadi Kasta) ini berjalan ratusan tahun dan membawa dampak tidak baik pada kehidupan masyarakat karena wangsa yang seharusnya menjadi pengikat keluarga menjadi kelompok-kelompok (soroh) dimana ada yang merasa lebih tinggi dari soroh lainnya. Usaha pelurusan ini sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1920 di Singaraja (Bali) muncul Organisasi “Surya Kanta” yang anti feodalisme dengan system Wangsa/Kasta bahkan menerbitkan Majalah/Surat kabar. Kemudian mendapat jawaban dari kelompok status quo (mempertahankan Kasta) dengan terbitnya “Bali Adnyana”. Kedua penerbitan tersebut gulung tikar dan juga hilang karena semangat kebangsaan dengan berdirinya Budi Utomo (1928). Pada jaman Kemerdekaan (1945) hal ini juga tenggelam karena bangsa sedang menikmati kemerdekaannya, termasuk juga pada jaman Suharto (Orde Baru) yang sangat mementingkan stabilitas nasional. Pada jaman Reformasi hal ini bangkit kembali dengan disuarakannya dimana-mana termasuk di koran/Majalah. Belakangan ini ada 2 PHDI Bali, yaitu : PHDI Campuan dan PHDI Besakih. Apakah munculnya dua PHDI Bali ini merupakan bentuk pertentangan system feodalisme di Bali ? kita lihat sama-sama.

Dari semua hal-hal diatas, maka ada beberapa materi penting yang ingin penulis sampaikan, sbb :

1. Leluhur kita Panca Tirta datang ke Bali untuk memperbaiki masyarakat Bali pada masa pemerintahan Gunaprya Darmapatni/Udayana Warmadewa. Hal ini berhasil dilakukan dengan terjadinya perbaikan prikehidupan masyarakat. Strata masyarakat menganut Catur Warna yang merupakan ajaran Weda.
2. Pada jaman Mpu Kuturan banyak dibangun Pura di Bali yang banyak terjadi kesalahan pemahaman sehingga dianggap didirikan oleh Danghyang Nirarta , seperti misalnya : Pura Uluwatu yang didirikan Mpu Kuturan untuk memuja Baruna, diangggap didirikan Danghyang Nirartha. Untuk keperluan meluruskan sejarah pembangunan Pura-Pura di Bali, maka Gubernur Bali menunjuk Jro Mangku Gde Ktut Subandi menjadi “Ketua Penelitian Pura-Pura di Bali”. Hal ini diceritrakan almarhum kepada penulis ketika beliau ke Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan di Karanganyar beberapa bulan sebelum meninggal..
3. Pada masa Pemerintahan “Dalem Waturenggong” dengan Purohita Kerajaan Gelgel “Danghyang Nirartha” dan Danghyang Astapaka” terjadi perubahan strata masyarakat dari system Warna menjadi Wangsa/ Kasta. Hal ini berlanjut ratusan tahun sejak abad ke-15. Pelurusan baik dengan munculnya Surya Kanta atau bentuk lainnya dijaman moderen ini terus berlangsung.
4. Masyarakat khususnya di Bali harus ikut meluruskan kesalahan masa lalu dengan menjalankan dan mempublikasikan “Catur Warna” yang bersumber dari Weda sebagai pelurusan kesalahan system Warna/Kasta. Untuk itu telah keluar Bhisama Parisadha Hindu Dharma Pusat tahun 2002, oleh : Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa (Dharma Adhyaksa) dan Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka (Wakil Dharma Adhyaksa).
5. Masyarakat tidak perlu mengambil posisi bertentangan untuk meluruskan kesalahan ini seperti : Surya Kanta vs Bali Adnyana atau yang lain, tetapi tetap menyadari, bahwa kita bersaudara dan tujuan pelurusan ini adalah untuk membawa kebaikan nama Hindu dimata masyarakat dan dunia
6. Orang tua kita terutama di Bali yang masih larut dalam kesalahan ini tidak perlu ditentang, tetapi diberi pengertian dengan cara bijaksana dan penuh rasa hormat, yang lebih penting lagi adalah mulailah dari diri kita sendiri.
7. Pada akhirnya perlu saya sampaikan, bahwa “Perjalanan masih panjang” dan masalah pemurnian aplikasi ajaran weda di masyarakat bukan hanya masalah Penyimpangan Catur Warna, tetapi masih banyak hali lain, untuk itu jalankan swadharma masing-masing sesuai dengan Warna masing-masing.



Penulis :

Nyoman Sukadana
Karanganyar – Solo-Jateng 57771 31-10-2004
KETULUSAN HATI SEORANG IDA PEDANDA


Bisa memperoleh wejangan atau berkomunikasi dengan seorang Sulinggih adalah suatu anugrah, karena mereka adalah orang-orang suci yang bisa menularkan aura kesucian kepada kita, setidaknya inilah pandangan penulis. Walaupun mungkin masih ada Sulinggih yang belum menghayati sesana Sulinggih biarlah itu urusan mereka , penulis ingin melihat Sulinggih dari sisi yang seharusnya.

Adalah beliau Ida Pedanda Oka Puniaatmaja yang telah membuat penulis kagum akan ketulusan hatinya. Beberapa kali penulis sengaja menyempatkan diri untuk memapah beliau ketika hadir bersama Para Mpu di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan Karanganyar dan pada kesempatan lainnya. Yang paling terkesan dari beliau adalah pemahaman tentang hakekat manusia dan bakti manusia (Damuh) terhadap leluhurnya. Dari beliau penulis banyak memperoleh wejangan tentang hubungan persaudaraan soroh dengan soroh lainnya. Pada suatu kesempatan beberapa waktu yang lalu penulis menyampaikan keinginan untuk tangkil (menghadap) di Petilasan Mpu Bharadah di Kediri Jawa Timur yang merupakan leluhur Ida Pedanda.. Nanak (anak) demikian sapaan beliau, utamakan dulu tangkil di Parahyangan Mpu Gnijaya di Lempuyang Madya karena itu leluhur nanak. Penulis menjawab, Nak Lingsir,(sebutan kepada Sulinggih) saya sudah sering tangkil di Parahyangan Mpu Gnijaya di Lempuyang Madya dan ingin bakti juga pada Mpu Bharada yang adalah leluhur Ida Pedanda, (Parahyangan Mpu Bharada sudah ada di Kediri Jawa Timur dengan dipelopori Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa dengan Para Mpu dan Praktisi Spiritual). Tampaknya beliau sangat senang dengan jawaban penulis. Sebenarnya dari lima bersaudara (Panca Tirta), yaitu : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah, hanya kehadapan Mpu Bharadah penulis belum sempat tangkil karena memang Mpu Bharada tidak menetap di Bali, disamping itu penulis ingin membalas ketulusan hati Ida Pedanda yang polos dan tulus ini. Ketulusan beliau juga bisa dilihat ketika tanpa segan-segan Muja di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan setiap beliau hadir di Solo. Sesekali beliau memanggil Raka (kakak) Mpu kepada Sulinggih Mpu. Pada suatu kesempatan ada seseorang yang mengajak beliau untuk pulang dari Jawa ke Bali dengan pesawat terbang dan ada juga yang menyediakan mobil sedan karena mungkin melihat beliau sudah sepuh, tetapi jawaban yang muncul adalah : Biarlah naik Bus saja bersama Mpu karena bergandengan dengan Mpu saya merasa senang dan bersemangat. Pada kesempatan lain dimana beliau berobat ke Solo mencari kacamata minus, perjalanannya ke Solo disertai oleh Bapak I Ketut Nedeng dan menginap tidak di hotel tetapi di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan. Pada waktu ini, suatu kebetulan juga penulis berada dilokasi jadi ada kesempatan lagi untuk memapah beliau dan memperoleh banyak wejangan tentang kehidupan dan persaudaraan.

Saripati yang ingin penulis sampaikan pada tulisan ini adalah, sudah waktunya kita menata pola berpikir kita tentang arti hubungan manusia dengan manusia. Ida Pedanda Oka Puniaatmaja telah memberikan contoh yang sangat baik kepada kita baik Sulinggih atau walaka akan nikmatnya hubungan persaudaraan yang didasari :ketulusan hati”. Ternyata sikap seperti itu akan membuahkan ketenangan jiwa dan juga kedamaian bagi fihak lain. Sikap Ida Pedanda telah mengilhami langkah penulis, sehingga setiap ada kedatangan umat khususnya mahasiswa yang datang ke Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan , penulis menyempatkan untuk memaparkan kekeliruan masa lalu dan mengajak menapak masa depan yang lebih baik, karena para mahasiswa yang datang dari berbagai soroh ini merupakan generasi penerus yang bisa memperbaiki kesalahan masa lalu. Himbauan penulis ini mendapat simpati dari anak muda yang masih bersih ini dan diskusi serta tanya jawab bisa berlangsung sampai pagi. Kebanyakan mereka melihat kesalahan orang tua yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti kebiasaan (mule keto) sementara mahasiswa ini adalah orang-orang yang kritis yang ingin penjelasan logis. Penulis tidak menyarankan mereka untuk menentang orang tua, tetapi merekalah yang harus memulai memperbaiki kesalahan masa lalu dengan bertindak yang benar mulai sekarang.

Ketulusan hati seorang Ida Pedanda, akan selalu menjadi penyejuk bagi kita yang ingin memperoleh ketenangan jiwa, hal ini akan penulis coba terus tanamkan kedalam hati supaya menjadi bagian dari perilaku penulis walaupun itu perlu waktu. Disamping itu penulis tidak segan-segan menyampaikan kepada orang lain karena ini adalah sesuatu yang baik dijadikan pegangan hidup. Sangat sayang jika kita tidak bisa memanfaatkan hidup ini untuk berlaku arif kepada diri sendiri dan kepada orang lain, siapapun perlu mencoba dan mencoba sesuatu yang baik tidak akan membuat kita rugi atau kehilangan harga diri. Tuluslah seperti Ida Pedanda.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
11-05-2004.
MANTRA - BAGI SPIRITUALIST MODEREN

Ajaran Catur Asrama, mengatur sangat baik, bahwa kehidupan manusia ada fase atau urut-urutannya. Mulai dari Brahmacari (Menuntut Ilmu), Grahastha (Berumah-Tangga), Wanaprastha (memasuki alam spiritual), dan Bhiksuka/Sanyasin. Umat Hindu diajarkan agar sudah melakukan kewajiban rumah tangga dengan baik jika akan memasuki alam Spiritual (Wanaprastha). Fase ini perlu ketenangan batin tidak diganduli oleh kewajiban rumah tangga, walaupun tidak sedikit umat yang sudah berani memasuki alam spiritual dengan grahastha secara bersamaan. Yang pokok ingin disampaikan disini adalah ”Pendakian Spiritual” sangat baik dilakukan pada saat dimana kita sudah kosentrasi (meditate) dan pada saat dimana emosi, ego sudah stabil, sehingga ketika kita berguru pada Guru rohani, mengikuti kegiatan spiritual (tirtayatra, yoga, meditasi, dll) atau ketika melakukan kewajiban sebagai Pemangku/Pinandita, atau Pandita, maka akan lebih kosentrasi sehingga dapat memperoleh manfaat secara maksimal.

Ada fenomena yang menarik dimasyarakat, bahwa banyak sekali bermunculan aktifitas-aktifitas spiritual yang dikemas secara moderen, bahkan dengan teknologi moderen (Audio Visual dan Video). Seperti diketahui perjalanan umat manusia dalam memanfaatkan ”Kecerdasannya (Intelligence)” berkembang dari : kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient/IQ), kecerdasan emosional (Emotional Quotient/EQ), dan sekarang sudah pada “kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ)”. Umat manusia dijaman serba instant dan materialistis ini rupanya tidak merasakan ketenangan, dan masih merasakan ada yang kurang, mulailah muncul kesadaran, bahwa semuanya itu bersumber pada “Hati/alam perasaan”. Banyak kemudian yang datang kepada para ahli spiritual (Sebut saja Tradisional) disamping banyak yang mengikuti seminar atau pelatihan (sebut saja secara Moderen). Metode-metode penyampaian secara moderen banyak bermunculan, seperti : Gede Prama (Penutur Kejernihan), Erbe Sentanu dengan Katahati Institutenya, Andrie Wongso dan banyak motivator lainnya. Yang tidak kalah serunya adalah dengan banyak beredar CD “The Secret” dari Luar negeri yang menekankan pada “Hukum Ketertarikan” dimana setiap yang kita pikirkan atau rasakan akan menarik hal yang sama kepada kita, sehingga disarankan agar berpikir atau berperasaan positif (positif tinking dan positif feeling). Tidak bisa dipungkuri yang mereka sampaikan/ajarkan adalah spiritual karena banyak berbicara tentang : bersyukur, ikhlas, positif feeling, dan sebagainya. Semua diatas menekankan pada kesadaran spiritual yang 88% dibandingkan pikiran yang hanya 12% tetapi sudah mampu menghasilkan banyak hal. Kekuatan hati/perasaan adalah kekuatan luar biasa yang maha dasyat jika kita mampu memanfaatkanya dengan baik. Para leluhur kita dapat memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa karena mereka mengetahui rahasia ini dan sudah lepas dari keterikatan duniawi sehingga mampu mendapatkan “kesejatian” walaupun ada yang masih pada tataran “kewisesan/kanuragan”. Para spiritualist moderen umumnya adalah masyarakat yang menurut ajaran Catur Asrama masih pada Fase Grahastha, bahkan pada Fase Brahmacari, mereka biasanya tidak memperoleh kebahagian rumah tangga, karir tidak berkembang, kesulitan ekonomi, dan yang belum percaya diri. Walaupun demikian, motivator spiritual moderen ini, juga adalah orang yang banyak bergaul dengan tokoh spiritual. Sebut saja Erbe Sentanu (Mas Nunu) banyak bertukar pikiran langsung dengan para master self-development seperti Deepak Chopra, Brian Tracy, Maharishi Mahesh Yogi, Sandy MacGregor, Shri Shri Ravi Shankar, Bill Harris, Wayne Dyer, Danah Zohar dan banyak lagi. Juga Andrie Wongso yang banyak mengambil filosofi China. Erbe Sentanu menggunakan prinsif-prinsif Fisika Quantum, dimana pada saat gelombang pikiran pada posisi “Alpa” (alam bawah sadar), maka terjadi keselarasan antara pikiran dan perasaan, pada saat inilah ditanamkan hal-hal yang positif (Positif Feeling). Posisi relax atau bawah sadar diperoleh dengan “Meditasi”.

Lalu, bagaimana peran ”Mantra (Doa)” bagi spiritualist moderen ini ?. Bagi mereka ”Hati bersih” adalah tanah yang subur bagi setiap hal yang kita inginkan. ”Bersyukur” adalah sesuatu yang ampuh untuk memerangi yang disebut ”Nafsu”, pada saat bersyukur, maka nafsu itu akan hilang, sehingga hati menjadi bersih, kesadaran spiritual bangkit, dan selanjutnya tinggal menanamkan keinginan kita pada alam bawah sadar, sehingga tujuan akan lebih cepat tercapai. Sehubungan aktifitas ini umumnya lintas agama, maka Mantra (Doa) disesuaikan pada masing-masing peserta, bahkan kadang tanpa doa yang penting tepat mengisi perasaan ini dengan hal yang positif, seperti : merasa sehat, keluarga bahagia, punya mobil, punya rumah, dll yang kadang hanya visualisasi, tetapi karena Alam perasaan/hati ini sangat luar biasa, maka hal-hal positif itu diyakini bisa menjadi kenyataan. Kita mungkin pernah membayangkan punya mobil tertentu (mis : Mobil Kijang) mungkin saking seriusnya sampai tertanam ke perasaan kita yang terdalam, sehingga entah bagaimana caranya akhirnya kita memiliki mobil tersebut. Para motivator ini tidak mengajarkan untuk menghayal/melamun, tetapi lebih kepada menggunakan kekuatan hati/perasaan yang maha dahsyat, bahkan disebutkan kekuatan perasaan 5000 kali lebih kuat dari kekuatan pikiran.

Dengan fenomena diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa Mantra (Doa) hanyalah sebuah kalimat yang tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak memiliki kebersihan hati/perasaan, dan juga keyakinan akan Mantra yang kita ucapkan. Spiritualist tradisionail maupun moderen tentu adalah orang-orang yang sangat meyakini ”Mantra(doa)” yang diucapkan (wak) maupun didalam hati (Manah), jadi kita semua seharusnya seperti itu.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar/Solo-Jateng
ENTAS PITULUS – PITRA YADNYA PERTAMA
DI KLATEN JAWA TENGAH

Jatinom adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Klaten Jateng yang merupakan salah satu Kantong Hindu di Jawa Tengah. Di Jatinom ada 4 Dusun yang umat Hindu etnis Jawa masih cukup banyak, yaitu di Dusun Tibayan, Dusun Purodesan/Desa Randualang, Dusun Socakangsi, dan Dusun Gambira/Desa Kraji. Di Jatinom ini ada 2 buah Pura, yaitu : Pura Dharma Santana, di Dusun Tibayan dan Pura Randu Agung, di Desa Randualang. Pada 14 Maret 2007 yang lalu ada kegiatan Yadnya yang sangat langka dilakukan di Dusun/Desa Tibayan, Kec.Jatinom, Kab.Klaten, yaitu : ”Entas Pitulus” (Pitra Yadnya/Ngaben di Tengger Entas-Entas) secara kebiasaan Jawa yang bisa dikatakan pertama dilakukan di Kab. Klaten sejak Hindu bukan lagi agama yang dianut secara sembunyi oleh umat Jawa. Umat Hindu yang diupacarai Entas Pitulus adalah ”Sukirno” seorang Guru agama Hindu di SD Blimbing I , Karangnangka yang meninggal pada usia 50 tahun. Pemrakarsa dari upacara ini adalah tokoh umat Hindu, seperti : Romo Pandita Pujo Broto Sejati yang lebih dikenal dengan Romo Maming, Mudiarso seorang Pelestari Budaya Jawa asal Jaten Karanganyar-Solo, Sugito seorang guru SD di Jaten Karanganyar yang juga sangat memahami budaya Jawa bersaripati Hindu dan juga Wayan Puja seorang umat juga Pinandita yang sangat aktif mengikuti kegiatan umat Hindu etnis Jawa dan tentunya juga atas pengarahan dari para tetua di Jatinom.

Prosesi ”Entas Pitulus”
Prosesi dibagi di dua tempat, yaitu di dalam rumah dan di Pendopo. Didalam rumah para keluarga berkumpul dan terdapat ”Wahana” atau kendaraan sang Atma yang berujud Kambing Kendit yaitu Kambing berwarna hitam, sabuk putih (kalau di Bali Wahana ini adalah Wadah Wujud Lembu atau bentuk lainnya). Juga ada ”Penguripan” berupa Ayam (mewakili Darat), bebek (air), dan Burung Dara (Udara). Di Pendopo terdapat Sanggar Surya, Sesaji Jawa berupa Nasi uduk (berisi timun,kedelai, brambang/bawang merah) , ingkung (Ayam Panggang), beras kuning, pisang raja, dan banten Bali lainnya untuk Pitra Yadnya karena pemimpin upacara (Romo Maming) Nabenya dari Bali, jadi kelihatan ada percampuran Sesaji Jawa dan Bali, ini juga salah fenomena Hindu kedepan yang tidak kaku dengan Banten Jawa atau Bali. Di Pendopo ini terdapat sarana seperti : Pancaka (Panca Saka/ Bade di Bali) yang berbentuk seperti Sanggar di Bali dengan 5 tiang/saka dan tanpa paku dengan bahan bambu dan diikat alang-alang, didalamnya ada bantal/guling. Bambu dalam bahasa Jawa adalah ”Deling” dan Alang-alang ada pada kisah Para Dewa menjaga tempat yang bernama ”Alang Kumitir” sehingga bambu dan alang ini bermakna ”Dedel Ing Alang Kumitir”. Di Pendopo juga terdapat ”Puspa Sarira” yaitu perwujudan dari orang yang diupacarai Entas Pitulus, berupa Kayu Jati dibentuk seperti manusia (Di Bali biasanya dari Lontar/daun Ental diukir berujud manusia).

Prosesi diawali dengan Manggala Upacara (Romo Maming) melakukan Puja diikuti oleh Gamelan Jawa dan gending : Kinanti Karuno, Panjang-Ilang, Layu-layu, dan lainnya. Dengan ”Nyiwe Rage/ Menyatukan Siwa kedalam diri sebagai kebiasaan Pandita”, Pandita memohon agar Sang Atma hadir walau dikuasai oleh Bhuta Dengen atau apapun untuk dilakukan Entas Pitulus dan ditempatkan di Puspa Sarira. Selanjutnya acara masuk kedalam rumah dengan urutan umat yang membawa Lampu, menggendong Puspa Sarira, dan gamelan dari Pendopo menuju ke dalam rumah. Didalam lalu dilakukan ”Pradaksina” yaitu upacara mengelilingi Wahana (Kambing Kendit) searah jarum jam sebanyak tiga kali, Puspasarira diletakkan diatas Wahana dipegang petugas. Selanjutnya keluarga melakukan Puja Bhakti/penghormatan terakhir kepada Sang Atma dan umat di Pendopo melakukan Persembahyangan bersama. Kegiatan diatas masih pada Pradaksina I. Pada Pradaksina II dengan kegiatan mengitari wahana seperti diatas, para keluarga menghaturkan makanan kesenangan yang diupacarai Entas Pitulus, seperti Rokok, kopi, kue, dll sementara diluar Pancaka disiapkan oleh umat lainnya serta membawa Panjang Ilang atau nampan Janur dan Blarak (Daun kelapa kering) yang berisi buah-buah dan Polowijo. Acara berikut ”Pradaksina III” dimana Pancaka dibawa masuk dan Romo Maming juga ikut masuk. Pada sessi ini Puspa Sarira dimasukkan kedalam Pancaka. Setelah Persembahyangan oleh keluarga, maka acara selanjutnya dilakukan acara keluar yaitu Keliling desa satu kali dan berputar tiga kali di Prapatan Dusun Tibayan. Urut-urutan dari depan kebelakang : Romo maming, Lampu, Wahana, Pancaka (Dipayungi), Pangurip, Keluarga, Gamelan, Masyarakat. Selesai mengelilingi dusun, dilanjutkan kembali kerumah dan prosesi dilakukan di Pekarangan Rumah . Pancaka diletakkan di Pekarangan setelah berputar tiga kali, diberi Klasah (Daun pisang kering), Sebelum dibakar keluarga membekali Nasi Uduk dan Uang (tidak dibakar/ Pada fase ini di Bali banyak kesalahan dengan membekali Emas bahkan mobil). Pembakaran dilakukan pertama kali oleh anak pertama Sukirno, yang bernama Dwi Fajar, diiringi oleh Gending Telutu dan Sirep Aji Pulang. Keesokan harinya Pinandita Pura dan keluarga memasukkan Abu Pancaka kedalam Cengkir (Kelapa Muda) dan dilarung di Kali di Dusun Tibayan. Pada Prosesi sesudah ini di Bali biasanya dilakukan Nyegara-Gunung, dan Ngelinggihang (menempatkan) Sang Atma di Kemulan menjadi Dewa Hyang, namun di Jawa ditempat dimakamkan biasanya dibuat Candi (bukan dirumah), namun pada Entas Pitulus ini Prosesi selesai sampai pada Larung ke Kali Tibayan. Semoga Sang Atma menyatu dengan Sang Paramaatman dan keluarga memperoleh ketenangan, namun yang lebih penting lagi ”Entas Pitulus” yang merupakan Pitra Yadnya dengan tradisi Jawa Hindu dapat dilakukan umat Hindu Jawa lainnya diberbagai tempat.


Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
17-03-2007

Minggu, Oktober 10, 2010

MANUNGGALING ”ANGKARA LAN BHUTA”

”Kebahagiaan” demikian makna satu kata yang paling dicari manusia dimanapun dan sampai kapanpun, sehingga segala upaya dilakukan untuk meraih hal itu namun sering karena keterbatasan manusia mengartikan kebahagiaan bisa menjadi keliru dalam proses mendapatkannya. Agama pun menegaskan, bahwa tujuan hidup manusia adalah ”Moksartam Jagadhita” yaitu kebahagiaan sesudah mati (moksartam) dan selama masih hidup (Jagadhita). Ciri-ciri kebahagiaan sejati dalam wujud Moksa juga dipertegas dengan ”menyatunya Atman dengan Brahman” yang mana dalam khasanah spiritual umat Jawa dikenal dengan ”Manunggaling Kawula Lan Gusti” yaitu menyatunya Manusia dengan Sang Pencipta. Sederet kata-kata pendek yang mengandung makna tinggi itu ternyata memerlukan pemahaman yang panjang dan dalam agar manusia yang memburu kebahagiaan tidak salah dalam pengejarannya. Fenomena mencari kebahagiaan ini bisa kita simak dalam kehidupan masyarakat, dimana kebehagiaan yang menyentuh lubuk hati yang paling dalam sering disamakan dengan kesenangan yang lebih bersifat individu dan kepuasaan sesaat bahkan kadang kesenangan ini tidak perduli apakah orang lain menderita. Dalam ajaran Catur Purusarta disebut : Kejarlah Artha (material), Kama (kesenangan, pengetahuan), dan Moksa (Kesejatian), tetapi landasi dengan Dharma untuk mensucikan apa yang kita kejar itu, namun landasan dharma ini ternyata tidak mudah juga untuk difahami karena artha, kama, dan moksa kadang diperoleh tidak dijalan kebenaran.

Ada satu fenomena dimasyarakat khususnya di bali yang ingin dijelaskan dari judul tulisan diatas, dari pengamatan penulis masyarakat tanpa disadari banyak yang untuk memenuhi angkara akhirnya menyatu dengan bhuta. Diawali oleh rasa curiga dengan tetangga sehingga perlu membentengi diri, untuk ”pelelantih” agar dagangannya laris, agar suami tunduk, agar atasan dikantor takut, agar sakti/wisesa, bahkan yang jelas dengan dasar tidak baik yaitu agar saingan di kantor sakit, atau agar tetangga yang tidak disenangi sakit/mati, maka mereka lalu datang ke Jero balian yang memang mau memenuhi harapan itu. Jero Balian yang seperti ini dimana hanya demi uang atau Jero Balian yang belum faham makna kebahagiaan sejati, berusaha memenuhi harapan dari umat yang datang ini. Dibuatkanlah sesikepan, tolak bala, pengasih, pelelantih, atau kekebalan yang berupa: rerajahan pada kain putih, bahkan rerajahan pada bagian tubuh, susuk, diminum, dan sebagainya, yang mana tanpa disadari oleh Sang Balian maupun umat yang datang, bahwa Sang Balian telah mencetak calon ”Leaker-leaker baru (ahli leak/istilah penulis)”. Kenapa hal itu bisa terjadi? Penjelasan sederhananya begini ; manusia yang datang dengan keinginan lebih dari orang lain (suami takut, tetangga sakit, dll) sesungguhnya telah diliputi energi negatif yang namanya ”Angkara”, ketika datang kepada Jero balian (yang negatif atau belum faham), karena manusia adalah mahluk tertinggi ciptaan Tuhan, maka rerajahan, dll yang dibuat akan mengandung energi yang menyesuaikan dengan keinginan dari umat yang datang, karena niatnya adalah ”menguasai orang lain”, maka energi yang muncul adalah Bhutakala (dari berbagai tingkatan). Bhutakala ini dibawah kekuasaan Dewi Durga karena semua mahluk termasuk sarwa prani (tanaman), binatang, manusia, juga bhutakala ada dibawah kekuasaan Dewi Durga. Jero balian ini sesungghnya nge-bon Butakala kepada Dewi Durga yang mana akan dipertanggung jawabkan nanti oleh Jero balian maupun umat yang ingin memenuhi angkaranya. Sifat Bhuta ini adalah penurut/manut saja sekali lagi karena manusia adalah mahluk tertinggi ciptaan Tuhan, angkara manusia tersebut dan butha yang ditarik dari kekuatan energi balian akan menyatu, sehingga ”Manunggaling Angkara Lan Bhuta” yaitu menyatunya sifat angkara dengan Bhuta. Menyatunya manusia (yang angkara) dengan bhuta ini akan menyebabkan terpenuhi apapun keinginan manusia ini, dagangan jadi laris, suami takut, tetangga sakit, dsb dan seperti minum air laut maka haus tidak akan hilang akhirnya sifat angkara akan justru semakin menjadi-jadi inilah yang kemudian menciptakan peng-leak baru walau jaman semakin moderen. Bagi Jero balian yang benar (sebut saja balian putih), maka Bhuta yang menyatu dengan manusia yang angkara ini dengan kekuatannya ditarik dan dilukat, Jero balian yang benar punya cara atau mantram penglukatan bhuta. Para Bhuta ini diarahkan untuk belajar kepada Guru sarwa Bhuta yaitu Dewa Sangkara, itulah sebabnya dalam pecaruan ada mantra ”... undurakne bhutanta dening doh apan gurunmu hana ring kene, Sangkara guruning sarwa bhuta, Om Sangkara bhuta ya namah swaha” . Bhuta juga seperti manusia perlu belajar untuk meningkatkan dirinya, maka dari hasil belajarnya Bhuta ini yang mungkin awalnya Sang Bhuta Dengen atau Bhuta yang tempatnya di tempat angker, tebing, gesing, dll lalu meningkat menjadi ”Bhuta Dewa” yang tempatnya di Penunggun Karang setiap rumah. Dengan penjelasan diatas, maka sebaiknya umat jangan memenuhi Angkara dengan ingin menguasai orang lain karena kedepan anda bisa jadi Leak-er baru, sadari bahwa hidup ini adalah kasih sayang, rejeki sudah ditentukan, berdagang adalah perlu ilmu marketing, hubungan suami-istri saling memahami dan yang penting tubuh ini sudah lengkap, jangan lagi ditambahkan sesikepan, cincin sakti, dan sebagainya, sering-sering mensucikan diri dengan ”Tri Kaya parisudha”, juga dengan sarana bebantenan Bayakaon (pembersihan perilaku), durmenggala (pembersihan kata-kata), dan Prayascita (pensucian pikiran), datanglah kepada Jero balian yang benar, atau datang kepada Jero Mangku, atau Sulinggih untuk nunas pensucian dan wejangan kebenaran agar kita jauh dari hal negatif. Jero balian agar hati-hati terhadap kemampuan yang dimiliki landasi kemampuan yang dimiliki dengan ajaran kebenaran agar tidak salah ngayah pada umat, Bhuta juga ciptaan Hyang Whidi yang perlu selaras dengan manusia sesuai ajaran tri Hita karana, bahkan kewajiban manusia untuk meningkatkan derajat sarwa bhuta jangan malah diperalat untuk kepuasaan angkara manusia. Om Ang kang kasol kaya swasti-swasti, kala bhuta predhana purusa bhoktya namah swaha.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 10-10-2010
MEMAKNAI SAKTI DALAM KEHIDUPAN

Jika kita menyebut kata ”Sakti”, maka makna yang muncul kemudian adalah ka-wisesan, kanuragan, dan sejenisnya, sehingga kemudian dilekatkan dengan orang sakti, benda sakti, yang mencerminkan energi berupa kekuatan. Seorang Sulinggih sudah tidak wajar ngelarang/ngamel/menjalankan ke-saktian karena sakti ini identik dengan Ksatrya Warna sementara Sulinggih sudah berada pada Brahmana Warna. Diperwujudan para Dewa juga dikenal Sakti, seperti Dewi Saraswati adalah Sakti dari Dewa Brahmana, Dewi Uma Sakti dari Dewa Siwa, lalu apakah sama makna Sakti pada manusia yang sering diidentikkan dengan Wisese dengan sakti dari Dewa? Kita bisa melihat hal itu lebih jauh jika kita mampu ”memaknai Sakti dalam kehidupan”.

Sebagai manusia, maka kita perlu punya panutan atau idola sehingga dalam ilmu pangalantaka setiap kelahiran manusia punya Dewa masing-masing. Menurut pangalantaka maka Dewa yang sesuai dengan kelahiran seseorang akan menunjukkan bakat dari orang tersebut baik dari sisi pekerjaan maupun spiritual, misalnya orang yang Dewanya Ganesa maka cocok dengan pekerjaan Audit, dosen, dll dan jika menjadi Pemangku atau Pandita mempunyai kemampuan lebih dibidang ”pengresikan/prayascita” karena Dewa Ganesa adalah Dewa pembebas halangan juga Dewa pintar sehingga dipakai simbul oleh Universitas Gajahmada di Jogjakarta, demikian juga orang yang kelahirannya dengan Dewa-dewa lainnya. Kenapa hal itu bisa terjadi, maka kita kembalikan saja pada konsep Brahman-Atman Aikyam, dimana dalam setiap manusia ada unsur kehidupan yang disebut Atman merupakan percikan Brahman, karena Dewa adalah perwujudan Brahman (Deev=sinar), maka percikan Brahman berupa Atman pada manusia dapat juga berwujud (murti) dari Dewa-Dewa. Yang ingin kita bahas lebih jauh adalah posisi sakti pada manusia. Dewa Brahma adalah Dewa yang mempunyai fungsi mencipta (Srishti=daya cipta), namun fungsi itu tidak akan menjadi apa-apa jika tidak ada Dewi Saraswati (Dewi Ilmu pengetahuan), artinya Dewi Saraswati merupakan Sakti atau energi/kekuatan dari Dewa Brahma, sehingga dengan energi Dewi Saraswati berwujud pengetahuan, muncullah ciptaan-ciptaan. Agar ciptaan tersebut menjadi positif jika dilahirkan dari manusia maka diingatkan manusia itu sejak Hr saraswati sampai Hr Pagerwesi (berurutan: Hr.Saraswati,banyu pinaruh, soma ribek, sabuh emas, pagerwesi). Dewa Wisnu punya fungsi memelihara, namun tanpa Saktinya (Dewi Laksmi) tidak bisa terwujud pemeliharaan dunia ini. Dewi laksmi kemudian di bali dikenal dengan Dewi Sri atau dewi padi yang menyebabkan manusia memperoleh bahan makanan sehingga bisa hidup, juga dikenal dengan Bhatara Rambut Sedana yang disimboliskan dengan wujud pis bolong (Uang kepeng) yang dirangkai berbentuk manusia, sebagai pemujaan para pedagang, juga dikenal Dewi Ayu Melanting yang juga dipuja oleh para pedagang, semuanya sakti Dewa Wisnu untuk memelihara dunia. Dewa Siwa dengan fungsi melebur hanya mampu dengan kekuatan Durga/Uma, juga sakti lainnya Dewi Parwati (Dewi Gunung). Durga yang juga disebut Pertiwi (Pratiwi) adalah penguasa manusia, sarwa prani (tumbuhan), binatang, bahkan juga sarwa bhuta karena bhuta juga ciptaan Hyang Whidi, dimana begitu halnya manusia, maka bhuta juga belajar meningkatkan dirinya dan belajar/berguru pada Dewa Sangkara (nama lain Siwa) sehingga dalam pemujaan Pemangku ada mantra ”... undurakne bhutanta dening doh apan gurunmu hana ring kene, Sangkara guruning sarwa bhuta, Om Sangkara bhuta ya namah swaha” . Dengan kesabarannya Dewi Durga (Pratiwi) menopang kebutuhan manusia berupa sarwa prani, dll namun jiak bergerak sedikit saja pertiwi terjadilah gempa, gunung meletus, dan ini adalah proses peleburan Siwa dengan saktinya Durga, maka dalam kondisi ini Durga disimbulkan dengan wajah seram. Manusia perlu mencari tauladan dari para Dewa bukan Bhuta kala, maka istri juga adalah sakti setiap suami. Seorang suami tidak akan lengkap jika tidak memiliki istri yang dapat menjadi energi pendorong (sesuai fungsi istri) sehingga terjadi keluarga yang sukhinah (Sukhino Bhawantu). Suami adalah Surya (matahari) yang memberikan energi dalam kehidupan disiang hari sementara istri adalah Candra (bulan) yang memberi kelembutan dan ketenangan dimalam hari. Bagi seorang anak Ayah adalah ”Akasa” (Siwa di skale) yang melindungi dan menjadi kebanggaan keluarga sementara ibu adalah ”Pertiwi” (Durga di skale) yang sabar dan telaten. Pemujaan pada Mrajan Leluhur juga mempunyai makna pemujaan kepada Akasa-Pertiwi. Itulah sebabnya dalam konsep etika beragama, maka sungkem pada Ibu-bapak juga bermakna bakti pada Tuhan di Skale.

Dalam perjalan kehidupan moderen, konsep Sakti atau istri yang merupakan energi pelengkap bagi suami kemudian dihadapkan pada ”emansipasi” yang salah kaprah. Jika secara filosofi Suami adalah Pilot dan istri adalah co pilot yang bermakna istri adalah saktinya, maka dalam bidang pekerjaan boleh saja istri menjadi pilot, menjadi nakhoda, polwan, atau pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh laki-laki tetapi ketika masuk dalam hubungan suami-istri maka suami tetap adalah nakhoda. Jika istri mengambil alih menjadi nakhoda dalam rumah tangga, maka siap-siap kehancuran dalam rumah tangga akan terjadi. Jika suami sebagai nakhoda menyimpang atau salah arah maka istri wajib mengingatkan bukan mengambil alih nakhoda rumah tangga. Suami sebagai Surya juga tidak boleh semena-mena dan ini sangat jelas dicantumkan dalam Weda sebagai dasar hubungan suami istri. Apakah karena pemahaman itu, maka mantan Perdana Mentri Inggris – Margaret Tatcher yang dikenal sebagai wanita besi, tetapi ketika dirumah tetap sebagai istri melayani suaminya, mungkin saja. Akhirnya dengan memahami Sakti secara baik dalam kehidupan, maka perputaran roda kehidupan ini akan bergerak secara benar dan melahirkan kebahagian bagi umat manusia. Tidak ada gunanya kita mengejar Sakti dalam pengertian Wisese karena hanya Hyang Whidi yang memiliki kekuatan itu, manusia hanya perlu kasih sayang kepada sesama karena semua mahluk adalah bersaudara (Vasudewa khutumbhakam).


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 10-10-2010

Selasa, September 07, 2010

PIODALAN ”PURA PEMACEKAN”
KARANGANYAR-SOLO-JAWA TENGAH

Piodalan ”Pura Pemacekan” atau ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita” dilaksanakan pada Purnama Katiga (setiap setahun sekali) kali ini jatuh pada 24 Agustus 2010. Piodalan ini adalah yang pertama kalinya bagi Pengempon periode II Februari 2010-Februari 2015 dibawah struktur MGPSSR Pusat. Tanggung jawab bebantenan kali ini oleh MGPSSR Kab.Jembrana (Negara), Pengempon di Jawa (Karanganyar&Solo) menjadi Panitia dan mempersiapkan bebantenan sederhana karena belum mampu menyiapkannya. Panitia terdiri dari umat Hindu setempat baik umat Bali maupun umat Hindu suku Jawa, juga melibatkan penduduk disekitar Pura (non Hindu) yang sangat menghormati beliau yang distanakan di Petilasan, dengan menyerahkan Parkir kepada Karang Taruna, penginapan, dan membuka warung makan/minum pada ibu-ibu, jadi manfaat secara ekonomis juga diperoleh karena seharusnya konsep Pura secara horizontal adalah agar memberi manfaat kepada masyarakat sekitar serta para damuh. Proses sudah dimulai dengan : Rapat-rapat Panitia yang terdiri umat Pengempon serta umat Hindu dilereng Gunung Lawu (Ngargoyoso, Kemuning, Jenawi, Karanganyar kota, Masaran, dan Solo sekitar) dimana banyak juga mereka adalah pejabat di kepolisian, guru, pegawai suasta, dan lain-lain dengan semangat Ngayah berbaur bersama dengan baiknya. Tanggal 21 Agustus 2010 Mepiuning, 22 Agustus 2010 Nuwur Tirta di candi Ceto, 23 Agustus 2010 persembahyangan di Beji (Taman) sekaligus Plaspas ”Reog Singo Pasek” dimana Reog ini inisiatif penduduk setempat. Puncak piodalan pada pagi hari 24 Agustus 2010 ”Puja Piodalan” pada pagi hari sekitar pukul 07 wib dihaturkan oleh : 6 (Enam) Pandita sebagian besar dari Jembrana, prosesi dengan Banten yang sederhana dihaturkan dengan baik oleh Pemangku, sarati Banten, dan mengajak umat Jawa ikut terlibat semuanya dibawah komando Pandita yang Muput. Setelah Puja Piodalan selesai, dilanjutkan dengan Puja Tri Sandhya dan Kramaning sembah, terakhir Nunas Wangsuhpada (Tirta). Sebelum bubar disampaikan sambutan : Ketua Panitia-Made Sabaryasa, Ketua Pengempon-Ketut Landra, PHDI Karanganyar diwakili WK I Bid.Tata Agama Jero Mangku Made Murti dan darmawacana oleh Jero Mangku Pasek Suastika, dengan Pembawa Acara Jero Mangku Nyoman Sukadana. Acara berjalan dengan lancar dan umat yang hadir dari Puncak Piodalan sampai Nyineb (Penutupan) sangat banyak dan secara beruntun rombongan demi rombonggan hadir mengiringi Para Pandita. Total Pandita yang hadir lebih dari 20 (dua puluh) Pandita. Piodalan ini seperti biasa berlangsung (Nyejer) tiga hari dan Persembahyangan terakhir berupa ”Nyineb” dilakukan pada 27 Oktober 2010 pagi sekitar jam 07 dipuput oleh : 4 (empat) Pandita Mpu dari Gria : Braban-Denpasar, Nusa-Klungkung, Mengwi-Tabanan, dan Tukad Mungga Singaraja.

Belajar tidak hanya minta ”ANUGRAH”
Darmawacana oleh Jero Mangku Pasek Suastika yang cukup singkat namun banyak hal-hal positif yang bisa dipetik, seperti : umat yang datang ke Pura apalagi sampai jauh datang ke Jawa untuk menghaturkan bhakti tentu akan lebih baik jika diwujudkan dalam kegiatan yang nyata. Jika setiap doa tidak pernah lupa memohon ”anugrah” kepada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan, maka sudah waktunya kita melakukan ”Karma Marga” lewat Punia baik Jnana Punia maupun Punia harta serta tenaga untuk menyempurnakan bhakti kita. Seperti diketahui, saat ini Pura Pemacekan sedang membangun ”Pasraman Sulinggih”, maka bentuk bhakti berupa dana punia sangat dibutuhkan untuk melengkapi sarana dan prasarana Pura pemacekan mengingat para Pandita perlu kita tempatkan pada tempat yang layak dan terhormat, serta nyaman mengingat mereka banyak yang sudah sepuh. Penghormatan kepada Pandita juga merupakan wujud ”Rsi Yadnya” dimana aktifitas yadnya ini tidak sekuat ”Dewa Yadnya” juga ”Pitra Yadnya”. Disinggung juga oleh pen-darmawacana, sarana upacara berupa ”Upakara/bebantenan” yang saat ini masih dibawa dari bali diharapkan kedepan bisa disiapkan dari umat di jawa dengan tidak mengabaikan local genius (kebiasaan setempat) mengingat Pura Pemacekan berada di Jawa. Untuk hal ini memang masih dalam proses mengingat di Jawa sendiri banyak upakara lokal yang perlu dikaji secara dasar Tattwa Weda sehingga dapat dikombinasikan dengan upakara yang sudah biasa dilakukan di Bali, contoh saja ”Taman Pulo Gembal” tingkatan upakara piodalan yang intinya sebenarnya mempersembahkan seisi hasil alam sehingga berupa ”Taman” sebagai wujud bhakti pada Ibu Pertiwi (Durga), maka di Jawa juga ada Gunukan berupa tumpengan dengan segala hasil buminya. Untuk hal ini sedang di-wacanakan untuk mengadakan darma-tula antara Pinandita umat Jawa serta sesepuh umat untuk diskusi dipimpin oleh Pandita sehingga kedepan dapat diperoleh Format Upakara yang mengandung Local Genius (budaya setempat) tetapi mempunyai landasan Tattwa Weda / sastra agama. PHDI Karanganyar seperti disampaikan oleh WK I Bid.Tata Agama akan siap menjadi penggeraknya. Akhirnya apapun yang kita persembahkan kehadapan Hyang Widhi itu hanyalah bentuk bhakti dan ucapan terima-kasih kita atas apa yang telah kita peroleh dari Beliau, manusia tidak boleh hanya menerima anugrah saja, namun perlu punya rasa syukur dan ber-terima kasih melalui mempersembahkan kembali apa yang sudah kita peroleh sehingga : Yang memperoleh anugrah harta lakukan Punia, yang berhasil dalam pertanian/perkebunan haturkan hasil bumi, yang memperoleh pengetahuan (Jnana) lakukan Jnana Punia untuk kemajuan umat, yang memperoleh anugrah seni, maka ngayah dengan menabuh & menari, yang memperoleh kesehatan maka haturkan dengan tenaga, dan banyak bentuk rasa syukur kita akan anugrah Hyang Widhi. Demikianlah sejatinya makna dari setiap persembahan yang kita lakukan, semoga menjadi sempurna bhakti kita. Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha.


Dilaporkan oleh,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 07-09-2010

Senin, Agustus 09, 2010

PERKEMBANGAN UMAT HINDU KARANGANYAR
JAWA TENGAH

Akankah Hindu akan berkibar kembali di Bumi Nusantara? Jawaban atas pertanyaan tersebut sering dikaitkan dengan ramalan, seperti : Ramalan Joyoboyo atau Sumpah Sabda Palon dan Naya Genggong, dimana ketika Brawijaya V (Majapahit terakhir) dan berakhirnya Dinasti Raja-Raja Hindu, diramalkan Hindu akan kembali berkibar di Bumi Nusantara. Apakah sekarang ini saatnya? persepsi tentang hal itu akan berbeda-beda, namun kita tidak perlu berdebat tentang hal yang merupakan kekuasaan Hyang Widhi, mari kita lihat bersama fenomena yang ada sekarang ini dimasyarakat secara nyata, real, facta. Wilayah Karanganyar merupakan kantong Hindu dengan penduduk asli suku Jawa yang cukup besar, namun itu sekitar tahun 1967, dewasa ini jumlah tersebut sudah merosot sangat jauh turun hampir separohnya sehingga berjumlah sekitar 6.000 (enam ribu) orang saja tersebar terbanyak di : Kec Ngargoyoso sekitar 2.000 orang, Kec Jenawi sekitar 1.500 orang, dan sisanya di kec. Mojogedang, dan Karanganyar Kota sekitarnya, dari keseluruhan umat Hindu Suku Bali hanya tidak lebih dari 10% yang berprofesi sebagai : Polisi, Karyawan Swasta, Dosen, Guru, dll. Walaupun demikian ada optimisme dari tokoh umat setempat yang menarik yaitu : “Jika dulu kita tinggi kuantitas tetapi rendah kualitas, maka sekarang ini walau rendah kuantitas tetapi tinggi kualitas”.

Untuk memberikan gambaran lebih jauh, maka disela-sela Rapat persiapan Piodalan Pura Pemacekan Karangpandan dimana banyak tokoh umat Hindu ini ikut dalam ke-Panitiaan, maka penulis menggali dari sebagian saja aktifis umat Hindu ini seperti : Sukiman dan Made Sabaryasa Guru Agama Hindu dari Kec. Jenawi, Suwarso (anggota PHDI) kec. Ngargoyoso, Nengah Rawi Guru Kec. Mojogedang, dan Sumarno Guru Agama Hindu dari Karanganyar Kota. Secara umum para umat ini sepakat, bahwa ”Perkembangan Umat Hindu di Wilayah Karanganyar masih perlu perhatian lebih baik” , dari pemerintah maupun lembaga umat Hindu serta para umat yang peduli terhadap kemajuan umat Hindu ini. Permasalahan umat Hindu ini bisa menjadi mewakili terhadap fenomena masyarakat Hindu ini diwilayah lain ex Kresidenan Surakarta, seperti : Solo, Karanganyar, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, dan Klaten, bahkan mungkin di wilayah lainnya di Jawa. Pada tahun 1967 – 1980 merosotnya umat Hindu di Karanganyar terutama karena persyaratan UU Perkawinan dimana untuk umat Hindu yang menikah perlu sampai ke catatan sipil sementara umat lain cukup sampai KUA (Kantor Urusan Agama) hal ini mengakibatkan banyak umat Hindu ini sampai pada KUA karena biaya yang tinggi untuk sampai ke Pencatatan Sipil dan akhirnya meninggalkan keyakinan leluhurnya. Dewasa ini hal seperti itu sudah tidak ada lagi karena di wilayah karanganyar sudah ada lembaga PHDI yang memberikan bantuan atas permasalahan perkawinan ini, namun bukan kemudian segala sesuatunya sudah baik. Para umat ini memaparkan bahwa masalah pokoknya adalah : Kesejahtraan umat yang sebagian besar petani dan buruh tani, masalah pendidikan, peningkatan pemahaman Hindu lewat darmawacana/darmatula, serta mengangkat ritual setempat (local genius) yang memenuhi sastra Hindu karena mereka umat Jawa bukan suku Bali. Dalam hal kesejahtraan ini, bisa dibantu lewat menyalurkan tenaga kerja atau bantuan ekonomis yang murah karena masih ada kejadian dimana untuk memperoleh pekerjaan kadang mereka harus meninggalkan Hindu. Dalam hal pendidikan memang sudah banyak peran guru Hindu namun menurut pengakuan para guru ini kami bukan pendarma-wacana mohon ada bantuan darmawacana atau darmatula yang rutin juga bantuan buku-buku Hindu. Dalam kegiatan ritual untuk fisik bangunan (Pura) boleh dikatakan sudah cukup hanya tinggal pemeliharaan atau tambahan sedikit-sedikit untuk lengkapnya sebuah Pura namun yang penting adalah memfungsikan Pura tersebut dalam kegiatan bhakti. Untuk kegiatan ritual berupa persembahyangan bersama mereka ada waktu pertemuan rutin umat atau Pinandita, seperti di Kec. Ngargoyoso pada Selasa-Wage, di Kec. Jenawi Selasa Kliwon. Moment ini dipergunakan mereka untuk meningkatkan sradha-bhakti kehadapan Hyang Widhi. Pola seperti ini secara umum dipergunakan di kantong Hindu lainnya di jawa. Yang belum ditemukan standard yang baku adalah masalah sarana bhakti berupa ”bebantenan”. Bagi umat yang sudah berada ditataran Tattwa, maka hal bebantenan ini menjadi tidak begitu masalah, namun sebagian besar umat ini masih menganggap sarana bebantenan ini hal yang prinsif. Walaupun tidak mungkin umat Jawa ini akan bersembahyang dengan sarana seperti di bali secara aplikatif, namun mengingat di Karanganyar ini ada perpaduan umat Jawa – Bali maka saat persembahyangan ada kombinasi Sesaji Jawa dan Banten Bali inilah yang semestinya kedepan akan menjadi bentuk baru dari sebuah persembahan. Bentuk persembahan seperti ; Nasi golong, tumpeng, asagan, dll serta perayaan seperti ”Mondosio (di Bali Medangsie) di candi Ceto, merupakan sarana bhakti yang masih menjadi ciri khas mereka jadi biarkan berkembang alami dan bisa dibantu rujukan sastra Weda dengan konsultasi kepada Sulinggih. Hal yang lainnya adalah Ageman Pinandita/Wasi, perlu digali format lokal yang bisa dijadikan pegangan para Pinandita ini tanpa menyimpang secara prinsif dengan ”Ageman Ke-Pemangkuan” yang sudah biasa dilaksanakan oleh para Pemangku/Pinandita dari Bali. Tanpa menutup mata atas bantuan umat, maka kehadiran umat Hindu yang sudah dilakukan memang cukup berbobot, seperti : pembangunan fisik Pura, darma wacana, bantuan beasiswa Sanatana Dharma, penyaluran umat untuk ditampung di Yayasan sejenis Asram di Bali, serta bantuan lainnya, namun para umat yang disebutkan diatas sepakat, bahwa permasalahan umat Hindu ini belum selesai, sehingga ”Orang tua Asuh” adalah salah satu yang diusulkan untuk membantu umat ini.

Tulisan singkat ini bagi penulis hanya prolog saja, dengan informasi ini diharapkan para cendekian Hindu, birokrat, pengusaha, dan umat pada umumnya, terpanggil hati nuraninya untuk menyumbangkan sedikit harta serta meluangkan sedikit waktu dan perhatiannya untuk kemajuan umat ini. Bagi umat dari Bali yang sering mengaku berasal dari Jawa, maka silahkan bantu saudara-saudara kita ini sesuai kemampuan yang ada karena pengakuan saja tidak cukup perlu pembuktian. Waktu dan dana yang dikeluarkan untuk melakukan ritual baik secara pribadi maupun lembaga akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk membantu para umat ini secara nyata. Aum A No Bhadrah Kratawo yantu Wiswatah (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru).




Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
08-08-2010.
PURA PEMACEKAN – KARANGANYAR
MEMBANGUN ”PASRAMAN SULINGGIH”


Proses pembangunan sarana fisik di Pura Pemacekan Karangpandan-Karanganyar/Solo, masih belum selesai, salah satu bangunan yang penting yang sudah direncanakan setelah dibangunnya Beji dan diplaspas Jumat Legi, 3 April 2009, adalah ”Pasraman Sulinggih” yang letaknya disebelah timur/dibelakang Beji dengan lokasi diluar area Beji dimana Pura masih memiliki tanah yang belum dibangun.

Pasraman Sulinggih ini dibangun dalam dua lantai dengan luas 6M x 15M = 90M dikalikan dua lantai sehingga total 180 M2. Penggerak pembangunan ini adalah MGPSSR Pusat bekerja-sama dengan Pengempon Pura Pemacekan. Anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp. 400 Juta dimana saat ini dana yang ada baru sebesar Rp.30 Juta dari sumbangan umat. Dengan keterbatasan dana tersebut rupanya semangat para umat ini tidak terbatas, sisa-sisa pembangunan Sekretariat MGPSSR Pusat berupa : Besi dibawa ke Karanganyar dengan truck sekaligus dengan beberapa tukang juga tukang lokal dan hasilnya pada 29 Juli 2010 pondasi Pasraman berhasil dipasang. Sehubungan Piodalan Pura Pemacekan jatuh pada 24 Agustus 2010 (Purnama Katiga), maka target untuk selesai Pasraman belum bisa dipenuhi, salah satu sebabnya karena dana belum siap, semoga saja dengan ini ada para donatur ada yang tergugah mendanapuniakan hartanya untuk mempercepat selesainya ”Pasraman Sulinggih”.


Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
08-08-2010.

Sabtu, Juli 31, 2010

IDE PENYATUAN SEKTE HINDU DALAM SUATU MAJELIS

Wacana Pejabat Dinas Hindu untuk menyatukan Hindu Nusantara kedalam suatu Majelis perlu ditelaah dengan baik dan penuh kehati-hatian karena jika salah tindakan ini dapat mencerminkan tindakan yang terburu nafsu atau tergesa-gesa. Seperti sudah dimuat pada Raditya beberapa edisi yang lalu, banyak tanggapan yang kemudian muncul yang beberapa juga terkesan tergesa-gesa. Ada juga yang begitu khawatir jerih payah Mpu Kuturan yang sudah berhasil mempersatukan (Fusi) sekte-sekte Hindu pada masa Raja Udayana, akan gagal justru dijaman moderen ini. Sebelum sesuatunya menjadi tidak baik bagi perkembangan umat Hindu, maka Ada beberapa pertanyaan yang seharusnya dijawab dulu sebelum kita me-wacanakan sesuatu, seperti : Apakah di Indonesia, Hindu Nusantara ini sudah sangat spesifik menjadi Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Kaharingan,dll.?, Jika dilihat dari segi Ista Dewata yang ditonjolkan apakah Hindu di Indonesia sekarang ini, sudah spesifik ada sekte-sektenya, seperti : Siwa Sidanta, Sekte Waisnawa, dll ? dimana pada jaman Mpu Kuturan sudah di-fusi sehingga kita bisa bersatu dalam pemujaan Tri Murti di Kemulan atau Desa Pakaraman. Cukup dua hal itu dulu diperjelas walaupun banyak hal yang harus ditelaah sebelum menarik kesimpulan itu. Menurut wacana yang dimuat pada Raditya beberapa edisi lalu, Pejabat tersebut menyampaikan, karena sudah ada Organisasi Komunitas warga Hindu India di Indonesia dalam wadah SDN, Majapahid sebagai wadah umat Hindu Jawa di Jakarta, PDHB dan lain-lain di Bali, dan katanya dengan Hindu Kaharingan terbentuk misalnya, sudah bisa dibentuk organisasi atau majelis ini, yang menjadi pertanyaan, apakah hal ini sudah begitu mendesak atau prioritas ?. Majapahid adalah murni sebagai organisasi keumatan jadi tidak berbicara sekte atau Ista dewata yang ditonjolkan, jadi ini hanya murni Hindu, komunitas warga India (SDN) adalah amanat dari rapat besar mereka di-tingkat dunia dan ini juga organisasi keumatan Hindu bukan Sekte, dan kalau Hindu Kaharingan, serta lain-lain dibentuk juga tetap Hindu, disini tidak berbicara sekte atau Ista Dewata yang ditonjolkan. Kalau ternyata maksudnya organisasi keumatan yang diwadahi dalam Majelis ini dan bukan sekte-sekte, kita sudah ada PHDI yang bisa menjadi payungnya. Kalau misalnya PHDI belum maksimal, maka ini yang harus dibantu atau dimaksimalkan bersama supaya menjadi effektif. Penyatuan organisa Hindu Nusantara dalam majelis ini bukan tidak ada masalah, misalnya di Bali saja, mana yang dimaksud dengan Hindu Bali atau organisasi mana yang akan mewakili. Bagaimana dengan umat Hindu orang Bali yang ikut kedalam Hare Kresna atau Sai Baba misalnya, kemana mereka akan bergabung. Lalu umat Jawa apakah mereka sudah murni tradisi Jawanya dalam aplikasi ke-Hindu-annya, seperti kita ketahui karena ratusan tahun Hindu tenggelam di Jawa, maka di Jawa tidak bisa secara utuh ditemukan tradisi Jawa Hindu itu, hanya baru di-gali sedikit-sedikit, seperti Pitra Yadnya dengan Entas Pitulus atau Entas-entas, dan tradisi lainnya yang sedang diangkat kembali, sehingga sekarang keseharian mereka sembahyang dengan Canang yang diajarkan orang Bali, Pelinggihnya Padmasana atau Meru yang biasa dipergunakan di Bali, walau sudah ada yang menerapkan Candi sebagai peninggalan di Jawa, jadi tidak bisa murni Hindu Jawa. Itu baru dari sisi pengelompokan secara suku. Dari sisi Ista dewata yang ditonjolkan rasanya hanya saudara-saudara dari India yang bisa jelas atau spesifik, seperti Hare Krisna walau pasti juga memuja Siwa, Brahma dan lainnya. Di Bali tidak bisa disebut Siwa Sidanta karena dalam Surya Sawana atau pemujaan lainnya, Ista Dewata lain juga ditonjolkan, inilah karena keberhasilan fusi yang dilakukan oleh Mpu Kuturan pada abad 10-11.

Dengan melihat hal-hal seperti itu, maka wacana untuk membentuk majelis baru yang mewadahi Hindu Nusantara selayaknya tidak perlu diteruskan karena lebih banyak dampak pemecah belah daripada persatuannya. Kita sebaiknya kosentrasi kepada Lembaga umat yang sudah ada yaitu PHDI ini harus didukung bersama dan diberdayakan supaya manfaatnya bisa dirasakan oleh umat Hindu secara keseluruhan. Kita perlu juga punya majelis yang berwibawa sehingga didengar oleh pemerintah, jangan malah dibuatkan tandingannya. Kita harus bersyukur dengan kebesaran jiwa para umat di Bali sehingga kasus dua PHDI Bali sudah terselesaikan dan lahir PDHB, jangan ini kemudian dikembangkan lagi menjadi perpecahan ketingkat yang lebih tinggi (nasional) karena ini akan membuat malu kita sendiri. Bagi para umat, sudah seharusnya sadar, bahwa dunia sudah berubah dan akan selalu berubah, bola juga akan bergulir terus, jadi kita harus siap dan legowo menghadapi keadaan kedepan yang perlu dipersiapkan dengan kedewasaan. Majelis Hindu adalah PHDI, dan umat Hindu Nusantara biar berkembang dengan sendirinya tanpa perlu di-kotak-kotakkan menjadi Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu India, dan lainnya. Biarlah Hindu hanya dipayungi secara filosofi (tatwa) oleh Weda, dan biarlah budaya yang merupakan balutannya berkembang terus mengikuti perkembangan jaman, sehingga orang Jawa silahkan menggunakan Canang, orang Bali di Jawa ke Pura tidak apa memakai Blangkon (Beskap lengkap), orang Bali silahkan ikut Hare Krisna dan berpakaian sembahyang atau saat Bajan dengan pakaian India, orang India silahkan ke Pura dengan pakaian Bali dan membawa canang sari, jadi hal ini terlihat begitu penuh warna dan inilah keunikan Hindu yang sangat demokratis dan sangat memberi kebebasan kepada penganutnya. Janganlah begitu khawatir Bali akan hancur karena budayanya tergerus oleh budaya lain, misalnya masuknya tradisi India, karena yang kita warisi sekarang juga adalah akibat berbaurnya nenek moyang kita dulu dengan para rohanian dan masyarakat awam dari India yang otomatis membawa budayanya sendiri. Tirulah kebijaksanaan para leluhur dahulu sehingga tradisi yang kita warisi sekarang tidak secara utuh terlihat sebagai tradisi India atau China, walau kita dahulu berbaur yang berarti saling mempengaruhi. Kedepan juga akan seperti itu, akibat berbaurnya umat Hindu dari berbagai suku dan dengan warga hindu India, akan menjadikan suatu saat nanti akan muncul suatu tradisi yang tidak akan disebut tradisi India, tetapi akan disebut tradisi Jawa, tradisi Bali, tradisi Sunda, dan lain-lain yang dipayungi oleh Weda.

Sebagai akhir kata, maka berhati-hatilah kita memberikan suatu wacana apalagi oleh tokoh yang dampak suaranya akan berpengaruh kepada masyarakat, sebab seorang tokoh harus super hati-hati sebelum mengeluarkan pernyataan apalagi melakukan tindakan. Semoga Hindu semakin diterima di hati masyarakat sehingga semuanya dapat menikmati kedamaian yang diajarkannya.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
14-12-2008.
SEJARAH KEBERADAAN
PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN
DK.PASEKAN, DS.KEPRABON, DESA/KEC.KARANGPANDAN, KARANGANYAR
JAWA - TENGAH
_______________________________________________


I. PENDAHULUAN .

Dalam Hindu ajaran „Tri Rnam“ menyebutkan, bahwa manusia mempunyai tiga hutang, yaitu : Dewa Rnam, Pitra Rnam, dan Rsi Rnam. Pitra Rnam mengajarkan, bahwa kita memiliki utang kepada leluhur termasuk orang tua (ayah-ibu) karena dari beliaulah kita lahir dan dibesarkan. Pada sebait kekawin Ramayana, disebutkan mengenai Sang Dasarata - Raja Ayodya, beliau adalah ahli Weda, seorang bhakta (pemuja Tuhan yang taat), tidak pernah lupa memuja roh leluhur serta sangat kasih kepada semua keluarga dan rakyatnya. Mungkin karena kualitas Dasarata itu pulalah, maka Dewa Wisnu memilih Raja Ayodya itu sebagai „Ayah“-Nya di dunia ini. Ajaran Hindu Catur Guru yaitu ”Guru Rupaka” mengajarkan bhakti pada orang tua juga berarti leluhur kita. Dalam keseharian umat Hindu hutang kepada orang tua dan leluhur ini juga diwujudkan dalam bentuk „ Puja Bhakti“ yang dilandasi oleh ajaran Panca Yadnya khususnya „Pitra Yadnya“ dimana dalam arti sempit, Pitra Yadnya sering disamakan dengan upacara Ngaben atau upacara yang berkenaan dengan kematian, namun dalam arti luas, pemujaan roh leluhur merupakan implementasi ajaran Pitra Yadnya. Sejak dahulu leluhur kita mengajarkan bhakti pada leluhur dimanapun berada sehingga dalam setiap pemujaan sering orang tua di Bali melakukan Puja Bhakti dengan menyebut pada Leluhur di Majapahit, leluhur di Solo, dan umumnya leluhur di Jawa. Hal ini menjadi beralasan karena leluhur sebagian besar orang Bali asalnya dari Jawa, sebut saja Panca Tirta, Sapta Pandita, dan Kyayi I Gusti Ageng pemacekan.

Keberadaan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan merupakan kehendak Hyang Widhi bahkan ditemukan dalam nuansa niskala melalui Damuh/prati sentana dari Bali. Hal ini seperti merajut kembali hubungan kekerabatan yang sudah ratusan tahun sempat terputus antara Jawa dan Bali karena perubahan jaman juga dengan masuknya kepercayaan baru di tanah Jawa (Majapahit) pada abad XV. Itulah sebabnya berbondong-bondong umat dari Bali melakukan sembahyang ke Jawa, hal ini sesuai sekali dengan „Bhisama“ (Pesan Sakral) dari leluhur yang maknanya agar para umat tetap membina hubungan dengan yang lainnya dimanapun berada (Aywa kita pegat akadang purusantha sembahen) . Jika taat dengan petunjuk leluhur, maka „Bhisama“ menyebutkan :

dan... apabila kamu taat terhadap amanatku mudah-mudahan kamu selalu memperoleh keselamatan, berbudi luhur, semua ucapanmu dipercaya, terkenal didunia, disayang orang, memiliki sifat-sifat yang mulia, bertingkah laku baik dan ahli siasat.

Itulah sebabnya para umat ini akan selalu tergugah keinginannya untuk melakukan Pitra Puja kepada para leluhur dimanapun beliau distanakan termasuk di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan. Di Bali mengingat semakin banyaknya keturunan, maka tingkatan penyungsung/pemuja semakin besar juga dan tempat memuja leluhur berkembang berurut dari yang umatnya sedikit : Paibon, Panti, Dadya, Dadya Agung atau Merajan dan Merajan Agung, sampai terakhir Pura Kawitan. Untuk di Jawa sebutannya menjadi berbeda mengikuti kebiasaan setempat sehingga disebut „Petilasan“ yang maknanya tempat dimana dahulu tinggal orang yang sangat dihormati. Walaupun merupakan Petilasan, namun tempat ini merupakan „Pura Umum“ dengan pengertian :

• Secara kekerabatan (hubungan darah) maka Petilasan ini merupakan wadah dari keturunan Panca Tirta, yang jika mengikuti sistem Soroh/Clan di Bali, maka Soroh Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, dan lainnya dapat melakukan puja Bhakti, karena ada perwujudan dari leluhur mereka.
• Petilasan merupakan tempat distanakan Para Pandita, sehingga sebagai Pandita akan mengayomi siapa saja umat yang membutuhkan walaupun berbeda agama.
• Sehubungan yang di stanakan sudah menyatu dengan Sangkan Paraning dumadi, maka sesungguhnya yang di Puja di Petilasan adalah „Hyang Widhi“.



II. SEJARAH KEBERADAAN PETILASAN.

1. KAPAN & BAGAIMANA DITEMUKANNYA ?

Fase Sebelum dipugar :
Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan pada awalnya hanya berupa 2 (dua) tumpukan batu yang oleh umat sekitar disebut dengan „Punden“. Punden ini berada di Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Desa/Kec, Karangpandan, Karanganyar, yaitu dilokasi tanah milik Bapak Tarjo almarhum (meninggal tahun 1990). Bp.Tarjo (asal Klaten) adalah Mantri Pertanian yang memiliki area punden ini sejak tahun 1965. Punden ini dirawat oleh warga Dukuh Pasekan Mbah Karyo Rejo dan terakhir adalah Mbah Wiryo sejak tahun 1959 yang sampai saat ini merupakan sesepuh desa.

Menurut penuturan Mbah Wiryo, ketika beliau hijrah dari Gunung Sewu Sukoharjo ke Dukuh Pasekan pada tahun 1939, saat itu penduduk asli yang tinggal di Pasekan, yaitu : Mbah Karyo Rejo (sesepuh desa), Mbah Joyo, Mbah Toyo, Mbah Sumo, Mbah Mitro, Mbah Harjo dan ditambah Mbah Wiryo sehingga berjumlah 7 (Tujuh) keluarga. Tanah diareal Punden dan sekitarnya dimiliki oleh : Mbah Pawiro Sentono (Eyang Bp. Suroso Bayan/Kepala Dusun Keprabon), Mbah Dibyo diareal bawah dan Mbah Mangun Suwito, yang akhirnya semua menjadi milik Bapak Tarjo sejak 1965. Demikianlah sejak dulu Warga Pasekan sudah merawat Punden ini secara bersama-sama serta sangat menghormati „Eyang“ yang berstana di kedua Punden tersebut. Bagaimana bisa sejak 1959 dirawat oleh Mbah Wiryo ? ceritanya diawali ketika Mbah Wiryo pada tahun 1959 melakukan pencarian jati diri di Gunung Lawu, sekitar Jam 02 pada rebo legi didatangi orang tua (secara gaib/niskala) dengan pesan : „Kembalilah, rawat tempatku nanti kuberikan tanda/tengger“, waktu itu fisik Mbah Wiryo sudah tidak kuat, syukur Bapak Larto teman satu visi menyusul ke Argodalem Gunung Lawu. Ikut juga membantu Lurah Karangpandan dan Camat Tawangmangu. Karena sudah tidak bisa jalan, maka diantar dengan naik motor sampai dirumah di Dukuh Pasekan, berikutnya empat malam Mbah Wiryo hanya dirumah dalam kondisi kecapaian. Setelah sekitar satu minggu dan sesudah pulih kembali, pada jum’at kliwon, Mbah Wiryo datang diareal Punden yang mana karena sudah lama tidak terawat, rumput sudah panjang dan menutup areal tersebut. Dengan disaksikan sekitar 50 orang warga Pasekan, Mbah Wiryo merabas rumput mencari „Tengger/tanda“ yang dimaksud. Setelah dicar-cari akhirnya ditemukan tengger berupa „Lidi yang dikelilingi rumput“, dicoba dicabut awalnya tidak bisa padahal Mbah Wiryo saat itu masih sehat dan biasanya mudah mengangkat satu karung beras, keheranan muncul bagi semua yang hadir, akhirnya dengan sekuat tenaga diiringi doa, maka „Rumput dan lidi“ tercabut namun yang masih dipegang hanya rumput sementara lidi sudah hilang entah kemana, rumput tersebut sampai sekarang disimpan oleh Mbah Wiryo. Lokasi tengger-lidi tadi lalu dibersihkan dan ternyata ada 2 tumpukan batu dengan lebar : 1,15 Meter dan panjang 4,15 Meter dan lidi itu diperkirakan ada pada posisi „pusar“. Untuk masuk ke area Punden ada dua batu menyerupai tugu, dan didekat punden adalah pohon beringin besar (saat ini sudah tidak ada/ditebang khawatir membahayakan warga). Sejak itulah Mbah Wiryo merawat Punden walaupun akhirnya tahun 1965 areal tersebut menjadi milik Bapak Tarjo, tetapi Mbah Wiryo tetap merawatnya bahkan sampai sekarang masih memimpin ritual di Petilasan umumnya dalam rangka „Wilujeng Suro“. Disamping tengger tadi, banyak keanehan lainnya sehingga kemudian Area Punden tersebut menjadi banyak dikunjungi orang. Pada hari-hari yang dianggap baik banyak umat yang datang melakukan pemujaan memohon sesuatu sesuai dengan keinginan mereka masing-masing. Karena kecintaannya pada yang distanakan, ada umat yang ingin melakukan pemugaran tempat ini, tetapi oleh Bapak Tarjo tidak diijinkan karena Ibu Tarjo memperoleh petunjuk gaib/niskala, bahwa beliau yang distanakan ini menunggu „Trah“ dari Bali yang akan memugar tempat ini.

Fase Pemugaran
Disebelah timur Pulau Jawa, yaitu di Bali, tepatnya di Jalan Plawa Denpasar, tinggallah Bapak Ketut Soebandi (Almarhum) yang sebutan terakhir beliau adalah : Jro Mangku Gde Ketut Soebandi. (Menuturkan kepada penulis pada tahun 2000 ketika berkunjung dirumah beliau di Denpasar dan sempat direkam). Suatu hari beliau memperoleh petunjuk Niskala agar mencari Petilasan (Istilah beliau Kuburan) di Jawa, petunjuk itu beliau peroleh ketika sedang melakukan perjalanan tugas sebagai Polisi ke Jawa (tahun 1970-an). Karena takut dan tidak ingin lama-lama, maka langsung saja menyanggupinya. Sesudah itu baru terpikir oleh beliau, bagaimana mungkin mencari Petilasan di Jawa yang begitu luas ini. Pewisik rupanya sampai ter-info ke Jawa yaitu ke Kraton Mangku Negaran. Sesuai penuturan Bp. Sauji, warga Dukuh Gondang Gentong, Ds.Nigasan, Kec.Karangpandan, Karanganyar, (menceritrakan kepada penulis dan Ketua Pengempon Nyoman Nasa pada 27 Januari 2007 sekitar Jam 11 dirumah beliau.) Mbah Sauji berceritra pada tahun 1973 didatangi : Kanjeng Sanjoto dari Puri mangkunegaran dan Brigjen Giyanto (Pemilik Patung Semar – Karangpandan), karena ada pesan dari Bali (Pewisik diterima Bp.Soebandi) untuk mencari Petilasan/Kuburan leluhur Pasek. Sehingga Kanjeng bertanya apa toh isinya Dukuh Pasekan itu. Pada 1973 itu Kanjeng Sanjoto, Bp.Giyanto, dan Bp.Sauji datang ke Petilasan diterima Ibu Tarjo. Jadi ini awal ditemukan titik terang Pewisik yang diterima Bp.Soebandi. Berlanjut kemudian suatu hari Bp. Subandi berkunjung ke Pura Mangkunegaran Surakarta pada 9 Maret 1984, dan keesokan harinya yaitu tanggal 10 Maret 1984, petunjuk itu diikuti dengan pencarian, sampai akhirnya tibalah beliau ditempat yang dimaksud yaitu sekitar 31 km arah Solo-Karanganyar dari Mangkunegaran dan menemui 2 gundukan batu (Punden) itu. Ikut hadir Pandita Mpu Dwi Tantra (Singaraja), Pandita Mpu Nabe Sinuhun Bongkasa, Pandita Mpu Nabe Pemuteran, tokoh masyarakat dari Bali seperti Bp.Ketut Nedeng, dan umat lainnya. Terjadilah komunikasi sehingga diketahui, bahwa yang berstana ditempat ini adalah „Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan“. Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan lahir di Bali dan pindah ke Jawa. Ketika Majapahit runtuh abad XV beliau pergi kearah barat dan sampai ketempat ini bersama istri dan satu keluarga Raja serta seorang pemungut upeti. Beliau meninggal bukan karena kalah perang tetapi karena usia yang sudah tua. Tempat ini sendiri dari dulu sudah bernama „Pasekan“. Pada tahun 1984-1989 itu mulai dilakukan pemugaran-pemugaran dan banyak umat terlibat seperti : Bp. Merta Suteja, Bp. Ledang, dll. Peresmian tanggal 9 Nopember 1990. Peresmiannya sendiri dihadiri oleh Bupati Karanganyar, Camat dan Lurah Karangpandan, fihak Mangkunegaran, dan umat dari Bali. Pada waktu itu dilakukan Pitra Yadnya (Ngaben) secara Hindu dan upacara Yadnya lainnya.

Pada Tahun 1998 - 2000 dilakukan Pemugaran besar-besaran dengan dipelopori oleh Pandita Mpu Nabe Pemuteran (dan cucu Dharma Pandita Mpu Daksa Jaya Dhyana) serta Bapak I Ketut Nedeng serta didukung oleh umat dari Bali dan umat sekitar Karanganyar serta Surakarta. Areal Petilasan diperluas dan dibuat tambahan Pelinggih serta Bangunan seperti : Padmasana, Sapta Pertala, Bale Piasan/Pepelik, Bale Kulkul, Bale Pawedan, Candi Bentar, Candi Gelung, Peristirahatan Umat & Sulinggih (Bale Banjar), dan khususnya Meru Tumpang Pitu yang merupakan „Parhyangan Sapta Pandita“. Itulah sebabnya Petilasan ini disebut : ‚PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN DAN PARHYANGAN SAPTA PANDITA“.

Peresmian Petilasan ini pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) dilakukan oleh „Sinuhun Paku Bhuwono XII“ melalui penanda tanganan Prasasti. Waktu itu beliau hadir bersama istri, 2 putra (Gusti Dipo & dari Brigif), 1 putri, 1 menantu putri dan 2 kerabat kraton (salah seorang rohaniawan). Ditanda-tangani 23 September 2002 sekitar jam 17 wib di dalam area Petilasan (Ruang Kaca). Kehadiran Raja Surakarta ini menjadi relevan karena leluhur beliau „Kendedes“ adalah adik dari Mpu Purwa yang merupakan keturunan dari Mpu Wiradnyana (Ketiga dari Sapta Pandita). Setelah Petilasan selesai diresmikan, maka pada Minggu Paing, 26 Januari 2003 Bapak Ketut Soebandi meninggalkan kita, namun beliau masih sempat menghadiri „Ngenteg Linggih“ pada tahun 2000 dan memberikan Darmawacana.

Pada 11 Februari 2005, Petilasan ini secara resmi dibawah naungan „Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) yang dalam pelaksanaannya membentuk „Pengempon“ (masa bhakti 5 tahun terhitung sejak 11 Februari 2005). Pengurus dan anggota Pengempon terdiri dari umat sekitar Karanganyar, dan Surakarta, baik semeton Pasek, semeton Bali lainnya, maupun umat Jawa. Pengempon ini bertugas mengampu atau merawat petilasan ini sehari-hari, termasuk melakukan persembahyangan rutin serta Piodalan yang ditetapkan pada Purnama Katiga setiap tahun, berkoordinasi dengan MGPSSR Pusat, para Sulinggih serta sesepuh umat. Sekarang tinggal umat yang melanjutkan pemeliharaannya sebagai wujud tanda bhakti pada Leluhur dan Hyang Widhi. Pada fase Kepengurusan ini banyak hal yang dilakukan yang paling penting adalah : Atas dana punia umat, maka telah dibayar pada 11 Maret 2006 kepada putra-putri Bp.Tarjo , tanah di Utama Mandala (Jeroan Pura), depan Candi Gelung, dan belakang Pura (diluar yang sudah dibeli sebelumnya). Disamping itu dilakukan : Renovasi dapur (Sept 2005), Renovasi Bale Pawedan krn tanah Amblas (Juni 2006), pelebaran jalan masuk (Desember 2006), pondasi belakang (Februari 2007), dan kegiatan lainnya. Menjelang Piodalan 14 September 2008 terdengar berita Amor Ring Achintya (meninggal) pada 25 Juli 2008 Mpu Nabe Pemuteran di Pasraman Taman Suci Renon Denpasar. Selanjutnya tugas suci dilanjutkan oleh Putra Dharma beliau yaitu : Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda sekaligus sebagai “Penglingsir/tetua/sesepuh” Pura/Petilasan.

Tugas selanjutnya yang dilakukan oleh Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda adalah pembangunan “BEJI/TAMAN”. Keseluruhan ”Proses Pembangunan BEJI” sudah dimulai sejak ”Ngeruak karang dan membangun pelinggih awal” dilakukan pada tilem kelima 27 Nopember 2008, dilakukan Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda serta Mpu Nabe Istri, didampingi Putra Dharma, Pandita Mpu Jaya Satya Nandha, Pandita Mpu Jaya Wasistha Nandha, Ida Bhawati Putu Setia, serta rombongan pengayah 14 orang yang banyak merupakan Pemangku merangkap tukang berkoordinasi dengan Pengempon. Pekerjaan yang dapat diselesaikan saat itu adalah : Pelinggih Padma, Piasan, Penunggun Karang, Pelinggih Tan Hana, Bale Pawedan dan Pesandekan (belum diatap), Kolam Beji, termasuk pemasangan patung diluar Beji berupa : dua patung didepan Candi gelung Petilasan, serta patung Brahma-Wisnu di Padmasana dan patung Ghana (Ghanesa) di jeron Pura, patung dan pelinggih (bahan cetakan) ini dibuat di bali. Pada 30 Januari 2009 rombongan dari Bali datang lagi kali ini dibawa atap Bale Pawedan dan bale Pesandekan yang dikerjakan seluruhnya di Bali untuk effisiensi jadi di jawa hanya merakit saja. Pada 6 Maret 2009 : memasang lima patung di atas kolam, dan memasang keramik serta memelester pondasi bale Pawedan, dan lain-lain sehingga bisa disebut pekerjaan finishing, untuk bisa dilakukan Pemlaspasan pada Jumat legi, 3 April 2009. Pemlaspasan Beji telah selesai dan Pura Pemacekan semakin lengkap sarananya, diharapkan memberi kenyamanan bagi umat yang datang khususnya kenyamanan batin yang bisa dirasakan kita semua, yang lebih penting lagi adalah dengan kesejukan Beji semoga tumbuh kesadaran hati para pratisentana, bahwa Pura ini milik kita semua dan agar bersatu padu menjaga dan merawatnya, hilangkan rasa ego, tumbuhkan kesadaran kebersamaan. Mengingat juga sejak jaman kerajaan di Jawa (Singasari, Daha, Kediri, Majapahit) para Mpu keturunan Sapta Pandita selalu menjadi Purohita kerajaan tersebut mengajarkan Dharma kepada umat dan tidak menutup kemungkinan Pura Pemacekan bisa menjadi Ashram atau Pedukuhan seperti masa lalu, bahkan seperti harapan para tokoh umat, kedepan Pura Pemacekan bisa menjadi ”Hindu Center”.



2. HUBUNGAN „KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN“ DAN „SAPTA PANDITA“

Kita mulai saja sekitar abad XI. Dimana masa itu Bali dipimpin oleh suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang berkuasa di Bali dari tahun saka 910 sampai dengan 933 (tahun 988 – 1011 Masehi). Sri Gunaprya Darmapatni adalah putri dari Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa Raja Daha-Jawa Timur. Sebelum dipersunting oleh Udayana Warmadewa bernama Mahendradatta, sedangkan kakaknya Sri Kameswara menggantikan ayahnya menjadi Raja Daha.. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula dan Bali Aga. Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Kedatangan mereka ke Bali tidak bersamaan tetapi secara bertahap dimulai oleh :


1. Mpu Semeru (Mpu Mahameru)
Pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliu mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Pasek Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Bekas parahyangan Mpu Semeru sekarang sudah berdiri sebuah Pura diberi nama Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).

2. Mpu Ghana
Penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara keturunan beberapa tingkat dari Mpu Withadarma ( Mpu Withadarma adalah yang ketiga dari Sapta Resi)/Sapta Pandita leluhur Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi), Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande). Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danhyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga.

3. Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha
Pemeluk agama Budha Mahayana, tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon, wara pahang, tahun saka 923 (tahun 1001 Masehi). Beliau berparhyangan di Padang. Beliau hidup sewala brahmacari (selama hidup kawin hanya sekali dan berpisah dengan istrinya yang tetap di Jawa yang dikenal dengan Rangda/janda dari Girah penganut ilmu hitam) Beliau mempunyai seorang putri Dyah Ratna Menggali yang kemudian kawin dengan Mpu Bahula putra dari Mpu Bharadah, jadi masih sepupu. Ditempat Parahyangan Mpu Kuturan telah berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Silayukti yang artinya tempat Mpu Kuturan mengajarkan kebenaran. Mpu Kuturan adalah ahli ilmu pemerintahan/tata Negara dan ahli strategi, dan atas keahliannya berhasil mengadakan pertemuan tiga aliran terbesar dari enam sekte yang hidup di Bali yang sebelumnya selalu bertentangan, tempat pertemuannya sekarang disebut Samuan-Tiga yang dulu bermakna Pertemuan tiga sekte terbesar. Beliau juga menciptakan Pelinggih (Bangunan suci) tempat memuja Brahmana, Wisnu, Siwa, yang disebut : Kemulan/ Rong Tiga sehingga aliran yang berbeda-beda itu memuja melalui satu tempat yang sama, yaitu Rong Tiga, sehingga damailah masyarakat waktu itu. Pada masa Mpu Kuturan ini juga banyak dibangun Pura-Pura seperti : Uluwatu, dll.

4. Mpu Gnijaya
Pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada pada hari kamis kliwon, wara dungulan, sasih kedasa, tahun saka 971 (tahun 1049 Masehi). Beliau berparhyangan di Bisbis (Gunung Lempuyang), sekarang tempat parahyangan beliau telah berdiri sebuah Pura yang bernama “Pura Lempuyangan Madya”. Mpu Gnijaya dari perkawinannya dengan Dewi Manik Geni, selanjutnya menurunkan : Sapta (Tujuh) Pandita yang tidak menetap di Bali tetapi di Kuntuliku Desa, Jawa Timur, walaupun mereka sering ke Bali memuja leluhurnya. Sapta Pandita ini kemudian menurunkan : Warga Pasek di Bali (Pasek, Bendesa, Tangkas) yang jumlahnya sangat besar. Ketujuh Mpu tersebut adalah :

a. Mpu Ketek : Keturunannya dikenal dengan sebutan Pasek Toh Jiwa, termasuk disini adalah “Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan” yang petilsasnnya ada di Karangpandan, Karanganyar, Solo, Jateng. Keturunan Mpu Ketek yang bernama “Kyayi Agung Pasek Subadra” dan Kyayi Pasek Toh Jiwa” berperan besar pada jaman Samplangan, yaitu pada awal Gelgel. Putra Kyayi Pasek Toh Jiwa, yaitu Pasek Toh Jiwa menjadi Tabeng Wijeng Kerajaan Gelgel, sedangkan Putra Kyayi Agung Pasek Subadra. Yaitu : Pasek Subadra menjadi Pandita dengan gelar “Dukuh Suladri”. Keturunan-keturunan Dukuh Suladri ada yang diambil oleh : Sri Angga Tirta Ksatrya Tirta Arum, Dalem Dimadya, dan ada juga oleh Anglurah Pinatih (leluhur Warga Wang Bang Pinatih)
b. Mpu Kananda : salah seorang keturunannya adalah Ki Dukuh Sorga yang kemudian menurunkan Pemangku Kul Putih di Bali. Materi kepemangkuan Kul Putih ini banyak menjadi pegangan para Pemangku.
c. Mpu Wiradnyana : Mpu Wiradnyana berputra Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha, berasrama di Hutan Tumapel. Beliau berputra : Mpu Purwa dan Ken Dedes. Mpu Purwanatha pernah menghukum rakyat desa Panawijen karena tidak jujur mengenai putrinya Ken Dedes yang diculik oleh Tunggul Ametung dengan keringnya sumur desa, walaupun akhirnya diampuni. Ken dedes selanjutnya menurunkan Raja-Raja di Tanah Jawa, seperti : Paku Bhuwono, Mangku Negaran, Hamengku Bhuwono, Paku Alam, dll. Mpu Purwa keturunannya di Bali dikenal dengan “Pasek Tatar”, termasuk disini adalah Ibunda Presiden Sukarno, Nyoman Rai Srimben.
d. Mpu Witadharma : keturunan Mpu Witadharma terbanyak dibanding saudaranya yang lain, yang di Bali dikenal dengan sebutan : Pasek Gelgel, Pasek Bendesa, Pasek Bendesa Mas, dan Pasek Tangkas Kori Agung (lain Ibu). Keturunan Mpu Witadharma yang berjasa menata Parhyangan di Bali adalah Mpu Dwijaksara yang membangun “Pura Dasar Bhuwana Gelgel-Klungkung” yang sebelumnya bernama “Babaturan Penganggih”. Putra Mpu Dwijaksara yang terkenal pada jaman pemerintahan di Bali adalah “Ki Patih Ulung”. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel keturunan Ki Patih Ulung pernah menjadi Raja Bali, yaitu ketika berakhirnya Era/dynasty Warmadewa (keturunan Raja Udayana) akibat dikalahkan Majapahit, maka Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menjadi Raja Bali sampai Majapahit pada tahun 1350 menempatkan Kresna Kepakisan sebagai Adipati di Bali bawahan Majapahit, dengan sebutan “Dalem Shri Kresna Kepakisan” (saudaranya yang lain : di Blambangan, Pasuruan dan Sumbawa/Putri).
e. Mpu Ragarunting : Keturunannya beliau dikenal di Bali dengan sebutan : Pasek Salahin, Kubayan, dan Tuttwan. De Pasek Lurah Tuttwan kawin dengan putri Arya Timbul/ Arya Buru putra Prabu Airlangga dengan seorang gadis gunung.
f. Mpu Prateka : Keturunannya dikenal dengan Ki Dukuh Gamongan Sakti, Ki Dukuh Prateka Batusesa, dan di Bali dikenal dengan „Pasek Kubakal“.
g. Mpu Dangka : Keturunannya dikenal dengan „Pasek Gaduh, Ngukuhin, Kadangkan“. Keturunan Mpu Dangka Kyayi Lurah Dangka pernah memimpin pasukan menyerang Blambangan menyertai Kriyan Ularan (Jelantik) sehingga karena keperwiraannya diberi gelar „Sang Wira Dangka“.


Mpu Bharadah/Mpu Pradah adalah yang terkecil dari “Panca Tirta” beliau tetap tinggal di Jawa menjadi Purohita kerajaan Daha, berparahyangan di Lemahtulis-Pejarakan. Beliau menganut Budha Mahayana. Mpu Bharadah sering ke Bali menengok kakak-kakaknya terutama Mpu Kuturan dan sering berdiskusi masalah kerohanian , sehingga sekarang bekas peristirahatan beliau di Padang masih ada. Mpu Bharadah berputra Mpu Siwagandu dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratna Menggali (Putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah) menurunkan Mpu Tantular yang mengarang Kakawin Sutasoma. . Mpu Tantular menurunkan 4 orang Putra , yaitu :

1. Mpu Siddhimantra : menurunkan Manik Angkeran, yang selanjutnya keturunannya dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh.
2. Mpu Panawasikan : yang hanya mempunyai seorang putri bernama Dyah Sanggarwati, (selanjutnya dikawinkan dengan sepupunya Danghyang Nirartha.).
3. Mpu Smaranatha : yang menjadi Purohita di Majapahit pada masa pemerintahan Sri Hayam Wuruk Saka 1272 – 1311 (tahun 1350- 1389 Masehi) dengan Maha Patih Gajah Mada. Mpu Smaranatha berputra Ida Angsoka dan Ida Nirartha (Danghyang Nirartha).
4. Mpu Kepakisan : beliau adalah guru Mahapatih Gajah Mada. Beliau berputra 4 orang yang semuanya menjadi Adipati (wakil Raja) bawahan Majapahit, yaitu : di Blambangan, Pasuruan, Sumbawa (putri), dan di Bali (Sri Kresna Kepakisan).






3. MAKNA BANGUNAN & PELINGGIH

DI ARE JEROAN (UTAMA MANDALA)
a. Petilasan (Ruang Kaca) : Awalnya merupakan dua gundukan batu (Punden) yang merupakan tempat bhakti pada Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Pendamping (Istri)., yaitu dari arah kita, maka sebelah kiri adalah KIA Pemacekan, sebelah kanan Istri. KIA Pemacekan adalah keturunan dari Sapta Pandita yang tertua (Mpu Ketek). Oleh penduduk setempat KIA Pemacekan disebut „Eyang Putro Rsi Pitu“.

b. Meru Tumpang (susun) Pitu/Tujuh : Adalah Parhyangan Sapta Pandita (Tujuh Pendeta). Mereka adalah Tujuh Mpu bersaudara yaitu : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Witadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, dan Mpu Dangka. Walaupun beliau adalah Leluhur Pasek, Bendesa, Tangkas, namun tidak ada Meru Tumpang Pitu sebagai Parhyangan beliau di Bali, jadi hanya ada di Karangpandan satu-satunya. Sapta Pandita dan keturunannya selalu menjadi „Rohaniawan/Purohita“ kerajaan di Bali dan Jawa namun Sapta Pandita ini menetap di Jawa (di Kuntuliku Desa/ sekitar Malang-Kediri). Secara turun temurun menjadi Purohito di kerajaan Daha sampai Kediri. Ada suatu kisah pada pemerintahan Raja Kerta Jaya (Dandanggendis) yang berkuasa di Kediri pada Saka 1116-1144 (1194-1222M), beliau mengundang para Mpu untuk diuji kesaktiannya apakah bisa berdiri diujung tombak seperti yang dilakukan Raja Kerta Jaya. Karena seorang Brahmana (Pandita) tidak pantas memamerkan kesaktian, maka penghinaan Raja Kerta Jaya agar para Mpu menyembah beliau dijawab dengan kutukan kepada Raja Kerta Jaya dan mereka meninggalkan kerajaan Kediri menyebar kebeberapa daerah. Salah seorang keturunan Mpu Wiradnyana (ke-tiga dari Sapta Pandita) yaitu Mpu
Purwanatha tetap di Panawijen bersama putra-putrinya yaitu Mpu Purwa dan Ken Dedes dimana dikemudian hari Ken Dedes menurunkan raja-raja Mataram (Paku Bhuwono & Mangku Negaran di Solo, dan Hamengku Bhuwono & Paku Alam di Jogja). (Keturunan Mpu Purwa di Bali salah satunya adalah Ibunda Presiden Sukarno yaitu Nyoman Rai Srimben dari Baleagung, Singaraja.)

c. Candi Gelung (Area Dalam) Patung Panca Tirta :
Di sebalah kiri Bale Pawedan terdapat Candi Gelung dimana dari area dalam terlihat lima Pandita yang sedang duduk ber-yoga semadi. Beliau adalah „Panca Tirta“ dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Urutan dari bawah adalah Mpu Gnijaya (tertua) dimana mengandung pesan moral, bahwa yang lebih tua agar mendukung yang lebih muda. Mpu Gnijaya adalah leluhur (ayah) dari Sapta Pandita, dimana Pada masa Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada 988 M – 1011 M, meminta ke Bali Sang Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca Tirta (kecuali Mpu Bharadah tetap di Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Parhyangan Catur Sanak ini ada di Bali, yaitu : Mpu Gnijaya di Pura Lempuyang Madya Karangasem, Mpu Semeru di Pura Catur Lawa-Besakih-Karangasem, Mpu Ghana di Pura Dasar Bhuwana-Gelgel-Klungkung, Mpu Kuturan di Padangbae-Klungkung sekaligus ada peristirahatan Mpu Bharadah. Mpu Gnijaya menurunkan Warga Pasek,Bendesa,Tangkas, kemudian Mpu Semeru mengangkat Putra Darma (Putra Angkat) penduduk Bali Mula yaitu Pasek Kayu Selem, Mpu Bharadah keturunannya dikenal dengan Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, Keturunan Manik Angkeran (Arya Wang Bang Pinatih, Arya Sidemen, Arya Dauh), dll.



d. Candi Gelung (Area Luar) Patung Dewa : Perwujudan Ista Dewata dalam „Wujud Ksatrya“, berupa : Iswara (Putih), Brahma (Merah), Mahadewa(Kuning), Wisnu(Hitam). Paling atas „Brahmana atau Pandita Siwa“, dimana hal ini mengandung makna filosofis yang tinggi yang tidak sembarang orang mampu menafsirkannya..

e. Bale Piasan (Pepelik) : Sebagai tempat pemujaan Ista Dewata, berbagai sebutan Dewa yang dipuja tergantung oleh umat pemuja dapat distanakan di Bale Piasan.

f. Padmasana : Pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai „Surya“ (Dibeberapa tempat walaupun sudah ada Padmasana, maka saat upacara dibuatkan Sanggar Surya, jadi Padmasana bukan semata-mata pemujaan Surya, jadi lebih condong kepada Ista Dewata)

g. Sapta Pertala : Pemujaan penguasa Bumi (tujuh lapisan alam).

h. Bale Pawedan :Tempat bagi para Pandita (Brahmana) saat melakukan Pemujaan.

i. Candi Bentar : Pintu masuk utama mandala (ke dalam Petilasan)

j. Bale Agung : Tempat sesaji atau para Pengrawit (penabuh Gamelan)

k. Patung Ghana/Ganesa : Posisi dipojok (dekat Padmasana) merupakan pemujaan ”Ghana (Putra Dewa Siwa), biasanya umat memohon kepada Dewa Ghana agar terbebas dari halangan.



BALE BANJAR (DILUAR) :
Tempat kegiatan sosial, seperti : Istirahat, rapat-rapat, jamuan, juga ketika ada ”Wilujeng Suro” warga Dukuh Pasekan.


AREA BEJI / TAMAN :
Terdapat beberapa Bangunan Pelinggih yaitu :

Bale Pawedan (Balai didepan kolam): Tempat Pandita me-Puja saat Piodalan atau persembahyangan lainnya.
Bale Pesandekan : Tempat peristirahatan umat khususnya Pandita
Piasan : Pemujaan Ista Dewata.
Padma (diatas/dekat kolam) : Pemujaan Wisnu sebagai Ista Dewata yang berfungsi/ penguasa atas tirta/air untuk pensucian.
Kolam : Simbolisasi dari tempat pensucian, karena fungsi Beji sebagai area pensucian ”Pralingga” Ida Bhatara.
Pelinggih Tan Hana : ada 2 (dua) buah dimana ”Tan Hana” artinya tidak ada, atau yang berada dialam ”Bhuta”.

Rencana kedepan, dibelakang ”Balai Pesandekan” akan dibangun ”Kamar Peristirahatan untuk Pandita”.


III. PARIWISATA DAN PROSPEK PETILASAN.

Petilasan ini yang berada di wilayah Karanganyar menjadi sangat penting artinya bagi pemerintah daerah. Seperti kita ketahui, bahwa Karanganyar merupakan wilayah yang cocok sebagai Daerah Pariwisata, karena didukung oleh alamnya yang sejuk, suasana pegunungan, air terjun, serta peninggalan-peninggalan seperti : Candi Ceto dan Sukuh. Petilasan ini bisa menjadi bagian dari Wisata Rohani/spiritual. Itulah sebabnya Dinas Pariwisata (Diparta) Karanganyar mencanangkan Petilasan ini sebagai salah satu obyek Pariwisata di Wilayah Karanganyar. Pengertian obyek Pariwisata tentu saja lingkungan Puranya bukan Pura itu sendiri, karena aktifitas spiritual berupa Puja Bhakti tidak akan terganggu akibat dijadikannya Petilasan ini sebagai Obyek Pariwisata, bahkan Petilasan ini akan mendapat perhatian Pemerintah Daerah sehingga Sarana/ Prasarana bisa ditingkatkan melalui bantuan dari Pemda Karanganyar. Yang tidak kalah pentingnya adalah tempat ini akan bisa memberikan lapangan kerja bagi penduduk sekitar, seperti : Penjual makanan, penjual barang kerajinan, dan keperluan lainnya. Semoga atas karunia Hyang Widhi , keberadaan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita“ dapat memberi kemakmuran kepada kita semua skala-niskala , jasmani-rohani. Moksartam Jaghadita Ya Ca Iti Dharma



Pasekan, 07 Januari 2010

Ttd.

Nyoman Sukadana
Sekretaris – Pengempon