Senin, Februari 14, 2011

”SEGARA” ADALAH IBU

Weda menyebutkan, ada tujuh yang dapat disebut Ibu, yaitu : Istri guru, istri Brahmana/Pandita, Istri Raja/pemimpin, Sapi, Perawat (yang memelihara kita/ibu angkat), Bumi/pertiwi/Negara, dan Ibu yang melahirkan. Karena hal itu juga, maka umat Hindu khususnya yang memasuki dunia rohani, tidak dibenarkan memakan daging sapi karena sapi sangat dihormati dalam Weda. Tulisan ini tidak dimaksudkan membahas tentang Sapi namun suatu konsep lain yang terkait dengan Ibu yang juga disebut ”Predhana” dalam pemahaman ”Purusa – Predhana”, walaupun tidak secara tegas menyebutkan pengertian Ibu dalam konsep Purusa-Predhana ini. Purusa-Predhana ini sangat banyak mewarnai kehidupan beragama umat Hindu, bisa disebutkan seperti : Sarana pemujaan berupa tumpeng terdapat unsur ini, dimana ”tumpeng” yang bentuknya kerucut sebagai simbul gunung bermakna Purusa, sementara ”Penek”, yaitu tumpeng yang bentuknya datar bermakna predhana. Pemujaan Akasa-Pertiwi/Pratiwi bermakna Purusa-Predhana, juga pemujaan leluhur dengan Sanggar Hyang kompyangnya atau Meru dalam pengertian atma pratistha (bukan Meru dalam pengertian Dewa Pratistha). Dalam penempatan suatau banten pada pelaksanaan suatu upacara, maka banten di Sanggar Surya atau sanggar tawang bermakna Purusa, banten di panggungan/pengubengan/diluar rumah (jaba) merupakan perwujudan predhana dan banten di jeroan (banten pamereman) sebagai perwujudan penyatuan keduanya. Upacara yang paling dikenal dalam pelaksanaan yadnya umat Hindu adalah Nyegara-Gunung yang juga bermakna Purusa-Predhana, dimana Gunung sebagai lambang Purusa dan Segara (laut) sebagai lambang Predhana, sehingga dari perpaduan keduanya akan timbul kehidupan (prakerti). Jadi nyegara-gunung dimaksudkan untuk menyatukan Sang Purusa dengan Sang Predhana agar tercipta kehidupan.

Predhana yang berarti kutub negatif juga berarti Ibu sehingga dalam konsep nyegara-gunung, maka Segara juga bermakna Ibu. Segara atau ibu secara kehidupan nyata merupakan tempat dimana kita melepaskan segala beban, kekesalan, atau intinya tempat untuk mengadu, sebagai layaknya seorang anak yang mengadu pada ibunya, mungkin karena pengertian itu, maka Segara menjadi tempat yang pantas untuk sarana penyucian, seperti : penyucian pratima/pralingga Ida Bhatara, melukat bagi yang sakit, melarung, dan sebagainya. Secara ilmu kesehatan Segara juga dapat membersihkan penyakit karena ada unsur garam didalamnya. Ada juga kebiasaan umat yang mandi di muara atau pertemuan antara laut dengan sungai namun ini seharusnya bukan bermakna pembersihan namun bermakna kehidupan (prakerti) karena disini terjadi pertemuan sungai dan laut, kehidupan yang dimaksud tentu hidupnya kebaikan, kesehatan, kekuatan/tenaga, dan akhirnya rejeki. Kembali kepada konsep ibu dalam pelaksanaan yadnya ataupun tattwa yang terkandung didalamnya, maka sangat jelas terlihat Weda sangat konsisten mengajarkan kepada kita, bahwa purusa-predhana (bapak-ibu) merupakan inti dari terciptanya kehidupan, maka sudah sepantasnya kita menghormati bapak-ibu juga menghormati Gunung dan segara. Menghormati bukan sebatas membuat upakara/banten namun menjaga alam ini sesuai ajaran Tri Hita karana. Banten hanyalah simbul, disamping bermakna ”buah pikiran yang baik”, seperti disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakrti: “sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda-bhuana” (artinya: semua jenis banten/upakara adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung/alam semesta). Jadi yang diharapkan dengan menghormati ibu atau alam semesta disini adalah menjaga agar laut bebas dari erosi, gunung tidak gundul, sungai tidak kotor oleh sisa upacara, sehingga menimbulkan kenyamanan dan kesehatan bagi umat manusia. Dengan selarasnya tiga hal Tuhan-Alam-Manusia, maka diharapkan seisi alam ini akan sehat secara jasmani maupun rohani. Sebaliknya jika kita tidak mampu menjaga alam ini dengan benar, maka berbagai penyakit akan dapat ditimbulkannya. Weda menyebut ada tiga jenis penyakit (Vyadhi) dan penyebabnya, yaitu : Adhibhautika Vyadhi, yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau mahluk kecil lainnya, cara mengatasinya adalah dengan obat-obatan Antibhautika (antibiotik). Adhidaivika Vyadhi penyakit yang disebabkan oleh cahaya, panas matahari, atau perubahan cuaca, cara mengatasinya dengan meningkatkan ketahanan tubuh diantaranya minum vitamin, supplemen, dan olah-raga. Adhyatmika Vyadhi yaitu penyakit yang disebabkan oleh keterikatan indriya atau pikiran, penyakit ini juga disebut psikosomatik yaitu penyakit karena keinginan seseorang yang berlebihan atau karena tidak mampu memecahkan persoalan yang dihadapi, untuk yang ini maka diatasi dengan yoga/meditasi juga dengan bhakti serta karma marga. Dengan demikian maka pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu jangan semata-mata dimaknai secara niskala saja tetapi difahami juga secara skala atau dalam kehidupan nyata agar tercipta kehdupan yang harmonis jasmani-rohani, skala-niskala.

Akhirnya, mari kita hormati ibu, jaga lautan (Segara) karena dengan menghormati ibu, maka Weda menjamin akan tercipta kehidupan yang baik bagi kita, kembalilah kepangkuan Ibu, semoga Hyang Widhi memberi kesempatan kepada kita untuk bersujud bhakti pada Ibu kita khususnya dengan menjaga keaharmonisan alam ini. ”Hendaknya putra patuh kepada bapaknya dan penurut kepada ibunya (Atharvaveda III.30.3)”



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 14-02-2011
RUWATAN SANG PANDITA


”Amretistha” yang untuk manusia juga disebut Samskara atau penyucian diri, merupakan sesuatu yang penting buat diri kita (bhuwana alit) maupun alam semesta (bhuwana agung). Dalam Pitra yadnya penyucian diri (Samskara) ini disebut ”Ngaskara”. Di Jawa adala istilah ”Ruwatan” yaitu suatu usaha untuk pembersihan diri (cleansing) dari marabahaya atau kesialan yang menimpa dirinya. Dalam artian yang lebih luas ada istilah ”Wishuda Bumi” yang bermakna pensucian alam semesta beserta isinya. Sehari menjelang hari raya Nyepi (Tahun baru Saka) biasanya juga ada aktifitas pensucian alam semesta dan alam micro (Bhuwana alit) berujud simbol-simbol mengusir bhutakala. Jadi jika kita amati dengan baik, maka aktifitas yadnya yang bertujuan pensucian ini sesungguhnya dilakukan hampir setiap hari oleh umat Hindu baik dalam kegiatan Piodalan, purnama-tilem, ataupun sembahyang harian, berupa doa/puja mantra atau dengan sarana upakara/banten. Dalam aktifitas yadnya yang lebih lengkap seperti piodalan atau purnama-tilem, selalu ada upacara penyucian/pembersihan dengan upakaranya berupa banten : bayakaon, durmenggala, dan prayascitta, dimana semuanya bertujuan untuk mensucikan ’tri loka” baik dalam wujud alam semesta maupun diri manusia. ”Bayakaon” yang berasal dari kata baya (marabahaya) dan kaon (menghilangkan) dimaksudkan menghilangkan marabahaya dengan panugraha dari Sanghyang Agni (Api) sehingga banten bayakaon dengan ciri warna merah misalnya Andong. Merah juga bermakna bayu atau aktifitas sehingga pada diri manusia tujuan dari bayakaon ini adalah untuk memperbaiki prilaku. Bayakaon ditujukan juga untuk mensucikan Bhurloka, sehingga dalam prakteknya dijalankan arah bawah (sor) dan pada manusia dikaki (pusar kebawah). ”Durmenggala” dari kata Dur (menjauhkan) dan Mangala/bregala yang berarti unek-unek, jadi durmenggala bermakna menjauhkan segala unek-unek (pikobet-pikobet) yang negatif. Ciri utama banten durmenggala adalah warna hijau (slepan) atau warna hitam, sebagai panugraha dari Dewa Wisnu dalam wujudnya sebagai Bhagawan Hari penguasa air. Pada diri manusia durmenggala bertujuan membersihkan/mensucikan perkataan, dalam bhuwana agung untuk pensucikan Bwah Loka dan dalam pelaksanaannya dijalankan kearah dada. ”Prayascitta” berasal dari Pra (sebelum) dan citta (pikiran), jadi bermakna mensucikan pikiran. Prayascitta memohon panugraha Dewa Iswara dalam wujud sebagai Bhagawan Isa. Sebagai pensucian alam semesta, maka ditujukan kepada Svah Loka dan pada diri manusia untuk mensucikan Idep/pikiran. Dalam prakteknya banten ini dijalankan/diarahkan ke-kepala.

Praktek pembersihan/pensucian dengan sarana banten ini bisa dilakukan oleh Pemangku juga oleh Pandita. Seorang Pandita/Brahmana yang selalu melakukan Lokaphalasraya, ber-darmawaca, menuntun umat akan hakekat kebenaran, ternyata juga mempunyai fungsi penting dalam menjaga kesucian alam semesta. Terkait hal itu, maka dalam lontar “Eka Pratama” disebutkan : Sang Brahmana Aji (Hyang Whidi) memiliki tiga Putra : Sang Siwa dengan senjata Agni Anglayang bertugas Amretistha (membersihkan) Akasa, Sang Bodha dengan Agni Sara bertugas Amretistha Pawana (Atmosfir) dan Sang Bujangga dengan Agni Sinara Rasa Amretistha Sarwa Prani (alam dan isinya/Prani=mahluk hidup), ketiganya disebut “Sang Katrini Katon”, yang kemudian dikenal dengan “Tri Sadaka. “Sadaka” artinya orang yang sudah mampu merealisasikan ajaran Weda dalam hidupnya, sehingga Sadaka ini lebih tepat diberikan kepada siapa saja yang mampu bukan hanya Pandita. Dalam aplikasinya fungsi amretistha ini dilakukan oleh : Pedanda Siwa, Pedanda Budha dan Bujangga. Lontar Eka Pratama ini ada bahkan sebelum ada Pedanda (sebelum abad XV). Kemudian ada istilah “Sarwa Sadaka” yang menegaskan semua Pandita (Brahmana/Sang Dwijati) berhak melakukan tiga fungsi tersebut. Pandita tersebut : Pedanda, Mpu, Bhagawan, Rsi, Bujangga, Sire Mpu, Dukuh, Acharya, dll. Dengan berdasarkan kepada fungsi pandita untuk memohonkan kesucian kepada alam semesta, maka sudah selayaknya, bahwa semua Pandita bisa melakukan tugas Amretistha akasa, pawana, dan sarwa prani, baik dalam tugas terpisah maupun secara utuh oleh diri Pandita itu sendiri. Usaha untuk mememberikan tugas tersebut kepada Tri Sadaka saja di bali maupun diluar bali seperti di Jawa yang penulis lihat, hanyalah bentuk kekakuan yang tidak perlu terjadi dijaman yang sudah serba terbuka ini. Pemahaman umat akan hakekat ke-Panditaan atau lebih luasnya kepada ajaran Hindu, saat ini sudah semakin meningkat dan sudah saatnya untuk kembali kepada ajaran yang benar yaitu yang bersumber dari Weda.

Aktifitas pensucian diri terhadap bhuwana alit (manusia) dewasa ini menjadi sangat penting dan urgent untuk dilakukan, sehubungan jaman kali dimana pikiran dan nafsu mendominasi sehingga banyak terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran agama, seperti kekerasan fisik (anarkis), maka sudah selayaknya aktifitas yadnya pensucian alam micro ini tetap digalakkan, baik dengan pendalaman ajaran tri kaya parisudha, tat twam asi, prema (cinta kasih), maupun dalam bentuk upakara seperti: ruwatan, prayascitta atau lengkap dengan bayakaon & durmenggala. Sehubungan dengan Pandita punya lisensi untuk melakukan amretistha, prayascitta, samskara, atau pensucian, maka sudah selayaknya umat Hindu tidak sungkan-sungkan untuk tangkil (hadir) ke- Gria-gria Pandita, baik Pedanda, Mpu, Rsi, Bhagawan, dan lainnya, jangan membedakan, karena memang ”Jun ngalih pancuran (tempat air yang mencari pancuran bukan sebaliknya). Jadi mari sucikan diri : sucikan sabda, bayu dan idep. Om criam bawantu, Om sukam bawantu, Om purnam bawantu (Om Semoga kebahagian, kesenangan, dan kesempurnaan menyelimuti diri hamba)





Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 14-02-2011