Selasa, Mei 31, 2011

KASTA – SAMPRADAYA - BABAD

Mengamati fenomena dimasyarakat juga dalam diskusi-diskusi di media elektronik seperti : internet dengan milis-milis Hindu yang kebetulan penulis ikut terlibat didalamnya sebagai admin, masalah : Kasta, Sampradaya, dan Babad masih menjadi topik yang ratingnya boleh dikatakan paling tinggi dan masih menimbulkan perdebatan yang alot, hal ini umumnya masih terjadi ditataran masyarakat awam, anak muda, para cendekiawan bahkan Pandita, ini artinya umat Hindu di indonesia khususnya di Bali, masih mempunyai banyak pekerjaan rumah untuk terjadinya pemahaman yang sama akan Kasta,Sampradaya, dan Babad ini. Apa sebenarnya yang belum sepakat sehingga menimbulkan perdebatan alot itu ?

Hal KASTA, umat sering dikaburkan akan tiga hal, yaitu : Kasta, Warna, dan Wangsa. Kasta adalah politik penjajah abad XVI sebagai upaya penjajah untuk memecah belah warga bali sehingga didasari oleh niat yang tidak baik. Sekarang ini penjajah sudah hengkang ratusas tahun sementara kita khususnya di Bali masih menyebut-nyebut Kasta, maka siapa yang pintar disini ? Jadi mulai sekarang sebutan Kasta dalam pembicaraan sehari-hari seharusnya tidak boleh ada lagi oleh karena itu memalukan orang Bali secara keseluruhan. Yang masih boleh adalah : Warna dan Wangsa. Warna adalah ajaran Hindu mengenai profesi sesuai ”Guna” (Bakat/gen) dan ”Karma” (aktifitas/kegiatan yang dilakukannya sehari-hari), maka ada Warna : brahmana, ksatrya,wesya,dan sudra, yang semua ini tidak ada kaitannya dengan keturunan. ”Wangsa” adalah ikatan pasemetonan (persaudaraan) dalam satu trah/clan/soroh, dimana tujuan pokoknya adalah menjalin keakraban (simakrama). Antara soroh satu dan yang lain tidak boleh saling menganggap yang satunya lebih tinggi atau lebih rendah. Ikatan soroh ini menjadi kecurigaan sebagian masyarakat akan memecah hindu, ini tidak akan terjadi karena ikatan ini murni adalah pasemetonan yang hubungannya dengan leluhur sesuai ajaran : Catur Guru dan Tri Rnam. Jika Kasta atau soroh yang bertingkat dianggap masih terjadi dimasyarakat, maka kewajiban kita bersama untuk meluruskannya, jika ada yang takut Tulah karena itu warisan leluhur, ajaran Hindu sudah menyebut itu salah, maka Weda lewat Ajaran catur warna adalah rujukan kita.

SAMPRADAYA, The Oxford Dictionary of World Religions menyebut definisi Sampradaya, dari bahasa sansekerta sam-pra-da, artinya memberikan atau menyerahkan secara sempurna, menurunkan melalui tradisi. Di India, setiap doktrin yang mapan dan satu perangkat praktek-praktek diteruskan dari satu guru kepada guru yang lain. Dalam Mahabarata (Anusasanaparva 141), empat sampradaya sebagai permulaan : “Kuticaka”, tetap tinggal dalam dan didukung oleh keluarga mereka; “Bahudika” tinggal dekat pemukiman dan menerima makanan hanya dari keluarga brahmana; “Hamsa (angsa)” mengembara dari satu tempat ke tempat lain, masih menikmati kesenangan secara minimum; “Paramahamsa”, mengembara tanpa tempat tinggal, meninggalkan segala miliknya, termasuk mangkuk untuk meminta-minta bahkan pakaiannya. ”PARAMPARA” atau sering disebut guru parampara adalah "suksesi atau pergantian guru. Secara literal parampara berarti, dari satu kepada yang lain. Sampradaya tidak sama dengan “DENOMINASI” (denomination), yang artinya "satu kelompok agama dalam sebuah agama besar, memiliki keyakinan dan organisasi yang sama. Denominasi Hindu yang utama adalah sekte-sekte, seperti : Waisnavaisme, Sivaisme dan lain-lain, perbedaan terletak pada istadewata yang dipuja, jadi didalam masing-masing denominasi ini terdapat beberapa sampradaya. Sampradaya ini menjadi belum berjalan mulus karena belum ada kesamaan gerak dalam kesehariannya. Kontradiktif oleh yang menamakan diri demi Ajeg Bali, yang tidak mau budaya bali ini tergerus menjadi budaya lainnya (India), sementara para peserta Sampradaya ini terikat oleh tradisi dalam lingkungan tersebut. Untuk terjadinya titik temu, maka para petinggi di masyarakat Hindu juga dilingkungan sampradaya harusnya bisa lebih bijak dengan logal genius, sehingga kehadirannya bisa diterima oleh masyarakat hindu di Bali khususnya, karena pada dasarnya keyakinannya adalah sama-sama Hindu, jadi fokuslah pada Tattwa.

BABAD bagi sebagian orang dianggap tidak akurat karena tidak memiliki bukti otentik seperti angka tahun dan bukti sejarah lainnya, bahkan ada yang dengan begitu semangat mempublikasikan perbedaan versi babad yang diketahuinya sehingga cendrung kearah perdebatan yang tidak sehat, seperti : kekakuan akan hakekat Mpu Kuturan yang satu mengatakan ada dijaman Udayana Warmadewa (sekitar tahun 1000) yang lain mengatakan bukan dijaman itu, padahal kedua fihak itu tidak ada satupun yang pernah bertemu Mpu kuturan, jadi ibarat “memperebutkan balung/tulang tanpe isi”. Jika dihayati, pengenalan Babad adalah sebagai bentuk bhakti pada leluhur, jika kita tidak kenal leluhur kita maka sebut saja “Bhatara Kawitan” karena ajaran Hindu mewajibkan kita bhakti pada leluhur. Babad yang beredar sekarang ini sesungguhnya bersumber dari Mrajan, pedukuhan, yang ada di bali lalu dipertemukan, maka dijadikan lebih moderen dan mudah dimengerti, sekali lagi ini hanya untuk mengenal leluhur dan meniru sesana yang baik dari mereka, jika kemudian timbul kesombongan, maka itu baru kekeliruan. Hal akurasi katakanlah misalnya Babad itu hanya dongeng saja, maka orang tua kita sering men-dongeng untuk mengajarkan anaknya etika yang baik. Babad yang beredar sekarang ini sebenarnya ada bukti otentiknya dan peninggalan-peninggalan serta sudah diyakini oleh sebagian besar masyarakat bali dari berbagai soroh jadi tidak perlu lagi diluruskan karena kita sama-sama tidak tahu masa lalu, yang perlu diluruskan adalah yang belum bhakti pada leluhurnya.

Akhirnya, pembicaraan hal Kasta, Sampradaya, dan Babad, agar disikapi dalam suasana persaudaran yang baik dengan satu kesadaran bersama bahwa semua kita adalah umat Hindu, apalagi ajaran Hindu menyebutkan semua mahluk adalah bersaudara (Vasudaiwa Kutumbhakam).


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
13-12-2009
MENUKAR ”ANUGRAH” DENGAN ”BABI GULING”

Entah kapan dimulainya masyarakat Hindu di Bali sangat umum melakukan persembahan ”Babi Guling” dalam suatu acara, apakah piodalan, hari baik, atau sekedar Nawur Sesangi (bayar janji). Kenapa Nawur sesangi? Umumnya ketika umat ini menghadapi suatu masalah, atau ada keinginan tertentu seperti naik pangkat, anak dapat sekolah, atau sehat dari sakit, dll maka kepasrahan rupanya tidak cukup jadi perlu perjuangan atau menjanjikan sesuatu kepada sang Pencipta, atau agar tidak dibilang tidak tahu terima-kasih, maka Hyang Whidi dijanjikan Babi Guling, padahal semua yang ada didunia ini termasuk kita adalah ciptaan beliau, kenapa harus dipersembahkan babi guling ini kepada beliau?. Waktu berjalan dan suatu saat tercapai niatnya, maka pada hari yang dianggap baik dipersembahkanlah Babi Guling, ibaratnya Anugrah diterima, babi guling dipersembahkan, ini seperti barter anugrah ditukar dengan babi guling. Bentuk lain adalah persembahan babi guling ditujukan kepada ”Penunggun Karang/Penglurah” yang sebenarnya Bhuta (Bhuta Dewa/satpam para Dewa), jika ini dilakukan maka sudah tidak percayakah umat pada Hyang Whidi sehingga harus meminta pada Bhuta. Fenomena seperti ini sudah berlangsung secara turun temurun dan menjadi kebiasaan sehingga umat banyak yang tidak tahu atau tidak perlu tahu apakah cara-cara itu dibenarkan menurut ajaran Hindu. Yang menjadi pertanyaan apakah sudah seperti itu pola pikir masyarakat akan makna persembahan, sebebelum sampai kesitu coba kita simak kenapa ada persembahan Babi Guling kepada Hyang Whidi atau Penunggun Karang.

Seperti diketahui jaman dulu kita belum mengenal nama Hindu seperti sekarang ini, yang ada adalah sebuah Mazab/Sekte/Pakse yang merupakan penonjolan Ista Dewata tertentu, sehingga ada : Sekte Siwa, Sekte Waisnawa, Sekte Bhairawa, juga ada sekte Budha, dll dimana pada abad XI oleh Mpu Kuturan di Bali sudah di-fusi menjadi satu dengan pemujaan Ista Dewara Tri Murti dalam bentuk Pelinggih Kemulan Rong Tiga dan ditingkat desa berupa Desa Pakraman dengan Pura Desa, Dalem, dan Puseh. Rupanya fusi ini tidak otomatis menghilangkan salah satunya atau memunculkan sesuatu yang baru sama sekali karena ciri khas sekte itu masih ada, sebut saja : Sekte Bhairawa yang disebutkan dalam persembahyangan perlu mabuk, sehingga yang masih bisa dilihat sekarang Caru dengan tuak/arak, pemotongan binatang/darah binatang, persembahan Babi Guling, bahkan lawarpun konon peninggalan dari para penganut sekte Bhairawa, sehingga sekarang ini tidak mudah memisahkan hal itu dari kebiasaan masyarakat. Apakah kemudian kita berhenti makan lawar atau berhenti mempersembahkan Babi Guling? tentunya sebelum memutuskan itu alangkah baiknya disimak dulu apa sebenarnya makna persembahan bagi kita? Kepada siapa persembahan itu ? Hyang Whidi, Ista Dewata, Bhatara, Leluhur, atau Bhuta Penunggun karang/Panglurah. Coba kita lihat pertama dari sikap, itu saja sudah dibedakan, sikap pada Hyang Whidi, Ista Dewata atau Bhatara dengan tangan dicakupkan didahi menghadap keatas, sementara kepada leluhur didepan hidung, kepada sesama didada, dan kepada bhuta didada menghadap kebawah. Selanjutnya sarana sembahyang bagaimana ?. Disebut dalam Bhagawad-Gita sbb : ”patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, Tad aham bhakty-upahrtam asmani prayatatmanah “ (Kalau seseorang mempersembahkan daun,bunga,buah atau air, dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya. Bhagavad-Gita 9.26), jadi tidak pernah tersurat disana persembahan dengan binatang atau babi guling. Kita lihat lagi sarana persembahan : “Banten Pejati”, menekankan kesejatian bhakti kita, “banten suci” mengandung pesan hati yang suci diwaktu bersembahyang, “Pareresik (Byekaon,durmenggala,prayascita)” mengandung makna pensucian tiga alam Bhur-Bwah-Swah loka, pada diri manusia Bhur=pusar kebawah, Bwah=pusar sampai leher, Swah=kepala, dan bentuk sarana lainnya seperti Canang, dan lain-lain, semua persembahyangan itu justru merupakan pesan kesucian bagi para penyembah (Bhakta). Lalu bagaimana yang punya kemampuan menari mempersembahkan tarian, yang bisa menabuh dengan megamel, atau yang punya pohon mangga mempersembahkan mangga, dll bukankah itu juga dipersembahkan kenapa boleh, itu semua merupakan “ucapan terima-kasih” karena Hyang Whidi telah memberikan anugrah buat kita berupa pengetahuan dan hasil bumi. Kalau begitu benar bukan, kalau Babi guling juga dipersembahkan? Untuk ucapan terima-kasih terkait dengan hewan termasuk Babi, ada “tumpek kandang” namanya, tetapi pada hari itu tidak ada penyembelihan hewan tersebut ! Memang ada disuatu desa yang penulis tahu sehubungan dengan babi mereka beranak-pinak, maka dipersembahkan babi yang terkecil untuk dipersembahkan (di-guling), tetapi sebenarnya itu tidak sejalan dengan makna tumpek kandang, jadi hanya dikai-kaitkan agar dapat mempersembahkan babi guling atau bisa makan babi guling. Kalau kita tanya bagi sebagian umat yang mempersembahkan babi guling, umumnya mereka tidak mengerti itu pengaruh sekte Bhairawa, atau tidak mempertanyakan itu ada dasar sastranya atau tidak, yang mereka tahu mereka masih suka makan babi guling dan sebelum dimakan maka dipersembahkan dulu kepada Hyang Whidi sehingga lungsuran/prasadam yang dimakan jadi tidak makan dosa. Sekilas kelihatannya benar, namun ada cara yang lebih mengena, sebelum memotong babi lakukan permohonan “tirta pengentas” agar si Babi dikelahiran nanti bisa menjadi lebih baik, misalnya menjadi manusia karena kita umat Hindu percaya dengan re-inkarnasi, dan ketika akan menikmatinya boleh saja bersembahyang dulu atau panjatkan doa ucapan terima-kasih karena telah dianugrahi babi sehingga bisa disantap dengan benar (bukan menyantap dosa). Penulis berharap walau tidak dipaksakan, secara pelan-pelan kesenangan makan daging termasuk babi guling sebaiknya dikurangi kalau bisa dihilangkan, karena ketika makan daging sesungguhnya sifat-sifat raksasa yang masih ada pada diri manusia menjadi dominan, seharusnya sifat-sifat dewata yang dominan sehingga kita tidak perlu menyantap daging, jika memungkinkan yang dimakan adalah “Catur Kahuripan yaitu : daun, buah, bunga, akar/umbi, karena makanan tersebut secara ilmu kesehatan adalah makanan sehat apalagi bagi yang sudah usia diatas 40 tahun. Selanjutnya sesuai ajaran Catur Asrama kita bisa menapak fase ketiga (Wanaprastha) dengan mulai banyak belajar Weda, mulai sering tirta-yatra ke pura-pura atau petilasan, atau melakukan japa dirumah. Dengan pola seperti ini kita juga telah mendukung “Global Warming” karena mereka menyebutkan penyembelihan hewan dan makan daging hewan juga termasuk yang ikut andil terhadap pemanasan global.

Akhirnya apapun yang kita lakukan akan ada pahalanya sesuai ajaran Kharma Phala, jika yang suka makan daging atau yang tidak makan daging bahkan vegetarian, akan mendapat pahala masing-masing, minimal dari sisi kesehatan yang tidak bisa ditukar dengan babi guling, karena kesehatan adalah terkait dengan pola hidup khususnya pola makan. Semoga semua mahluk saling menyayangi .. Aum.




Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
13-10-2009.