Kamis, Oktober 01, 2009

DIKSA PANDITA - IDA BHAWATI I WAYAN SANTEP,S.Pd.
DIIRINGI GEMPA BUMI

Proses Aguron-Guron para umat yang mengambil jalan ke-Panditaan (Brahmana) dalam hal ini perjalanan seorang I Wayan Santep,S.Pd. sampai menjadi Pandita Mpu tidaklah mudah, karena melalui waktu dan proses batin yang panjang. Aguron-Aguron ini dimulai dari ”Eka Jati” dengan menjadi Pemangku (Pinandita), berlanjut menjadi Jro Mangku Gede, dan ketika sudah memenuhi syarat, maka dilanjutkan ”Diksa Ida Bhawati” yang berarti sudah dalam ”Rahim” sebelum lahir (Embas) menjadi Brahmana (Pandita) yaitu Pandita Mpu. Dari Jro Mangku Gede sampai ”Melinggih” menjadi Pandita beliau menempuh waktu 5 (lima) tahun, entah karena kematangan proses perjalanan beliau atau memang ”Prabawa”, maka ketika ”Diksa Pandita” pada 04 Oktober 2008 pada session ”Mati Raga” baru beberapa menit Mati Raga, yaitu antara jam 23.45 – 24.00 Wita terjadi gempa bumi 3 kali dimana 2 kali antaranya cukup kuat, dirasakan oleh semua yang hadir di Gria Sang Nabe di Padangkeling Singaraja, tempat dilaksanakan Pa-Diksaan.

Keseluruhan Proses sudah dimulai sejak 29-3-2008 sampai 24-4-2008, Ida Bhawati I Wayan Santep,S.Pd. dan Ida Bhawati Istri Ketut Sumarti (Calon Diksita) melakukan proses internal antara Calon Diksita dengan Nabenya, Ida Pandita Mpu Nabe Dharma Kerti, dari Griya Bhuana Sari, Padangkeling, Kel. Banyuning, Kab. Buleleng, Singaraja. Pada fase ini Sang Nabe juga nangkilang (menghadirkan) Calon Diksita ke Nabe Kakyang Ida Pandita Mpu Nabe Yogiswara Dharmajaya, Bakung Sukasada, Singaraja untuk memperoleh petunjuk/nasehat yang diperlukan. Ida Pandita Mpu Nabe Yogiswara Dharmajaya adalah Putra ke-2 dari Ida Pandita Mpu Nabe Pemuteran (Renon-Denpasar) yang belum lama ini meninggal (Lebar). Fase berikut antara 14-07-2008 sampai 28-09-2008, Calon Diksita menghubungi Calon Guru Saksi-Ida Pandita Mpu Nabe Siwa Yogi dari Grya Amarta, Tegallinggah, Sukasada, Buleleng-Singaraja dan Guru Waktra-Ida Pandita Mpu Nabe Dharma Kusuma Wijaya dari Grya Paramita-Petak, Kel Astina, Kec Buleleng, Singaraja, juga Mepiuning ke Mrajan Nabe, ke Pura Catur Lawa Besakih, Nuwur Tirta Mati Raga dan Tirta Pediksaan di Pura Pingit Besakih, mepiuning di Mrajan Mpu Nabe Pemuteran-Renon, dan di Pura tk Dadia (Merajan/Kawitan) serta Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Penglatan. Dilakukan juga ”Diksa Pariksa (Pembekalan)” di rumah Calon Diksita di Penglatan Singaraja yang dihadiri oleh PHDI Kab Buleleng. Pada fase ini hal-hal bersifat administratif seperti ”Surat Undangan” disiapkan dan dikirim kepada : Bupati Kab Buleleng,Kandep Agama,PHDI-Desa Pakraman-MGPSSR Tk Kabupaten dan kecamatan, Kades, Kadus, Bendesa Adat, Ketua Paruman Sulinggih PHDI Buleleng, Guru Waktra,Guru Saksi, Ida Pandita Sepurus : di Bakung, Wanagiri, Petak, Tegallinggah, Penarukan, Mayong, Tukadmungga, Lebah Siung semuanya di Singaraja, dan Pengurus Paguyuban Sisia ”Satya Dharma Santi” (Sisia Mpu Nabe di Padangkeling), serta undangan lainnya termasuk sahabat Calon Diksita. Puncak dari proses semuanya adalah pada 01- 16 Oktober 2008 meliputi : Melaspas Calon Griya di Penglatan, Pemantapan-pemantapan, Upacara Mati Raga, Pediksaan, Pembinaan Pandita Putra terkait, diakhiri : Mesida karya ke Griya Nabe,Guru Saksi, Guru Waktra, serta Ngaturang Puja ke Pedarman Catur Lawa (Ratu Pasek) Besakih, dan Pandita Baru sudah menempati Griya sendiri.

Khusus Upacara ”Mati Raga dan Pediksaan”, maka pada malam sekitar Jam 22 Wita dilaksanakan ”Mebyekala”. Sebelum ini dilakukan Mepamit,Nyumbah/sungkem kepada keluarga baik dari keluarga Lanang & Istri yang lebih tua, karena sesudah jadi Pandita beliau hanya memuja Hyang Widhi dan Sesuhunan (Pandita hanya alat Tuhan). Pada fase Mebyekala, Diksita (Lanang-Istri) diupacarai pembersihan termasuk dimandikan oleh Calon Raka (Kakak) : Ida Pandita Sri Bhagawan Wira Kerti dari Griya Lebah Siung dan Ida Pandita Mpu Dharma Mukti Sida Kerti dari Griya Tukad Mungga. Puja dilakukan oleh Para Nabe berurut Guru Saksi (Kanan), Nabe (Tengah) dan Guru Waktra (Kiri). Mebyekala ini merupakan proses awal sebelum upacara Mati Raga. Sekitar jam 23 Wita Diksita menghadap kepada Sang Nabe untuk dilakukan Upacara Mati Raga, dimulai dari Diksita Lanang (Pria) ditutup (Rurub) kepala dengan kain putih yang sudah di Rajah dan diatas kepala (Siwa Dwara) diletakkan Daksina dipegang oleh Sang Nabe. Ketika Daksina diangkat, maka Diksita mengalami ”Mati Raga”, para petugas yang sudah disiapkan sebelumnya mengangkat Diksita dalam kondisi Mati Raga ke Bale-Bale untuk ditempatkan seperti halnya orang meninggal dengan dibungkus kain putih seluruh tubuhnya. Hal yang sama terjadi pada Diksita Perempuan. Mati Raga ini mengandung makna, bahwa saat pertama lahir kedunia, maka manusia dilahirkan dari rahim Ibu, namun seorang Pandita (Brahmana) lahir dari Tuhan melalui Brahmana (Nabe) sehingga disebut ”Sang Dwijati” (Lahir kedua kali), untuk itulah harus melalui proses ”Mati Raga” dengan upacara seperti halnya orang mati. Ketika beberapa menit ditempatkan di Bale-Bale terjadilah peristiwa alam berupa ”Gempa Bumi” cukup kuat sebanyak tiga kali, para umat dan Pandita yang berada ditempat itu berdetak kagum dengan ”Prabawa” Diksita, semoga ini pertanda baik bagi Diksita dan akan memberikan kebaikan kepada umat. Mati Raga ini berlangsung cukup singkat yaitu sekitar 1 ½ jam dimana kadang bisa mencapai 5 – 6 jam. Hal ini tergantung pada masing-masing Diksita seperti halnya cepat atau lamanya bayi lahir. Selama belum dibangunkan (Metangi) Sang Nabe tetap berada di Bale Pemiosan (Bale Pemujaan) tidak turun. Sampai akhirnya waktu menunjukkan jam 01.30 Wita isyarat dari Nabe, bahwa sudah waktunya ”Metangi”, maka Sang Nabe turun menghampiri kedua Diksita dengan Puja Mantra dan diberi Tirta, kedua Diksita bangun. Disini terlihat kasih-sayang Sang Nabe kapada putranya dengan pelukan kasih-sayang. Selesai di-Rajah Angga, maka keduanya diangkat untuk di sucikan (dimandikan) seperti halnya bayi baru lahir, semua pakaian yang dipakai sebelumnya ditanggalkan/dibuang. Sang Nabe menyisir rambut dimana ”Prucut (ikatan rambut) dipindah yang semula dibelakang (Ida Bhawati) menjadi diatas ubun-ubun (Pandita). Setelah berbusana Pandita Keduanya ”Medengen-dengen” (Mebyekala kawin untuk Pandita) dilakukan oleh Sang Nabe. Selanjutnya dilakukan acara puncak berupa ”Pe-Diksaan” (Napak /Pembaptisan jadi Pandita) yang prosesinya bersamaan dengan matahari terbit diiringi kokok ayam, sebagai pertanda baik, bahwa telah lahir seorang Pandita. Dengan perasaan terharu Sang Nabe, diiringi isak tangis kedua Diksita lewat pesan-pesan Sang Nabe kepada putranya untuk menjalankan ”Sesana Ke-Panditaan” dengan baik sehingga berguna bagi semua ciptaan-Nya. Pada pagi hari itu juga 5 Oktober 2008 dilakukan ”Pelantikan/Pengumuman” dengan seremonial dihadiri : Bupati Buleleng, Kandep Agama, Ketua MGPSSR Kab Buleleng, dan undangan lainnya, bahwa ”Ida Bhawati I Wayan Santep,S.Pd dan Ida Bhawati Istri Ketut Sumarti, telah Diksa Pandita menjadi ”Ida Pandita Mpu Widya Kerthi & Ida Pandita Mpu Istri Widya Kerthi”, Grya KENCANA SARI, Jl.Pulau Irian, Desa Penglatan Gang Arjuna RT.5, Kab/Kec. Buleleng, Singaraja.




Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar-Solo
09-10-2008.
ARY SUTA DARMAWACANA ”KECERDASAN”
DI PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN

Dalam rangkaian Piodalan ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Karangpandan, Karanganyar, Jawa tengah, kita bersyukur kehadiran umat yang membanggakan bagi Hindu khususnya orang Bali karena beliau berhasil berada di jajaran puncak executive Indonesia, bahkan diakui di dunia Internasional. Dengan level pendidikan seperti itu, ketika berhadapan dengan umat yang hadir di Petilasan dari berbagai kalangan, bahkan sebagian besar awam, juga umat dari pelosok pedesaan di Karanganyar, rupanya Ary Suta mampu menciptakan suasana sehingga ”Darmawacana” yang disampaikan bisa diterima oleh pendengar dalam suasana santai dan diselingi gelak-tawa.

”Kecerdasan”, demikian inti dari darmawacana beliau seperti melengkapi kebutuhan umat yang datang untuk bersembahyang (vertical) dengan pemaparan Ary Suta yang lebih kepada kehidupan (Horizontal), ini sejalan dengan simbul agama Hindu ”Swastika”, bahwa kita harus seimbang verical dan horizontal. Jika orang disuruh memilih menjadi ”kaya” atau ”Cerdas”, demikian pembukaan darmawacana beliau, maka Ary Suta minta agar memilih ”Cerdas”, karena orang cerdas umumnya kaya. Kecerdasan ini akan muncul umumnya jika manusia itu menghadapi masalah bahkan kegetiran hidup, karena kegetiran akan membuat manusia itu semakin terasah kecerdasannya, ini sejalan dengan salah satu ciri orang cerdas adalah ”menjadikan suatu masalah menjadi pengalaman untuk menuju kepada sesuatu yang lebih baik” Orang cerdas akan selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Umat Hindu di dunia adalah minoritas yaitu hanya sekitar 16% dari penduduk dunia, seperti orang Jahudi yang minoritas tetapi banyak memiliki orang-orang cerdas dan tersebar di jajaran-jajaran penting dunia, dengan demikian umat Hindu harusnya lebih cerdas dari umat lainnya. Warga Pasek di Bali adalah mayoritas sehingga ini bisa jadi kelemahan dan terbukti masih banyak yang bangga menjadi Parekan, demikian dengan tulus disampaikan Ary Suta, hal ini akan merugikan Bali secara keseluruhan dan juga Hindu karena SDM ini menjadi lemah, tidak cerdas, dan tidak mampu bersaing ditingkat nasional dan internasional. Menjawab pertanyaan umat terkait dengan penyaluran SDM untuk bekerja, Ary Suta memberi metode, bahwa umat jangan sekali-sekali meminta pekerjaan kepadanya atau kepada siapapun, tetapi tunjukkan, bahwa ’saya punya kemampuan dan silahkan saya di-test, jika mampu luluskan, jika tidak mampu jangan diluluskan”, ini bentuk kepercayaan diri yang perlu ditanamkan. Ary Suta menekankan jika dia menemukan type seperti itu, akan di prioritaskan untuk diberikan jalan untuk masuk ke sistem bukan diberi ikan, demikian Ary Suta.

Suasana Piodalan Petilasan.
Purnama Ka-Tiga setiap tahun, merupakan Piodalan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Karangpandan, Karanganyar, Jawa tengah. Piodalan dilangsungkan pada Minggu, 14 September 2008 (Nyejer 3 hari-Nyineb 17 September 2008 pagi hari). Terlibat dalam Piodalan ini umat Hindu dari berbagai kalangan di Solo, Karanganyar sekitar lintas suku dan lintas soroh. Bebantenan untuk tahun ini dari Tabanan Bali karena umat di Jawa belum mampu dan belum tahu standard untuk bebantenan yang diperlukan untuk Piodalan disamping karena umat yang mau terlibat masih terbatas. Prosesi diawali pada 13 September 2008 sore dengan ”Nuwur Tirta” di Candi Ceto” dan sore itu di Petilasan dilakukan persembahan secara Jawa kepada ”Eyang Putro Rsi Pitu (KIA Pemacekan)”, dipimpin oleh Mbah Wiryo Rejo, pemelihara (Kuncen) Petilasan sejak 1959, jadi beliau adalah yang terakhir dari kalangan umat sekitar, berikutnya umat sekitar tetap sebagai pengemong Petilasan bersama Pengempon karena mereka ada ikatan batin dengan Eyang. Pada 14 September 2008 sekitar jam 07 Wib dimulai Puja Piodalan dipimpin 7 Pandita Mpu, umat juga mempersembahkan Tari Rejang Dewa sebagai rangkaian yadnya. Dilakukan juga Pewintenan Saraswati bagi umat Jawa yang nantinya menjadi pembantu Para Pinandita di kantong Hindu di Jawa. Umat yang datang dari berbagai tempat, seperti pelosok desa di Karanganyar : Jenawi, kemuning, ngargoyoso, Masaran, Jaten, Solo, Jigja, Semarang, dan juga dari Bali (Tabanan, Denpasar, Singaraja) yang jumlahnya melebihi tahun-tahun sebelumnya (sekitar 800 orang) sehingga ini diluar perkiraan panitia, untuk itu persembahyangan dibagi menjadi 2 session, ini menjadi pertanda, bahwa kesadaran umat semakin besar. Tokoh umat seperti : Prof Ketut Wita, Ary Suta, Ketut Nedeng, dan tokoh umat lainnya, bahkan keluarga Kraton Surakarta Hadiningrat ikut hadir. Para Pandita juga lebih banyak yang hadir secara bergantian dari sebelum sampai kepada Penutupan/Nyineb yang jumlahnya mencapai belasan Pandita Mpu. Keberadaan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan merupakan kehendak Hyang Widhi bahkan ditemukan dalam nuansa niskala melalui Damuh/prati sentana dari Bali pada tahun 1970-an dan dipugar mulai tahun 1984. Hal ini seperti merajut kembali hubungan kekerabatan yang sudah ratusan tahun sempat terputus antara Jawa dan Bali karena perubahan jaman dengan masuknya kepercayaan baru di tanah Jawa (Majapahit). Itulah sebabnya berbondong-bondong umat dari Bali melakukan sembahyang ke Jawa, hal ini sesuai sekali dengan „Bhisama“ (Pesan Sakral) dari leluhur yang maknanya agar para umat tetap membina hubungan dengan yang lainnya dimanapun berada (Aywa kita pegat akadang purusantha sembahen) . Jika taat dengan petunjuk leluhur, maka „Bhisama“ menyebutkan :

dan... apabila kamu taat terhadap amanatku mudah-mudahan kamu selalu memperoleh keselamatan, berbudi luhur, semua ucapanmu dipercaya, terkenal didunia, disayang orang, memiliki sifat-sifat yang mulia, bertingkah laku baik dan ahli siasat.

Itulah sebabnya para umat ini akan selalu tergugah keinginannya untuk melakukan Pitra Puja kepada para leluhur dimanapun beliau distanakan termasuk di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan. Di Bali mengingat semakin banyaknya keturunan, maka tingkatan penyungsung/pemuja semakin besar juga dan tempat memuja leluhur berkembang berurut dari yang umatnya sedikit : Paibon, Panti, Dadya, Dadya Agung atau Merajan dan Merajan Agung, sampai terakhir Pura Kawitan. Untuk di Jawa sebutannya menjadi berbeda mengikuti kebiasaan setempat sehingga disebut „Petilasan“ yang maknanya tempat dimana dahulu tinggal orang yang sangat dihormati. Walaupun merupakan Petilasan, namun tempat ini merupakan „Pura Umum“ dengan pengertian :

• Secara kekerabatan (hubungan darah) maka Petilasan ini merupakan wadah dari keturunan Panca Tirta, yang jika mengikuti sistem Soroh/Clan di Bali, maka Soroh Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, dan lainnya dapat melakukan puja Bhakti, karena ada perwujudan dari leluhur mereka.
• Petilasan merupakan tempat distanakan Pandita, sehingga sebagai Pandita akan mengayomi siapa saja umat yang membutuhkan walaupun berbeda agama.
• Sehubungan yang di stanakan sudah menyatu dengan Sangkan Paraning dumadi, maka sesungguhnya yang di Puja di Petilasan adalah „Hyang Widhi“.

Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar
18-09-2008.
PERPADUAN BUDAYA JAWA dan BALI DI PASEKAN

Dalam rangka peringatan Suro Januari 2007 ini, RW V Dusun Keprabon, Desa/Kec Karangpandan, Karanganyar (Jateng), yang terdiri dari tiga RT atau tiga Dukuh, yaitu : Dukuh Ngledok RT 05/05, Dukuh Pasekan RT 06/05, dan Dukuh Perumahan Rakyat RT 07/05, kembali melaksanakan ”Wilujeng Suro” pada Kamis Malam, 25 Januari 2007. Acara seperti ini dilaksanakan setiap tahun oleh RW V Dusun Keprabon, cuma kali ini dirasakan lebih meriah. Nuansa Budaya Jawa sangat kental terlihat pada acara ini sehingga walau umat ini hampir 99% beragama Islam tetapi mereka sangat mencintai budaya leluhurnya melalui acara Wilujeng Suro yang mempunyai makna spiritual yang adiluhung. Menurut KRT Parjono Jarwo Dwijonagoro, Ketua Pametri Budaya Kuno Kab.Karanganyar, yang dihormati sebagai Sesepuh Dusun Keprabon, juga Pimpinan ”Padepokan Cemani”, Wilujeng Suro dimaksudkan untuk menghilangkan sifat Asura (Raksasa) dan membangkitkan Sura (Suci) sehingga Bulan Suro dimaksudkan juga sebagai ”Bulan Kebangkitan Kesucian Diri”, dengan filosofi Durgo Mendak – Kolo Sedo, yang pada intinya kita menyongsong kebaikan dan membuang sifat-sifat buruk. Wilujeng Suro yang diadakan di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan secara rutin ini, memang kental dengan tradisi Jawa, baik dari segi sarana upacara maupun bentuk penghormatan lainnya. Dilakukan pada Kamis malam dianggap hari yang baik dan yang penting sebelum tanggal 10 kalender Jawa tahun ini. Dilaksanakan di Petilasan karena mereka menganggap Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang disebut mereka dengan ”Eyang Putro Rsi Pitu” adalah Cikal Bakal atau Danghyang yang sangat dihormati. Bagi Pengempon karena ikatan batin penduduk setempat sudah sejak lama ada sementara pratisentana Pasek menemukan beliau belakangan, maka sepantasnya tidak menghalangi atau menghambat umat yang menjalankan bakti ini. (Keberadaan Petilasan ini memang diawali oleh Pewisik yang diterima oleh Jro Mangku Gde Ketut Subandi ketika beliau masih bertugas di Kepolisian sekitar tahun 70-an, namun yang melacak kemudian adalah : Kanjeng Sanjoto dari Puri Mangkunegaran dan Brigjen Giyanto sampai tiga tahunan. Akhirnya dengan diantar oleh Suaji dari Dukuh Gondang Gentong, Ds.Nigasan, kec.Karangpandan, pada tahun 1973 menemukan Petilasan ini di Dukuh Pasekan. Selanjutnya pada 9 Maret 1984 Jro Mangku Gde Ketut Subandi memperoleh petunjuk lebih jelas ketika beliau di Puri Mangkunegaran agar datang 31 km kearah Tawangmangu, maka bertemulah Pratisentana Bhatara Kawitan dengan Leluhurnya pada 10 Maret 1984 tersebut. Berikutnya banyak kemudian yang terlibat seperti : Ledang, Merta Suteja, Ketut Nedeng, semeton dari Bali dan Solo/Karanganyar lainnya juga para Mpu seperti Sinuhun Bongkasa, Mpu Nabe Pemuteran, yang banyak perannya sampai berdiri Pura yang cukup megah ini. Pemugaran sederhana pada 1986, peresmian (Pitra Yadnya) 9 Nopember 1990. Fase 2000-2002 pembangunan : Meru tumpang Pitu, Piasan, Padmasana, Sapta Pertala, bale pawedan, candi gelung, candi bentar, bale banjar dan terakhir Bale kulkul. Peresmian dengan Penanda tanganan Prasasti pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) oleh Sinuhun Paku Bhuwono XII dari Keraton Surakarta Hadiningrat). Mbah Wiryo mantan RT Dukuh Pasekan adalah yang sejak 1959 mengurus Petilasan Eyang Putro Rsi Pitu, walaupun tanah sekitar Petilasan dimiliki oleh Tarjo Almarhum, sehingga pada Wilujeng Suro ini beliau yang dipercaya warga memimpin persembahan.

Jalannya Prosesi Wilujeng Suro
Prosesi berjalan dengan tradisi masing-masing dimana di luar Petilasan atau di Bale Banjar, warga yang merayakan Wilujeng Suro melakukan prosesi dengan tradisi Jawa. Kidung Jawa dilantunkan dengan sangat merdu oleh KRT Suripto Diningrat yang juga Sekretaris Pametri Budaya Kuno. Warga RW 05 Dusun keprabon yang berjumlah sekitar 70 orang mengikuti lantunan kidung Pujian memuja kebesaran Hyang Maha Kuasa. Dihadapan mereka berderet Sesaji Jawa berujud ”Bubur Rampe Sajangkepe” dimana disamping wujud persembahan kepada Sang Pencipta juga ada yang bermakna Tolak Bala dalam istilah sekarang yang tidak beda dengan ”Caru” yang berarti manis/harmonis sebagaimana makna Caru agar terjadi keseimbangan atau keharmonisan manusia, alam, dan Sang Pencipta (Tri Hita Karana). Di Utama Mandala Pengempon dalam hal ini Jero Mangku Made Murti dan Jero Mangku Nyoman Sukadana juga melakukan ”Puja Stawa” sekaligus nguningang (memberitahukan) kepada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan, bahwa warga RW 05 akan melaksanakan Puja Bhakti kehadapan beliau. Sekitar Pukul 19 wib Iring-iringan warga datang dengan membawa Sesaji Jawa diiringi dengan kidung Jawa dengan heningnya. Sesaji tersebut sebelum dimasukkan ke area Petilasan diperciki terlebih dahulu Tirta Pensucian yang dimohon oleh kedua Jero Mangku. Acara menghaturkan sesaji dipimpin oleh Mbah Wiryo salah seorang Tetua Dukuh Pasekan dan diikuti oleh Jero Mangku Made Murti untuk ikut memohonkan kepada Eyang Putro Rsi Pitu. Perpaduan Budaya Jawa dan Bali sangat terasa pada prosesi ini, bahkan bagi semeton Bali yang menyadari, bahwa leluhur kita juga dari Jawa, maka seperti bertemunya satu keluarga besar yang sempat terpisah oleh dua budaya yang berbeda selama ratusan tahun. Selesai prosesi di Petilasan, maka warga kembali ketempat semula di Balai Banjar, namun sebelumnya dilakukan penanaman Kepala Kambing di depan kanan Gapura (Jabaan) yang bermakna mohon keselamatan masyarakat. Acara selanjutnya adalah ”Sarasehan” dilakukan di Bale Banjar sambil menikmati Kue-kue dan Teh. Diawali dengan sambutan Ketua RW V Purwanto dilanjutkan Bayan/Kepala Dusun Keprabon Suroso. Berikutnya sejenis Darmawacana oleh KRT Parjono Jarwo Dwijonagoro yang juga adalah mantan anggota Dewan. Hadir juga Ketua Pengempon Nyoman Nasa, Bendahara Ketut Ardana, dan anggota pengempon lainnya, berbaur dalam nuansa kekeluargaan yang sangat baik. Pada sessi Darmawacana, banyak pesan-pesan moral dan juga makna-makna yang terkandung dalam budaya Jawa yang adiluhung disampaikan dengan sangat baiknya oleh beliau. Salah satu yang relevan adalah Tindakan Mpu Bradah (Terkecil dari Panca Tirta, yaitu : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bradah) ketika memisahkan Daha dan Kediri dengan melaksanakan ”Habiprayan Rebut Utomo’ (Halal-Bihalal bagi umat Islam), melalui menghadirkan dua putra Airlangga dan para petinggi lainnya, untuk sama-sama merebut keutamaan dengan saling memilih yang terbaik sehingga masing-masing menguasai Daha dan Kediri. (Seperti diketahui Mpu Bradah ditolak oleh kakaknya Mpu Kuturan ketika beliau hadir di Pasraman Mpu Kuturan di Padangbae Klungkung, ketika ingin menjadikan salah satu Putra Airlangga menjadi Raja di Bali. Mpu Kuturan menolak karena sudah memilih Anak Wungsu/ adik Airlangga menjadi Raja di Bali sekitar Abad XI menggantikan Ayahndanya Raja Udayana Warmadewa & Gunapriya Darmapatni). Makna Habiprayan ini sangat disadari oleh peserta Wilujeng Suro yang hadir pada kamis malam itu. Karena Wilujeng Suro ini dihadiri oleh berbagai kalangan usia, maka Wilujeng yang seharusnya diisi dengan Topo, Broto, kemudian ditutup sekitar pukul 23.00. Dengan wajah bahagia kami lalu berpisah dengan pengalaman berharga yang tidak akan kami lupakan selamanya, bahkan kami sepakat dengan para sesepuh tersebut untuk melanjutkan komunikasi batin dan perpaduan dua budaya ini pada kesempatan lainnya. Kami juga menyadari skenario ini adalah Bhatara Kawitan seperti yang kami rasakan sebelum acara dilaksanakan, Karena pada hakekatnya berada pada koridor Agama kita akan terkotak, tetapi berbicara masalah hati nurani adalah tanpa batas, karena sesungguhnya semua manusia itu adalah satu keluarga besar (Vasudewa Kutumbakan).



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
27-01-2007.
MAKNA ”BENDESA”

BENDESA bermakna ”Banda = Pengikat, dan Desa = Tempat”, jadi Bendesa adalah pemimpin yang bisa menjadi tali pengikat masyarakat ditempat/desa yang dipimpinnya. Untuk mengetahui hal ini, maka kita mundur pada masa jaman kerajaan di Bali.

Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinaan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali. Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Sri Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sri Wijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Kemungkinan dikalahkan Warmadewa dengan cara damai dan keturunannya menjadi Arya-Arya di Bali (sebelum Arya pada jaman Majapahit menguasai Bali). Setelah Sri Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988 M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Raja Udayana berkuasa sampai 1011 M.

Pada jaman pemerintahan Raja suami istri Udayana – Warmadewa di Bali terjadi perselisihan sebagai akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula (Penduduk Bali Asli di Tampurhyang Batur Kintamani) dan Bali Aga (Dari Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Berangkatlah ke empat Mpu ke Bali kecuali Mpu Bharadah yang menetap di Jawa. Banyak hal dilakukan di Bali oleh Para Mpu ini, salah satunya adalah Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 kelompok dari 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Dengan demikian seluruh peserta bisa diadopsi, bisa disatukan dan Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau. Pasraman Beliau masih ada di Bali sampai sekarang : Mpu Gnijaya di Pura Lempuyang Madya Karangasem, Mpu Semeru (Ratu Pasek) di Pura Caturlawa Besakih-Karangasem, Mpu Ghana (juga disebut Ratu Pasek) di Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung, Mpu Kuturan di Pura Silayukti – Padangbae Klungkung termasuk ada Peristirahatan Mpu Bharadah. Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Airlangga dan Anak Wungsu . Airlangga menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Airlangga, yaitu Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Airlangga.

Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Jawa Timur dan Bali dikuasai oleh Majapahit sekaligus sebagai akhir dari kekuasaan Wangsa Warmadewa. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (1343 – 1350 Masehi). Setelah sekian lama ditunggu Majapahit tidak juga mengirimkan Adipati ke Bali, maka Ki Patih Ulung (Ayah Pasek Gelgel) berangkat ke Jawa bersama saudara Pasek lainnya meminta Raja Majapahit menunjuk Adipati di Bali. Akhirnya Pada saka 1272 (1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali, alasannya karena saudara-saudaranya, yaitu keturunan Mpu Gnijaya dan Mpu Semeru banyak di Bali. ( Seperti diketahui, Kresna Kepakisan adalah Putra Mpu Soma Kepakisan (Guru Gajah Mada) dimana Mpu Soma Kepakisan adalah Putra Mpu Bahula, ayah Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah terkecil dari Panca Tirta, jadi masih kerabat dengan Pasek Gelgel. Mpu Soma Kepakisan mempunyai saudara, yaitu : Mpu Smaranatha (Ayah Danghyang Nirartha) yang keturunannya di Bali memakai nama Ida Bagus didepannya, juga Mpu Sidhimantra (Ayahnya Manik Angkeran dalam kisah diputusnya pulau Jawa dan Bali) keturunannya di Bali dikenal dengan: Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh. Pada awal pemerintahan Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula , karena Dalem hanya melibatkan Mentri-Mentri dari Majapahit, sehingga Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Lalu Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setelah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Berlanjut kemudian Dinasti Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi). Pada masa ini datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Waturenggong. Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah. Pada masa Danghyang Nirartha menjadi Purohita pada pemerintahan Dalem Waturenggong maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita Leluhur Pasek (Putra Mpu Gnijaya) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau, dan membuat pelapisan masyarakat dimana Fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana.

Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah menjadi raja-raja kecil dan saling serang sampai akhirnya tenggelam. Ketika Penjajah masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya, bahkan kemudian pelapisan masyarakat yang sudah ada sebelumnya dilegalkan menjadi Kasta dengan muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
13-10-2008.
PERKAWINAN ANTAR BANGSA

”Vasudewa Kutum bakam”, bahwa : sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan, demikian menurut pandangan Hindu, yang bermakna sesungguhnya manusia itu adalah satu keluarga besar, duniapun pada akhirnya terasa semakin sempit karena semakin majunya teknologi komunikasi, akhirnya ”Globalisasi” tidak bisa dibendung sehingga akan ada percampuran : budaya, pemanfaatan Iptek, perdagangan, dll. Yang juga bisa terjadi adalah perkawinan antar bangsa. Salah satu bukti akan hal itu, telah dilangsungkannya Samskara Wiwaha (Perkawinan) Ni Kadek Yulia Puspasari Putri kedua dari Kel I Nyoman Suendi yang menetap di Solo, dengan Christophe Moure, putra pertama kel. Jean-Jacques Moure Warganegara Perancis, di Pura Bhuwana Agung Saraswati, Kentingan, Solo pada 18 Agustus 2006. Resepsi dilangsungkan di Pendopo Agung Hotel Dana Solo 21 Agustus 2006. Yang menarik lagi adalah prosesi perkawinan dilakukan dalam budaya Jawa-Bali tetapi tetap Yadnya (Manusia Yadnya) sesuai Agama Hindu. Hal ini menunjukkan suatu perbedaan yang jelas antara Budaya dan Agama (Weda) yang mana sangat susah dibedakan di Bali karena Adat, budaya, dan agama sudah menyatu dalam keseharian masyarakat Bali.

Prosesi pernikahan dikemas oleh Panitia yang dibentuk lebih dulu dan melakukan rapat-rapat persiapan sampai pemantapan, sehingga setiap hal yang akan dilakukan dapat dipersiapkan dengan baik. Sebelum puncak Samskara Wiwaha dilakukan acara ”Midodareni” suatu bentuk budaya Jawa yang bermakna mempersiapkan Si Wanita agar cantik seperti Bidadari, makna lainnya adalah ”Pingit” dimana hari itu Si Wanita dipingit dan benar-benar mempersiapkan diri lahir-batin untuk menyongsong Samskara Wiwaha hari berikutnya. Budaya Midodareni ini ada juga di Bali dan mungkin daerah lain di Indonesia. Prosesi inti adalah dengan dilaksanakan Samskara Wiwaha yang tergolong Manusa Yadnya di Jaba tengah Pura Bhuana Agung Saraswati. Acara diawali dengan Pensucian Angga Sarira (Jasmani Rohani) penganten berdua berupa ”Byekaon” dan prosesi Yadnya lainnya, melalui Puja Mantra Jro Mangku Pasek dengan sarana upakara Manusa Yadnya yang sederhana tetapi tidak mengurangi maknanya, termasuk Sudiwadani (Pembaptisan masuk Hindu) karena Pengantin Pria akan mengikuti kepercayaan Pengantin Wanita. Setelah selesai di Jaba tengah (Madya Mandala), maka Penganten melanjutkan persembahyangan di Utama Mandala memohon kepada Hyang Widhi sebagai Yang Maha Kuasa juga selaku Kamajaya-Ratih agar memberikan restu & anugrah agar perkawinan ini memperoleh kebahagiaan. Acara menjadi lebih meriah tetapi tetap khusuk dengan suguhan Tari Pendet, dan Gending Gadon pimpinan Sri Joko Raharjo. Setelah persembahyangan selesai, dilanjutkan dengan pencatatan Perkawinan oleh Petugas Catatan Sipil Karanganyar Suparjo,Sos dan Suparmin,SE. Rohaniawannya Pinandita K.Atmo Sentono. Acara dilanjutkan dengan sambutan PHDI Solo dan berakhir dengan salam-salaman kepada mempelai dan keluarga. Rangkaian Manusia Yadnya ini juga Pamitan mempelai wanita di Sanggah Kemulan keluarga di Penarungan-Mengwi-Bali.

Acara Resepsi yang dilangsungkan pada 21 Agustus 2006 juga padat dengan nuansa percampuran budaya. Gending Uyon-Uyon (Jawa) dan Gending lelambatan (Bali) menyambut tamu yang datang. Sampai akhirnya rombongan Cucuk Lampah, Pager Ayu, dan Pengantin memasuki ruangan dan menuju ke Pelaminan diiringi Balaganjur. Tari Jawa Gambyong Pareanom yang menggambarkan gadis ceria yang berias memberi makna kepada Pengantin yang terlihat berbahagia, lalu dilanjutkan Pembacaan Doa oleh Pinandita Sutarto,S.Ag. Tari Gatotkoco Pregiwo yang menggambarkan Gatotkoco jatuh hati kepada Pregiwo, merupakan Tari Jawa yang melengkapi penampilan Tari Bali lainnya berupa Tari Condong-Legong Kraton dan Tari Baris. Tari dan musik Kontemporer juga melengkapi acara ini dan yang paling lain adalah penampilan Musik Gnawa sebuah musik Sufi dari Maroko oleh Abdes,Daisy dan Ibrahim (Perancis). Penutup acara mempelai meninggalkan ruangan diiringi Gending Jawa dan Gending Bali. Semoga perkawinan antar bangsa ini membuahkan kebahagiaan seperti disebutkan pada : RgWeda X.85.42  Ihaiva stam ma vi yaustam visvam ayur vy asnutam, kridantau putrair naptrbhir. Modamanam sve grihe ( Wahai kedua mempelai, semoga engkau senantiasa tinggal bersama, tidak pernah ada yang memisahkanmu. Semogalah kamu senantiasa hidup bersama, berbahagia dengan putra-putra dan cucu-cucumu, bergembiralah dalam rumah milikmu )

Dilaporkan,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 14-09-2006
APLIKASI KONSEP MPU KUTURAN DI JAMAN MILLENIUM

Mpu Kuturan, seorang arsitek Desa Adat/Pakraman, capabilitas beliau sebagai seorang rohaniawan juga ahli tata masyarakat, karena Mpu Kuturan adalah juga Raja dari Girah (Nateng Girah). Beliau sangat berhasil dalam menata kehidupan masyarakat Bali sejak kehadirannya bersama saudaranya yang lain (Catur Sanak) atas permintaan Raja Udayana Warmadewa pada abad XI. Mpu Kuturan dengan Desa Pakramannya juga menyebarkan Pasek keseluruh Bali yang berarti penguasaan pos-pos penting di Bali oleh para Priyayi Jawa, walaupun ini tidak identik dengan penjajahan karena strategi Mpu Kuturan adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Masalah Bali waktu itu bukan perebutan kursi partai atau tuntutan turun tahta/lengser Raja Udayana, tetapi adalah enam sekte yang ada waktu itu saling menganggap paling baik, sehingga menimbulkan konflik horizontal. Melalui pertemuan tiga paham, Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari oarng Bali Mula, di Samuan Tiga Gianyar, seluruh peserta bisa diadopsi dan bisa disatukan sehingga Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau. Pada abad XIV atau tahun 1350 Masehi, ketika Kresna Kepakisan memerintah Bali sebagai bawahan Majapahit sekaligus berakhirnya era Warmadewa, maka perlu menyerahkan pimpinan di desa-desa kepada Bendesa-Bendesa umumnya keluarga Pasek yang masih ada hubungan saudara dengan Kresna Kepakisan, suatu bentuk Nepotisme politis untuk mengikat masyarakat Desa (Banda=Pengikat, Desa=tempat). Setelah Majapahit runtuh pada abad XV karena masuknya agama islam di Majapahit, dan berakhir pula era ”Dalem”, ini telah memunculkan kerajaan-kerajaan kecil di sembilan tempat di Bali. Perkembangan ”Puri” sebagai kelanjutan dari kepemimpinan masa lalu juga menjadikan Bali menjadi berbeda, namun tradisi masa lalu masih tetap dilakukan walaupun kemudian adat ini menjadi komoditas kekuasaan karena sering dimasukkan adat-adat yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu, seperti kasus-kasus, kesekepang, asu-pundung, anglakahi karanghulu, kawin dengan keris, dll. Sampai akhirnya masuk ke fase penjajahan abad XVI, desa Pakraman secara praktek tetap dipertahankan, hal positif penjajah banyak melarang adat yang tidak sesuai, seperti ”Pati Gni”, walaupun banyak hal negatif seperti sistim Kasta yang diwarisi sampai sekarang.

Apa relevansinya dengan Bali jaman sekarang, apakah di Bali terjadi konflik sekte seperti abad XI ? Persisnya memang tidak, tetapi Bali sekarang sedang dihadapkan pada permasalahan yang bisa membuat Gubernur repot, jika dulu Raja Udayana. Konflik-konflik tersebut, seperti : masalah adat, lemahnya solidaritas sesama orang Bali, pemahaman akan ajaran sampradaya sehingga tidak perlu melarang, lemahnya dominasi ekonomi orang bali, lemahnya kepemimpinan di sektor swasta dan pemerintah, kedatangan para pendatang dari luar bali yang umumnya sektor informal seperti : tukang bakso, dan banyak permasalahan lainnya yang menyebabkan orang bali bisa menjadi tamu dinegeri sendiri.

Jika coba dirangkum, maka permasalahan Bali ini dapat kita lihat dari dua sisi, yaitu : Vertikal, meliputi pemahaman akan bhakti dan sarana bhakti berupa Pelinggih-Pelinggih. Sisi horizontal, meliputi hubungan sosial masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan antara masyarakat dengan lembaga pemerintah/adat/agama. Pelinggih Kemulan Rong Tiga yang diciptakan Mpu Kuturan punya nilai strategis sehingga bisa mempersatukan umat waktu itu dan mempunyai nilai spiritual karena pengejawantahan dari aksara suci Aum, yaitu : Ang (Brahma/Pencipta), Ung (Wisnu/Pemelihara), Mang (Siwa/Pemralina/Pengembali), jadi Kemulan Rong Tiga ini punya dasar Tattwa. Hasil karya Mpu Kuturan lainnya adalah Meru yang berasal dari Mahameru, dimana tumpangnya selalu ganjil (1-11) yang merupakan simbul Aksara Suci, seperti Meru Tumpang Tiga simbul Tri Aksara atau Tri Purusa (Siwa,Sadasiwa,Parasiwa). Lama kelamaan Meru itu menjadi dua macam, yaitu sebagai Dewa Pratistha (Stana Dewa) dan Atma Pratistha (Stana Roh Suci/Leluhur) perbedaannya hanya pada sikut (ukurannya) sesuai Astha kosala-Kosali. Seperti halnya Meru, maka Kemulan Rong Tiga ini mulai bergeser bahkan kabur penggunaannya, seperti ada umat yang menikah saat meminang tidak mau bersembahyang di Kemulang Rong Tiga fihak perempuan, padahal disana pemujaan Tri Murti. Pada era Danghyang Nirarta /Pedanda Sakti Wawu Rauh pada abad XV muncul Pelinggih baru berupa ”Padmasana”, maka sarana pemujaan umat semakin bertambah . Entah bagaimana dan sejak kapan prosesnya, fakta yang bisa dilihat sekarang adalah disetiap Sanggah, Panti, Mrajan atau Mrajan Agung, banyak sekali dijumpai pelinggih-pelinggih yang sering tidak dimengerti oleh umat pemuja. Untuk aplikasi konsep Mpu Kuturan ini tentu tidak mungkin kita membongkar Pura-Pura yang sudah ada, tetapi bisa dimulai dari keluarga kecil, karena setiap tahun muncul generasi keluarga baru yang perlu mandiri dan punya Pelinggih sendiri, maka disinilah dimulai hanya memiliki satu Pelinggih saja, yaitu ”Kemulan Rong Tiga”, sehingga umat akan lebih fokus, upakara lebih sedikit sehingga kesempatan untuk masuk ke tataran tattwa bisa lebih banyak, juga dana bisa lebih irit sehingga bisa untuk keperluan lain, seperti pendidikan dan kesehatan, bahkan melakukan Dana Punia, yang terlihat bagi orang Bali semua ini menempati urutan dibawah keperluan Yadnya atau pembuatan Pelinggih. Yang pertama dilakukan adalah ”Linggihang di Hati”, jadi puja terus Hyang Widhi sampai Melinggih di hati. Dalam keadaan keuangan yang belum mencukupi, belum sreg atau belum mampu tanpa ”Niyasa” (Simbol/Wujud fisik/Pelinggih) buat Pelinggih secara sederhana saja seperti ”Plangkiran”, dikemudian hari kalau kebutuhan sandang-pangan, pendidikan, kesehatan dipenuhi, maka buatkan Pelinggih yang lebih baik sebagai wujud bhakti kita pada Hyang Widhi. Sebagai perbandingan bangunan-bangunan Pemujaan di Jawa, seperti: Candi Prambanan, hanya ada tiga Candi Utama, yaitu Candi Brahma, Wisnu, dan Siwa, juga Candi Ceto dengan Lingganya, di pedesaan Jawa hanya ada Tiga buah batu sebagai pemujaan Tri Murti seperti Kemulan Rong Tiga di Bali, sehingga Bali sangat bijaksana jika mempelajari kembali konsep Mpu Kuturan.

Sisi horizontal seperti hubungan Sosial masyarakat, jaman Mpu Kuturan hanya ada kelompok masyarakat Bali Mula dan Bali Dataran (keturunan dari Jawa), Bali sekarang banyak terdapat kelompok wangsa (soroh/clan}, disamping kelompok pendatang. Kelompok wangsa ini pada dasarnya baik yaitu mempersatukan keluarga sehingga bisa lebih baik komunikasinya secara horizontal juga secara vertical (Bhatara Kawitan). Celakanya adalah ketika yang satu menganggap lebih tinggi dari yang lain. Pola Clan yang salah bisa menyebabkan masyarakat Bali kurang ada ikatan emosional yang sama sehingga terkesan kurang bersatu. Warisan sosial masyarakat jaman dulu berupa pelapisan strata masyarakat yang memunculkan adanya Ratu dan Parekan juga akan membatasi munculnya jiwa kewirausahaan (entrepreneur) dan kepemimpinan (Leadership) pada masyarakat yang bermental abdi ini. Jadi kepuasan segelintir masyarakat membawa dampak mental yang kurang baik pada banyak masyarakat. Sisi horizontal lainnya adalah perubahan masyarakat dari sektor agraris ke sektor industri, seperti industri Pariwisata. Bali yang dominan sektor industri pariwisata justru tidak banyak menikmati hasil dari industri Pariwisata ini khususnya dilevel pemimpin atau pengusaha (wiraswasta) kebanyakan hanya tenaga menengah kebawah. Masalah kemampuan sumber daya manusia bisa jadi alasannya, tetapi dengan kesadaran kemakmuran bagi masyarakat Bali, maka prioritas pendidikan ketrampilan dan kesempatan kepada masyarakat Bali harus diupayakan oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah. Jadi .. disadari atau tidak permasalahan Bali ini menjadi salah satu faktor kurang menguntungkan. Kalau antara sesama orang Bali ada dikotomi, ada kotak-kotak, ada lapis-lapis, maka persatuan itu tidak akan diperoleh. Mungkin saja kelemahan ini sudah dibaca oleh orang luar yang ingin berkiprah di Bali sesuai keinginannya, yang mungkin tidak menguntungkan, kasus Bom Bali telah terjadi, maka masalah ini bukan isapan jempol belaka .

Itulah fenomena yang bisa dilihat di bali sekarang ini, bagaimana dengan orang Bali yang merantau apakah ada perubahan sikap mentalnya ? Hubungan sosial sesama orang Bali diluar Bali relatif lebih baik, lebih moderat, walaupun masih ada segelintir orang yang membawa peninggalan hub sosial berlapis ke luar Bali, tetapi itu tidak ada manfaatnya. Keakraban ini mungkin karena merasa senasib sesama perantau, ini adalah hal yang umum secara psychologis. Umumnya mereka menikmati hidup diluar Bali dan sesekali ke Bali menengok keluarga, tidak ubahnya seperti wisata. Ada sebuah keluarga yang tidak bersedia pindah ke Bali ketika ditawari pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih besar dengan keadaannya sekarang, alasannya dia tidak kuat dengan kehidupan adat di Bali. Diluar Bali dia cukup menyiapkan Canang dan buah lalu ke Pura bersama keluarga sudah cukup mantap bersembahyang. Sehari-hari dengan Gayatri Mantram kadang dilanjutkan dengan ”Japa” memegang Gnitri, terasa sangat baik komunikasi dengan Sang Pencipta, yang mana tidak bisa dia dapatkan jika menjadi masyarakat Bali. Pada hari-hari tertentu belajar mekidung baik Bali atau kidung setempat dan anak-anak mereka belajar menari dan agama Hindu di Pura, jadi suasana yang sederhana, akrab, tanpa menghilangkan kadar ke-Hinduan. Terhadap permasalahan Bali ini, secara umum orang Bali di rantau bukannya tidak peduli dengan keadaan di Bali, tetapi mereka tidak punya kemampuan untuk merubah cara-cara di Bali yang kurang pas dijaman sekarang ini karena sudah mendarah-daging dimasyarakat, jadi mereka berpendapat biarlah Bali seperti itu diluar Bali kita beda. Apalagi diluar Bali akan berinteraksi dengan etnis lainnya seperti : Jawa, Dayak kaharingan, Batak, Bugis, dll yang pasti juga punya adat dan tata-cara sendiri dalam berkomunikasi kepada sang Pencipta, sehingga perlu format yang lain dalam ber-sosial masyarakat tidak seperti di Bali murni. Masalah diluar Bali lebih kepada ”kearifan untuk ber-interkasi dengan etnis lainnya dalam satu payung agama Hindu”.

Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham,
Sapta Rsi catur yogam, lingga rsi mahalinggam

Om Ang Geng Gnijaya namah swaha
Om Ang Gnijaya jagat patya namah
Om Ung Manik Jayas’ca,Semerus’ca,sa Ghanas ca,De Kuturan,Baradah ca Yanamonamah swaha

Om Om Panca Rsi, Sapta Rsi, Paduka Guru Bhyo namah swaha



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-01-2009.
IDA BAGUS DAN I PASEK
HUBUNGAN SURYA DAN SISYA

Membaca tulisan pada sebuah Majalah Kebudayaan Bali yang beralamat di Nitimandala Renon Denpasar berjudul ”I Pasek dan Ida Bagus – Pola hubungan sisya dan Siwa pada jaman sekarang”, maka penulis berusyukur karena ada yang mau mengungkap pola hubungan dimasyarakat yang jarang ada yang berani mengungkapkan dalam sebuah tulisan. Setelah membaca dengan baik, penulis merasa ada beberapa hal yang perlu ditambahkan sekaligus diluruskan agar terungkap sebuah keadaan yang benar tetapi dengan kesadaran agar terciptanya hubungan kekerabatan yang baik antara Ida Bagus dan I Pasek.

Tulisan tersebut dimulai ketika Danghyang Nirarta (Pedanda Sakti Wawu Rauh) menjadi Purohita Kerajaan Gelgel sekitar abad XV dibawah kepemimpinan Dalem Waturenggong (Dalem ini setingkat Adipati-karena Rajanya di Majapahit). Ada kalimat pada tulisan tersebut berbunyi ”Hanya segelintir dari Keturunan Pasek yang memperdalam, sehingga (mohon maaf) ketika itu ajaran Sang Sapta Resi yang merupakan ajaran Kemoksan dan Kedharman menjadi semakin surut dan luntur, sehingga situasinya menjadi gamang atau kurang mantap” dilanjutkan kemudian ketika Danghyang Nirarta datang, intinya beliau menyegarkan kembali ajaran Dharma dan me-Diksa kelima putranya menjadi Pedanda dan masyarakat diminta belajar dari mereka sehingga seterusnya terjadi hubungan ”Siwa dan Sisya”. Hubungan ini kemudian menjadi hubungan Ida Bagus dan I Pasek yang berkembang secara feodal menjadi hubungan ”Yang dihormati dan Parekan”, walaupun Ida Bagus tidak melanjutkan Ke-Panditaan. Ketika jaman berkembang dan I Pasek mulai mengenal ajaran kebenaran dan mulai mengerti hakekat manusia yang sama demikian juga banyak lahir Pandita dari I Pasek bergelar Pandita Mpu yang lahir dari Pedanda, namun pola hubungan itu tetap berlanjut, disebutkan lagi sbb : ”Namun saat ini kedua belah pihak telah terkungkung dan terjebak dalam sebuah budaya feodal yang diwariskan secara turun temurun. Disatu fihak Ida Bagus tidak akan rela meninggalkan posisi sebagai Siwa sedangkan I Pasek tak berani meninggalkan posisi sebagai sisya karena takut terkena hukuman dari leluhur”. Dan seterusnya.

PENYEMPURNAAN
Terhadap hal-hal diatas perlu dilengkapi, bahwa ketika Udayana Warmadewa dan keturunannya menjadi Raja Bali, maka ketika Majapahit berkuasa di Jawa pada sekitar abad XIII sehingga berakhir kekuasaan Wangsa Warmadewa di Bali, ditempatkanlah Dalem Kresna Kepakisan (Putra Mpu Soma Kepakisan keturunan Mpu Bharada) sebagai Adipat (Wakil Raja Majapahit). Sejak Warmadewa sampai Dalem, keturunan Sapta Resi (Leluhur Pasek) dan Bujangga selalu menjadi Purohita kerajaan. Ketika Danghyang Nirarta menjadi Purohita Kerajaan pada abad XV pada masa Dalem Waturenggong, maka atas restu Dalem, fungsi Purohita seterusnya dipegang oleh Danghyang Nirarta dan keturunannya, maka peran Pandita keturunan Sapta Rsi menjadi bukan Pandita Kerajaan, dan aktifitas ke Panditaan dilakukan di Pedukuhan dengan sebutan Jro Dukuh. Walaupun Dukuh tetapi ajaran ke-Brahmanaan tetap dilakukan, itulah sebabnya di rumah warga Pasek yang dulunya Jro Dukuh banyak tersimpan ”Lontar” yang berisi ajaran kerohanian, jadi entah bagaimana bisa dikatakan luntur dan disegarkan kembali oleh Danghyang Nirarta. Jika I Pasek dikatakan tidak berani meninggalkan Siwa-nya karena takut terkena hukuman dari leluhur, maka jika diteliti Bhisama dari para Mpu leluhur Pasek, yang tidak diijinkan adalah : Melupakan Catur Parhyangan (Parhyangan Panca Tirta : di Lempuyang Madya, Gelgel Dasar Bhuana, Besakih Catur Lawa, dan Silayukti-Padangbae), juga kalimat piteket/pesan ”Aywe pegat purusantha sembahen (Jangan lupa saling menghormati sesama Purusa Pasek), dan jangan menganggap saudara Pasek lainnya lebih jauh dari sepupu. Inilah hal-hal yang jika dilanggar oleh I Pasek merupakan pelanggaran kepada leluhur. Terkait dengan kelahiran Mpu pada sesudah Kemerdekaan, maka penulis mendengar cerita langsung dari pelaku sejarah kelahiran Mpu, yaitu Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran-Renon (Almarhum), diakui kelahiran Mpu dari ”Pedanda Kutur (Istri/perempuan)” namun ini lebih kepada persyaratan skala, bahwa Pandita harus punya Nabe (Guru/yang melahirkan). Secara niskala (Pengalaman Niskala beliau), memang sudah waktunya ”Mpu” keturunan Sapta Rsi lahir kembali kepermukaan secara jelas, tidak hanya secara interen melanjutkan peran Jro Dukuh, itulah sebabnya beliau melakukan tindakan-tindakan skala untuk lahirnya Mpu yang waktu itu oleh Pedanda Kutur ingin diberi sebutan ”Dukuh”. Dengan segala upaya skala-niskala yang dilakukan beliau, maka lahirlah Mpu pertama dari Basang Be dan Gerih. Sekarang ini Para Mpu pertama itu telah ber-Putra dan sesuatu yang lumrah dimana Para Mpu yang berjumlah diatas 140 Pandita ini sudah ber-Putra tidak saja dari Pasek (Mpu) tetapi ada Bhagawan (Keturunan Dalem), Rsi (Keluarga I Gusti), Sire Mpu (Warga Pande), bahkan ada Pedanda lahir dari Mpu. Bertolak dari hal diatas, maka seharusnya kita berpikir kedepan, bahwa bola telah bergulir dan jaman sudah berubah, tidak perlu lagi ada upaya agar I Pasek tetap menjadi Sisya atau Parekan kepada Ida Bagus. Memang jika Warga Bujangga nuwur ke Rsi Bujangga, para Arya/ I Gusti kepada Rsi/Rsi Agung, dan I Pasek yang jumlah umatnya terbesar di Bali nuwur kepada Pandita Mpu, maka sedikit sekali yang nuwur ke Pedanda, namun kedepan ”Pandita” adalah lintas soroh/clan, jadi I Pasek boleh saja nuwur ke Pedanda dan Ida Bagus juga tidak salah nuwur ke Pandita Mpu atau Rsi karena Pandita adalah pelayan umat. Dalam hubungan kemasyarakatan, kenapa tidak ditonjolkan, bahwa Ida Bagus dan I Pasek adalah bersaudara, karena I Pasek keturunan Mpu Gnijaya (Tertua dari Panca Tirta) dan Ida Bagus keturunan dari Mpu Bharadah (Terkecil dari Panca Tirta). Disamping itu masing-masing I Pasek dan Ida Bagus perlu sama-sama memperbaiki diri. Ida Bagus jangan menempatkan diri sebagai atasan dari I Pasek, dan jika I Pasek yang masih belum faham agar diingatkan, bahwa bersaudara. I Pasek juga perlu menyadari diri dan berlaku benar. I Pasek ini ada beberapa kategori, ada ”I Pasek Euphoria” (seperti Euphoria bangsa Indonesia di era Reformasi), I Pasek ini setelah tahu siapa leluhurnya, langsung menjadi Pasek dahsyat yang merasa lebih tua dan kadang keras dengan Ida Bagus, jangan lupa ajaran leluhur yang tua agar mengayomi yang lebih muda. Ada juga ”I Pasek Paling (bingung)” ini Pasek yang bingung dengan jati dirinya dan nyugra karena tidak tahu, ini yang harus disadarkan oleh Ida Bagus. Ada ”I Pasek Cerdik”, dia memanfaatkan kelemahan Ida Bagus untuk keuntungan materi sehingga hukum ekonomi ada permintaan ada penawaran terjadi. Yang benar adalah ”Paling Pasek” (sangat Pasek) dimana, ”Pasek = Patitis Sesana Kawitan”, sehingga I Pasek harus meniru prilaku para leluhur. Nah dengan kebersamaan ini, maka tidak ada umat yang melanggar Bhisama, juga tidak ada yang melanggar ajaran Weda, khususnya ajaran ”Tat Twam Asi” dimana manusia adalah sama dimata Hyang Widhi, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak boleh merendahkan yang lain. Semoga tulisan ini membawa kemajuan bagi pola pikir umat Hindu khususnya di Bali yang perlu peningkatan SDM sehingga bisa bersaing di era globalisasi ini.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar-Solo
05-02-2009.
PENYERAHAN DIRI SEUTUHNYA
ADALAH ”PRASADAM”

Dulu ketika habis melakukan persembahyangan, maka kita selalu disuguhkan sisa persembahan yang disebut dengan ”Lungsuran” dimana satu hal yang kita tahu itu adalah ”sisa persembahan”. Sejak kita mengenal saudara-saudara kita umat Hindu dari India mulai dikenal istilah ”Prasadam” yang maknanya lebih diperjelas sebagai sesuatu yang sudah disucikan lewat persembahan kepada Hyang Widhi. Dua istilah diatas (prasadam dan lungsuran) dimaksudkan mempunyai makna yang sama namun dalam prakteknya tidak sama. Lungsuran, istilah yang dikenal lebih dulu pengertiannya sudah kesana kemari, sehingga pakain bekas, makanan bekas, dan lainnya yang bukan hasil persembahan kepada Hyang wudhi bisa mendapat arti lungsuran. Istilah ”Prasadam” yang muncul kemudian seperti memurnikan kembali makna persembahan kepada Hyang Widhi ini menjadi lebih spesifik sehingga maknanya bisa difahami lebih dalam, dengan demikian umat menjadi faham, bahwa dengan memakan prasadam, maka kita telah menikmati makanan yang sudah disucikan. Berbeda sekali dengan istilah lungsuran, yang oleh sebagian masyarakat telah diartikan keliru sejalan dengan kelirunya pengertian akan kesetaraan manusia. Ada yang tidak mau memakan lungsuran dari persembahan di Pura keluarga orang lain walaupun itu teman baiknya karena teman itu dari keluarga yang berbeda (beda soroh). Sisa persembahan yang sudah disucikan ini menjadi dikalahkan oleh pemahaman keliru karena beda soroh tadi. Prasadam semoga bisa menjernihkan kekeliruan ini, bahkan tidak terbatas pada makanan saja, bahkan apapun hasil persembahan adalah prasadam, seperti : sisa canang, bambu, daun kelapa, kelapa, dan lain sebagainya adalah prasadam. Sisa persembahan yang selama ini bagi umat Hindu kurang berharga hanya berupa sampah, bisa diberi pengertian prasadam sehingga lebih bermakna. Di Jawa seperti Solo karena kepercayaan mereka pada hal yang terkait dengan kraton, sampai-sampai kotoran kerbau milik kraton dipercaya sebagai rabuk dan bagi mereka ini adalah prasadam, juga umum terjadi rebutan ”Gunungan” yaitu nasi yang disusun berbentuk Gunung dengan sayur mayur menjadi rebutan masyarakat karena mereka percaya ini adalah prasadam. Selanjutnya bagaimana dengan persembahan sisa ”Caru” apakah itu prasadam? Di Bali Caru ada yang mengartikan persembahan kepada Bhuta Kala sehingga jangankan prasadam, kembang saat sembahyang saja tidak boleh ditempatkan di telinga/kepala (suntingang), disisi lain ada yang mengartikan Caru yang berarti : harmonis, seimbang adalah permohonan kepada Hyang Widhi untuk keseimbangan alam sehingga sisa persembahyangan jelas adalah prasadam. Juga contoh dimana sisa persembahyangan dari Pura keluarga (leluhur orang lain), sebagian masyarakat feodal mengatakan ini beda leluhur sehingga tidak mau makan sisa persembahyangan itu, artinya mereka menganggap ini bukan prasadam. Disisi lain para penganut sudut pandang tattwa mengartikan orang yang sudah meningga karena : panca maha bhuta sudah lebur lewat Ngaben , dan badan astral (badan halus) sudah lebur dengan Memukur (Atma wedana) sehingga tinggal atma yang merupakan bagian dari Paramatma dan dilinggihkan di kemulan sebagai Dewa Hyang, maka sesungguhnya sisa persembahan ini adalah prasadam juga. Dengan penajaman makna dari lungsuran menjadi prasadam, sebenarnya ini sudah baik namun untuk di Bali hal itu belum cukup, perlu pengertian yang lebih tajam dan spesifik dan akan selalu ditafsirkan secara berbeda.

Ada suatu renungan bagi kita, bahwa dengan mempersembahkan diri kita kepada Hyang Widhi dengan menjaga kesucian (Tri Kaya Parisudha), melakukan fungsi sesuai dengan ”Guna (bakat)” dan ”Karma (laku/perbuatan) sesuai dengan ajaran Catur Warna, juga melakukan tapa-brata-yoga-semadi (pengendalian diri), dan bentuk pensucian lainnya, sesungguhnya kita telah menyiapkan diri menjadi prasadam bagi orang lain. Kehadiran kita akan dinantikan orang, bukan karena kita rajin memberi uang pada orang lain, atau bantuan pamrih lainnya, tetapi karena kehadiran kita memancarkan kedamaian bagi orang lain. Hal ini tidak mudah, tetapi harus diperjuangkan oleh kita semua sehingga seru sekalian alam memperoleh manfaat yang baik karena keberadaan kita. Di era perpolitikan di negeri kita sering kita dengar kumandang para calon legislatif sampai calon presiden yang mengatakan ”mereka bekerja untuk rakyat” bahkan dengan berbagai cara sampai kepada pemberian materiil dilakukan untuk menarik simpati rakyat, bahwa mereka melakukan semua ini untuk rakyat, padahal seharusnya yang perlu menjadi pegangan mereka adalah ”Mereka seharusnya melakukan segalanya untuk Tuhan/Hyang Widhi”. Orang yang mempersembahkan dirinya untuk Hyang Widhi sesungguhnya telah memberi kebaikan pada orang lain dan dalam sekala besar adalah kebaikan buat rakyat, kenapa ? karena orang seperti ini akan tumbuh empati pada sesama karena telah menyadari hakekat dirinya dan hakekat rakyat yang sama. Para motivator moderen dari Andri Wongso, Mario Teguh, Gede Prama, Erbe Sentanu, dan lain-lain menterjemahkan makna prasadam ini dalam komuniukasi moderen, sehingga sering kita dengar kalimat : Kita adalah apa yang kita pikirkan, Succes is my right (sukses adalah hak saya), dan sebagainya dimana semuanya bertumpu kepada pikiran yang positif (positif tinking) yang juga berarti pikiran yang suci, kesucian baru bisa diperoleh jika kita masuk kepada kesadaran Tuhan dengan menjadikan diri kita sebagai ”persembahan” melalui penyerahan diri yang utuh kepada Hyang Widhi, inilah makna lain dari ”Prasadam”.

Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
15-06-2009
SAMPRADAYA BOLEH BERDARMA WACANA

Hindu dan Budaya Hindu ibarat kembang (Budaya) dan wanginya (Hindu), pada kembang mawar ada wangi, pada kembang Melati ada wangi. Siapapun akan sepakat, bahwa kembang dan wanginya seperti contoh diatas merupakan suatu kesatuan. Ilustrasi diatas akan menjadi berbeda ketika kita berhadapan dengan situasi nyata, seperti di Bali beberapa fihak hanya ingin wangi dari satu kembang saja dan tidak perlu lagi wangi dari kembang lain, inilah yang menarik untuk disimak lebih jauh. Permasalahan umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali ini ramai membicarakan kembang dan wanginya bahkan sudah pada perdebatan walaupun perdebatan itu perlu untuk membuka wacana dan mencari titik temu asalkan jangan sampai menutup diri, eksklusif, buta, atau bahkan ribut sampai mengeluarkan larangan-larangan tanpa alasan jelas yang bisa diterima akal sehat. Jika kita mundur pada sejak Hindu masuk ke Nusantara, terntunya penyebar Hindu dari India seperti Bangsa Saka telah membawa tata-cara India ke Nusantara seperti : cara berbusana, bentuk persembahan kepada Sang Pencipta, dll. yang merupakan budaya, bersamaan dengan membawa ajaran Weda. Sementara itu nenek moyang Nusantara tentu juga sudah punya budaya sendiri, tetapi apa yang bisa kita lihat sekarang, apakah umat Hindu di Nusantara ini dalam ritual sehari-hari sama seperti di India atau apakah cara berbusana wanitanya memakai Sari juga prianya dengan tata-cara sehari-hari seperti di India , tidak bukan? Apa sebabnya ? itu karena leluhur Nusantara dan juga para Rsi penyebar Hindu sangat bijak. Hindu diterima di Nusantara tetapi budaya Hindu beradaptasi tanpa saling mengalahkan dengan budaya nenek moyang Nusantara, karena budaya itu identik dengan keindahan dan berproses tidak dalam satu hari tetapi bertahun-tahun bahkan beratus-ratus tahun sampai menjadi yang kita lihat sekarang di Nusantara. Buktinya ajaran Weda yang kita terima sama dengan saudara kita di India tetapi dibungkus oleh budaya masing-masing seperti di Bali, Jawa, dan daerah lainnya. Ini yang perlu direnungkan. Jadi leluhur kita menerima wangi kembang itu tanpa membedakan kembangnya, sehingga warna-warni budaya di Nusantara ini menjadi sangat indah dengan tetap sarinya adalah Hindu.

Ketika dijaman yang moderen ini ada saudara kita dari India ingin memberikan wangi kembang ini pada kita kenapa menjadi timbul permasalahan, sangat berbeda ketika para Rsi menyebarkan ajaran Weda dulu ke Nusantara, kenapa bisa begitu apakah ada permasalahan dalam berkomunikasi dengan masyarakat ? Faktanya dimasyarakat ada perbedaan pendapat antara Hindu dan Budayanya karena kita lebih melihat kembang daripada wanginya itu sampai ada tokoh desa Pakraman yang melarang sampradaya berdarma wacana. Melarang Sampradaya ber-darma wacana selama itu bukan kekhawatiran yang buta, maka bisa dimengerti, karena tokoh desa Pakaraman tentu lebih mengerti keadaan masyarakat Bali yang sangat kuat dengan budayanya sehingga dikhawatirkan akan terjadi hal yang tidak diinginkan, tetapi melarang tanpa memberi solusi juga tidak benar karena Darma wacana itu diperlukan oleh umat Hindu terutama masyarakat Bali secara umum yang kuat bungkusan budayanya sehingga perlu pemahaman Weda lebih baik agar bisa membedakan Hindu dan Budaya Hindu. Sampradaya atau Garis Perguruan tentunya juga merasa perlu untuk memberi pencerahan kepada umat Hindu ini tetapi tentu harus lebih bijaksana, sekali lagi jangan fokus pada kembang tetapi fokuslah pada wanginya, artinya sesuaikan diri dengan budaya lokal (Local Genius) jika ingin tujuan tercapai yaitu berupa peningkatan pemahaman umat khususnya di Bali akan Weda. Karena tujuannya adalah pencerahan bukan penyebaran budaya, maka tidak ada salahnya jika seorang Pandit, Baba, atau Maharaj menggunakan pakaian seperti halnya pakaian Pendita di Bali jika akan berdarma wacana atau boleh dicoba dengan memakai Jas dan dasi jika itu berhadapan dengan masyarakat menengah keatas, tetapi ketika berada di lingkungan sendiri (Ashram) silahkan kembali kepada tradisi yang dipakai di India. Mohan.MS juga memakai pakaian putih-putih dan destar ala Bali ketika berhubungan dengan masyarakat.(Note : mengenai pakaian ini, bagi Pandita di Bali ada ketentuan ”Amari Wesa” artinya berganti atribut, pakaian, dll. misalnya tidak lagi menggunakan gelar-gelar ketika walaka, berbusana dan hiasan yang patut sebagaimana ketentuan bagi Pandita, atas hal ini jika di India ada ketentuan in, maka perlu dimaklumi) Ada juga Pemangku yang mengenal ajaran Sampradaya melakukan penyesuaian Prosesi Agnihotra tanpa menghilangkan seremonial Agnihotra itu sendiri tetapi juga sesuai dengan proses Puja Stawa yang biasa dibawakan oleh Pemangku di Bali, seperti : Diawali pembersihan diri, Ngarga Tirta, ada caru juga, dan di fase Puja Hyang Widhi disamping kepada Dewa-Dewi juga fokus kepada Dewa Agni yang menjadi inti Agnihotra ini, terakhir juga ada Nunas Tirta sehingga secara umum orang Bali tidak merasakan sesuatu yang prontal tetapi memperoleh suatu Upacara Agnihotra yang agung sesuai petunjuk Weda tanpa mereka merasa kehilangan sesuatu (budaya). Hal ini seharusnya dilakukan oleh fihak-fihak yang ingin memajukan Hindu tanpa harus memaksakan suatu budaya, biarlah budaya itu berproses sendiri seiring dengan waktu. Seperti yang terjadi di Jawa ketika umat Hindu Jawa yang ratusan tahun jauh dari agama leluhurnya dan dikenalkan kembali oleh orang Bali dengan Hindu plus budaya Bali berupa sesaji/banten ala Bali, sehingga kita sekarang melihat sesuatu yang biasa jika umat Hindu etnis Jawa bersembahyang ada Canang (banten Bali) juga ada banten Jawa seperti : Cok Bakal, Tumpengan, bubur rampe sajangkape, juga prosesi Pitra Yadnya (Ngaben) yang di Jawa Timur disebut ”Entas-Entas” di Jawa tengah disebut ”Entas Pitulus”, dilaksankan dengan perpaduan Budaya Jawa dan Bali. Terkait dengan Sampradaya, umat Hindu Jawa ini juga lebih luwes sehingga bisa menerima Agnihotra seperti halnya mereka menerima tata cara di Bali tetapi tetap memegang budaya Jawa warisan leluhurnya, sehingga Sesaji Jawa tetap ada pada Agnihotra tersebut, mungkin karena umat Hindu etnis Jawa lebih memahami antara Wangi dan kembang dan tidak masalah dengan beraneka kembang yang penting mendapatkan wanginya. Jadi mari lepaskan kepentingan sesaat , ego, prestise yang semu, kekawatiran yang buta, karena dihadapan kita umat Hindu khususnya di Bali perlu memperoleh bimbingan untuk terlepas dari tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran Weda, dan biarkan kita memperoleh Wangi kembang dari kembang apapun juga. Om Grim Wausat Ksama Sampurna ya Namah



Ditulis oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
09-04-2007
SISI LAIN MEMAKNAI HINDU GLOBAL


Abad 21 dikenal sebagai Abad millennium dimana globalisasi sudah tidak terbendung. Kegiatan ekonomi, perbankan, legal/hukum, dll tidak bisa menutup mata kita dan harus menyongsong globalisasi ini dengan persiapan yang baik. Disisi lain kegiatan keumatan seperti kesadaran hubungan antar umat beragama Hindu diseluruh dunia juga seperti ikut terbawa arus ini. Tidak diketahui dengan pasti kapan dimulai tetapi secara nyata bisa terlihat sudah terjadinya hubungan antar umat beragama yang sampai menjangkau lintas benua, lintas ras atau suku bangsa. Sudah menjadi trend umat Hindu di Indonesia mengadakan Tirta Yatra ke India untuk napak tilas kenegeri asal agama Hindu ini. Organisasi-organisasi keagamaan seperti Pemuda Hindu, Perkumpulan Meditasi, dan banyak Bajan-Bajan yang ada sudah semakin memperjelas bahwa hubungan kita ini sudah begitu luas. Media-Media berbasis Hindu sebagai Media informasi keumatan yang berfungsi Jnana Punia juga banyak memberitakan kegiatan umat Hindu antar Negara ini. Pokoknya umat Hindu di Bali dan Indonesia pada umumnya seperti sudah diperlihatkan kepada fenomena yang terbuka, moderen, luas, dan tidak lagi hanya berkutat pada hal-hal yang terjadi di Bali dengan keaneka-ragaman adat dan seni budaya yang berbaur dengan ajaran agama sehingga sangat susah dipisahkan. Kalau dikatakan suatu kemajuan, maka ini bisa diakui karena dibandingkan dengan sebelumnya katakan saja sejak Indonesia Merdeka dibandingkan sekarang situasi hubungan antar umat Hindu Indonesia dengan Negara lain sudah semakin maju, maka sebelum kita terbawa terlalu jauh perlu diingatkan hal-hal yang mungkin terabaikan atau terlupakan oleh kita.

Pada kesempatan ini, penulis ingin memperlihatkan sisi lain dari hubungan Hindu dalam era globalisasi ini yang telah mengusik hati ini untuk memberitakan kepada umat Hindu dimanapun berada. Ibarat layang-layang, maka pemikiran global yang disimbulkan dengan layang-layangnya harus tersambung dengan benangnya dan tidak boleh putus jika ingin memperoleh kenikmatan daripadanya, yaitu kepuasan kita sebagai pemain layang-layang itu. Kita sekarang sedang terhanyut pada suatu semangat kebersamaan dengan pemeluk Hindu dari Negara lain khususnya India tetapi kita seperti ingin melupakan masalah hubungan dengan sesama pemeluk Hindu di Indonesia khususnya di Bali yang saat ini masih sering terjadi perbedaan pendapat masalah : keharmonisan antar soroh, kesetaraan Sulinggih/Brahmana, dan masalah lainnya yang merupakan fakta ada di masyarakat. Dalam situasi seperti itu kita telah sangat berani membuka hubungan dengan sangat harmonis dengan umat Hindu Negara lain padahal dengan semakin luasnya hubungan itu justru pada akhirnya semakin membuka permasalahan kita sendiri. Kenapa kita tidak benahi masalah kita dulu ataukah kita menganggap itu bukan masalah ? Lalu kalau itu masalah bagaimana kita bisa mengatasinya ? Mengatasinya harus secara bersama-sama. Masyarakat yang memperoleh kenikmatan dari kesalahan sejarah di Bali abad XV sampai sekarang seharusnya bisa menjadi pelopor untuk terciptanya perbaikan atas kesalahan masa lalu bukan malah memperuncing dengan melakukan hal-hal yang bisa menambah ketidak harmonisan itu, masyarakat yang berada pada posisi yang dirugikan karena kesalahan sejarah jangan sensitive apalagi dendam dan melakukan pembalasan tetapi jika meluruskan silahkan. Media umat berbasis Hindu juga harus memposisikan sebagai pencerahan umat dan pembenahan kesalahan-kesalahan masa lalu, dan kedepan jangan menjadi alat kelompok, tetapi benar-benar mengambil peran “Jnana Punia” sehingga umat Hindu yang harus diakui baru mulai memperoleh angin sejuk dari sejarah kehidupan umat beragama di Indonesia bisa terus menapak masa depannya dengan lebih baik. Kita harus banyak belajar dari kesalahan sejarah, mengutamakan kepentingan umat banyak dibandingkan kelompok atau golongan, mementingkan keharmonisan daripada prestise, maka barulah menurut penulis Umat Hindu di Indonesia berani menapak masa depan lewat membuka hubungan yang luas dengan umat Hindu di seluruh dunia. Jika intern kita sendiri belum bisa merasakan keharmonisan dan masih menganggap manusia ini ada tinggi rendah, maka sesungguhnya kita “Belum Siap”.

Sisi Lain Memaknai Hindu Global Ini, hanya salah satu wacana dari penulis yang menghadapi langsung situasi masyarakat di Bali dan di luar Bali yang sampai saat ini belum mengalami perbaikan, karena pada saat meningkatnya hubungan antar umat Hindu di seluruh dunia, maka pada saat yang sama di negeri kita sendiri bahkan di Bali yang dikatakan sebagai tempat dipertahankannya ajaran Hindu masih terjadi persaingan umat yang masih ingin mempertahankan prestise yang semu dan umat yang menolak perbedaan dan menginginkan kesetaraan sesuai ajaran Tat Twan Asi. Kita juga masih banyak melihat kebodohan yang tetap berkembang dengan membiarkan umat nyugra. Maka melalui tulisan ini penulis mengajak kita semua sebelum berpikir global cobalah berpikir kedalam agar layang-layang globalisasi ini bisa melayang dengan baik karena tersambung dengan benangnya sendiri sehingga memberi kenyamanan kepada kita sebagai pemainnya. Mari jangan lupakan pembenahan kedalam agar kita tidak malu kepada dunia lain diluar sana.








Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
20-02-2005
MENENGOK PURA DI LERENG GUNUNG LAWU KARANGANYAR DAN SEKITARNYA

Akankah Hindu akan berkibar kembali di Bumi Nusantara ? Jawaban atas pertanyaan tersebut sering dikaitkan dengan ramalan, seperti : Ramalan Joyoboyo atau Sumpah Sabda Palon dan Naya Genggong, dimana ketika Brawijaya VII (Majapahit terakhir) dan berakhirnya Dinasti Raja-Raja Hindu diramalkan Hindu akan kembali berkibar di Bumi Nusantara. Apakah sekarang ini saatnya ? persepsi tentang hal itu akan berbeda-beda, tetapi kita tidak perlu berdebat tentang hal yang merupakan kekuasaan Hyang Widhi tetapi mari kita lihat bersama fenomena yang ada sekarang ini dimasyarakat. Hindu di Indonesia yang sekarang bukan lagi dominasi penduduk Bali sudah bisa dilihat dengan jelas, dimana-mana di Indonesia kita sudah bisa melihat tersebarnya umat Hindu ini, tentunya kuantitas bukan menjadi ukuran. Di Jawa khususnya Jawa Tengah umat Hindu asli suku Jawa cukup banyak jumlahnya. Mengutip nasihat orang tua tentang pengertian ”Jawa ” yang dikaitkan dengan ”Bali Jowone” bisa dijadikan rujukan, bahwa Jawa yang berasal dari Arjawan (jujur) menjadi idaman kita semua sehingga harapan ”Bali Jowone (Kembalinya sifat Jujur) bermakna luas menjadi kembalinya ajaran leluhur ini di bumi Nusantara. Ajaran leluhur dimaksud tentunya Ajaran Hindu. Secara fisik sekarang sudah bisa kita lihat dengan banyak berdiri Pura dimana-mana diluar Bali.

Dilereng Gunung Lawu, yang merupakan wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah banyak bertempat tinggal umat Hindu asli suku Jawa, juga disekitar Karanganyar yang merupakan ex Kresidenan Surakarta (Solo, Karanganyar,Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, dan Klaten). Di Karanganyar ada belasan Pura seperti : Kec.Mojogedang ada Pura Amertha Shanti dan Pura Sedaleman, di Kec.Ngargoyoso ada Pura Sumber Sari, Pura Jonggol Shanti Loka, Pura Tunggal Ika, Pura Argha Bhadra Dharma, dan Pura Luda Bhuwana. Di Kec. Jenawi ada Pura Lingga Bhuwana dan beberapa Pura lainnya. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Pura di Karanganyar ini dibangun setelah mulai bangkitnya umat Hindu ini, jadi bukan peninggalan sejarah seperti : Candi Ceto dan Candi Sukuh. Di Kabupaten Sragen yang sering dilalui kendaraan dari Surabaya (untuk arah dari timur yang merupakan jalur selatan), juga banyak dijumpai Pura. Di Kec.Masaran ada Pura Jagadpati dan Pura Mojo Agung. Di Kec.Sumberlawang ada Pura Jowongso, Pura Bhuana Loka, Pura Tirta Dharma, dan Pura Jati. Di kec.Miri ada Pura Desa Miri, dan Kec.Sukowati ada Pura Agung Bhuwana. Pura di Karanganyar dan Sragen ini keberadaannya di Desa yang penduduknya umat Hindu dari suku Jawa, Pura serupa ada di Sukoharjo, Klaten, juga Boyolali (Ngenden dan lain-lain). Yang berbeda adalah Pura dilingkungan Surakarta (Solo). Karena Surakarta termasuk kota, maka Pura ini banyak di Ampu (Pengempon) oleh umat Hindu asal Bali yang menetap di Surakarta berbaur dengan umat Hindu Suku Jawa. Pura tersebut adalah : Pura Bhuwana Agung Saraswati di lingkungan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) , Jebres Surakarta, Pura Indraprasta – Mutihan Surakarta, Pura Bhirawa Dharma di Komplek Koppasus Karang Menjangan, Kartasura, dan Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Pura di wilayah Karanganyar tempatnya di desa-desa di kaki Gunung Lawu sehingga suasana Pura ini sangat sejuk dan nyaman bagi umat yang berkunjung. Umat Hindu diwilayah ini sebelumnya jumlahnya lebih banyak dari sekarang namun karena situasi tertentu, seperti : kesulitan Pengurusan KTP, Akte Perkawinan, dan juga kurang dukungan maka lama kelamaan jumlahnya semakin menipis, syukur sekarang sudah terbentuk PHDI juga Peradah sehingga kepercayaan diri mereka semakin baik. Secara umum Pura disini ber-ornamen Bali dan Pelinggihnya biasanya berupa Padmasana, karena memang tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan orang Bali kedaerah ini banyak mendorong perkembangan Hindu di wilayah ini. Disamping itu sebagai kebutuhan awal, maka sarana sembahyang berupa Pura menjadi hal yang pokok disamping peningkatan Srada. Secara tidak sadar kedatangan orang Bali yang berbaur dengan penduduk setempat, apakah sebagai Guru, Polisi, atau Pegawai seperti sudah ditakdirkan menjadi bagian dari proses bangkitnya Hindu ini. Namun tidak bisa dilepaskan juga adalah keterlibatan tokoh-tokoh umat Jawa sendiri, seperti : Harjanto (Tokoh di Pura Mandira Seta), juga Supanggih, Romo Maming, Sunarto, dan umat Jawa lainnya. Beliau-beliau ini sudah berkiprah ketika Hindu di Jateng ini belum dikenal seperti sekarang. Juga bisa dilihat bagaimana kuatnya srada ke Hinduan sesepuh di Mutihan tetap bertahan di suatu tempat Pemujaan ditengah-tengah umat beragama lainnya. Sekarang dengan kedatangan orang Bali Pura ini dikembangkan dan dikenal dengan Pura Indraprasta. Romo Maming juga sangat besar jasanya, dimana dengan tangan sendiri beliau membangun tempat pemujaan sehingga sering berminggu-minggu berada disuatu tempat. Bangunan yang dihasilkan sudah tentu bukan Padmasana atau Meru, tetapi apakah salah ? rasanya karena didasari ketulusan hati walaupun itu berupa seonggok batu yang disakralisasi (Pratista) tetap merupakan sarana yang baik untuk menghubungkan diri kepada sang pencipta. Bagaimana dengan Candi di Karanganyar yang merupakan peninggalan sejarah ?. Candi Ceto dan Candi Sukuh walaupun Dikelola Dinas Purbakala tetap bisa menjadi tempat Pemujaan umat Hindu. Seperti misalnya Candi Ceto, Candi ini sering dijadikan acara umat Hindu dengan tradisi Jawa berupa Mondosio (Medangsia). Candi Ceto dan Candi Sukuh juga sering dikunjungi umat Hindu dari Bali. Yang agak lain adalah keberadaan Patung Dewi Saraswati hasil kerjasama Pemda Karanganyar dengan Pemda Gianyar Bali. Nuansa Pariwisatanya sangat kental karena Publikasi gencarnya dari Dinas Pariwisata Karanganyar. Patung ini berada diatas sebelah kanan Candi Ceto. Yang menjadi pertanyaan adalah Meru Tumpang Tiga (Susun Tiga) yang tepat berada disebelah Patung tersebut yang merupakan peninggalan asli tidak ikut dipublikasikan atau kenapa bukan peninggalan asli yang dikembangkan. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Tempat ini hakekatnya memang Pura Kawitan karena terdapat Petilasan Trah Pasek juga Pemujaan leluhur Pasek (Sapta Pandita) tetapi tempat ini juga adalah Pura umum, sehingga umat Hindu suku Jawa juga umat Hindu asal Bali yang bersedia, bahkan umat non Hindu banyak yang datang bersembahyang ke Petilasan ini. Tempat ini juga sering dipakai untuk event-event seperti : Pemilihan Pengurus PHDI Karanganyar, Peradah Karanganyar, dan Tirta Yatra Mahasiswa Hindu Jogja sekitarnya dari berbagai Soroh (clan). Bagaimana dengan Kabupaten Sragen ?. Umat Hindu asal suku Jawa cukup banyak disini. Yang menjadi sentranya adalah Pura Jagadpati Masaran. Tokoh disini adalah Ketut Ardana , seorang Polisi yang mertuanya tokoh Hindu asal suku Jawa disana. Semangat juang umat Hindu disini pantas dijadikan contoh. Dengan kepiawaian dan keberanian Ketut Ardana juga perjuangan gigih tokoh dan umat lainnya dari suku Jawa, telah menggugah umat Hindu lainnya untuk terlibat, melalui sumbangan dana atau bantuan lainnya. Sekarang sudah berdiri Pura yang cukup megah untuk ukuran Pura di pedesaan, walau belum sesuai harapan karena saat ini masih sedang membangun sarana fisik lainnya dan perlu dukungan para dermawan. Event-event penting juga sering dilakukan di Pura ini seperti : Lokasaba Peradah, bahkan saat Ngenteg Linggih Pura Jagadpati, sempat mengundang PHDI Pusat : Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa dan Adi Suripto. Kedepan Pura Jadadpati bisa menjadi motor pengembangan umat Hindu di Sragen dan sekitarnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah Pura di Kec. Sumberlawang, seperti Pura Jowongso. Pura ini sudah semakin sepi umat kalau tidak mau dikatakan ditinggalkan umat, karena banyak umatnya yang sudah beralih dari Agama Hindu, sehingga sangat diperlukan keterlibatan umat Hindu yang peduli atau Lembaganya. Umat Hindu di wilayah ini juga di Karanganyar dan sekitarnya memang membutuhkan tempat sembahyang (Pura) tetapi disamping itu mereka juga perlu didorong peningkatan Srada, sehingga umat Hindu secara pribadi atau lembaga digugah untuk mau terjun ke kantong-kantong Hindu ini. Bagi yang punya dana sumbangkan untuk pembangunan fisik, bagi yang punya buku-buku Hindu salurkanlah, bagi yang punya kemampuan pengetahuan Hindu lakukan Jnana Punia.

Pura di wilayah Surakarta adalah Pura masa depan, kenapa demikian ? Pura disini yang sering menjadi tempat persembahyangan kebanyakan umat Hindu dari Bali, jumlahnya cukup banyak dibandingkan dengan jumlah umatnya. Pura tersebut adalah Pura Bhuana Agung Saraswati, Pura Indraprasta dan Pura Bhirawa Dharma. Pura ini di ampu (di-empon) oleh tiga Banjar , yaitu Solo Timur, Solo Tengah, dan Solo Barat, jumlah umatnya hanya sekitar 75 KK, sangat jauh bedanya dengan Pura Tirta Bhuana di Bekasi misalnya yang di-ampu oleh belasan Tempek. Umat di Surakarta harus pandai-pandai mengatur diri sehingga sepertinya umat terpecah padahal tidak, itu hanya agar masing-masing Pura yang ada tetap hidup dalam artian ada umat bersembahyang. Mungkin beberapa generasi lagi baru bisa sepadan antara jumlah umat dengan Pura yang ada. Yang lain adalah Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta. Keberadaan Pura ini adalah berkat perjuangan Harjanto almarhum. Tempat ini lebih banyak dijadikan tempat berlatih Yoga (Raja Yoga) disamping untuk bersembahyang, sekarang ini sudah ada tempat berlatih lain didaerah Bekonang Sukoharjo yang banyak diikuti umat dari Manca Negara.

Menyatukan umat walau dalam satu payung Agama Hindu, tetapi karena berasal dari dua suku yang berbeda (Jawa dan Bali), maka tentu akan ada interaksi yang perlu dijalani dengan kearifan. Seperti Pura dengan ornamen Bali dengan Pelinggih yang biasa dipergunakan di Bali (Padmasana dan Meru) jangan menjadi hambatan, kedepan boleh saja kita gali sama-sama peninggalan leluhur mengenai bentuk bangunan yang bernuansa Hindu dengan local genius (kearifan lokal/setempat). Juga jangan terus berada pada tataran Banten (Upakara) dengan dikotomi ”Banten Jawa dan Banten Bali” masuklah ke tataran Tattwa, karena banten itu intinya adalah wujud bhakti kita pada Hyang Widhi jadi saripatinya adalah „Ketulusan“ bukan bentuk fisiknya. Jika menoleh kebelakang bukankah leluhur orang Bali yang berasal dari Jawa membawa agama Hindu ke Bali tentunya dengan sarana persembahyangan berupa Banten ? selanjutnya banten ini berkembang sesuai dengan seni budayanya orang Bali, maka setelah dibawa kembali ke Jawa sudah tidak dikenal lagi oleh umat Jawa. Walaupun demikian perlu digugah umat Hindu asal Jawa yang menekuni seni budaya agar menggali persembahyangan seperti : Mondosio, Dukutan, termasuk sarana seperti tempe bosok dan rokok klintingan dan lainnya untuk didokumentaskan, lalu dicarikan dasar Wedanya (tattwa) kepada Sulinggih, sehingga menjadi jelas dan benar apa yang kita lakukan. Akhirnya melalui tulisan ini semoga umat Hindu atau umat pada umumnya yang peduli bersedia datang melakukan Tirta Yatra ke Karanganyar dan sekitarnya dengan tulus iklas tanpa pamrih dan tanpa motif-motif tertentu, seperti disebutkan dalam ”Sarasamuccaya Sloka 279 : sada daridrairapi hi sakyam praptum naradhipa, tirthabhigamanam pun-yam yajnerapi visisyate (artinya : Sebab keutamaan Tirtayatra itu amat suci, lebih utama daripada pensucian dengan yadnya; Tirthayatra dapat dilakukan oleh si miskin)


Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Jaten- Karanganyar, Solo
Jawa Tengah
14-04-2006
PIODALAN PURA PEMACEKAN dan LAHIRNYA ”REOG SINGO PASEK”
DI KARANGPANDAN-KARANGANYAR-JAWA TENGAH

Piodalan ”Pura Pemacekan” atau ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita” dilaksanakan pada Purnama Katiga (setiap setahun sekali) kali ini jatuh pada 4 September 2009. Piodalan ini adalah yang kelima kalinya sejak Pura ini memiliki Pengempon dibawah struktur MGPSSR Pusat periode Februari 2005-Februari 2010, artinya ini Piodalan terakhir bagi Pengempon pertama ini. Tanggung jawab bebantenan kali ini oleh MGPSSR Kab.Buleleng dengan komandannya Nengah Gelgel dan Agung Wiradnyana (Mang Jung). Pengempon di Jawa (Karanganyar&Solo) menjadi Panitia dan mempersiapkan bebantenan sederhana, seperti : Pejati, dan Banten Penganyaran (harian). Seperti biasa Panitia terdiri dari umat Hindu pratisentana Pasek, non Pasek, umat Hindu suku Jawa dan yang paling penting melibatkan umat disekitar Pura yang berbeda agama, dengan menyerahkan Parkir kepada Karang Taruna, penginapan, dan membuka warung makan/minum pada ibu-ibu. Sehubungan dengan telah dibangunnya Beji (Taman) yang telah di Plaspas pada Jumat Legi, 3 April 2009 di puput oleh Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda yang merupakan penglingsir Pura setelah Nabe beliau Ida Pandita Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran Lebar (meninggal), maka prosesi sedikit ada perubahan. Diawali dengan ”Mendak Tirta ke Candi Ceto” sore hari 2 September 2009 sekitar jam 16 oleh Pemangku Pura, acara ini dulu dilakukan sehari sebelum puncak piodalan. Pada pagi hari 3 September 2009 Panitia dari Singaraja sudah hadir 30 orang dengan 7 mobil, juga rombongan Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda karena sore harinya sekitar jam 16 dilakukan persembahyangan di Beji dipimpin beliau. Persembahyangan Beji yang baru pertama kali ini, berjalan dengan lancar, pada malam harinya sekitar jam 19 seperti biasa warga Pasekan sekitar melakukan persembahan sesaji Jawa berkolaborasi dengan pemangku Pura dan Pengempon. Puncak acara Piodalan pada 4 September 2009, dimulai sekitar pukul 07 dengan Puja dipimpin oleh empat Sulinggih dari Singaraja dan satu Bhawati putra kandung Pandita Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran (Almarhum). Pandita tersebut, yaitu : Ida Pandita Mpu Kerta Warsa Nawa Putra-Griya Baleagung, Ida Pandita Mpu Dwija Witaraga Saniyasa-Griya Kekeran, Ida Pandita Mpu Dharma Wijaya Kusuma, Griya Petak, dan Ida Pandita Mpu Kerta Wijaya Saniyasa, Griya Tinggarsari-Busungbiu. Prosesi dengan Banten yang sederhana diaturkan dengan baik oleh Pemangku, sarati Banten, dan mengajak umat Jawa ikut terlibat semuanya dibawah komando Pandita Mpu. Ditengah prosesi piodalan dipersembahkan Tari Rejang Dewa oleh empat anak putri Pengempon serta persembahan ibu-ibu panitia dari Singaraja. Setelah Puja Piodalan selesai, dilanjutkan dengan Puja Tri Sandhya dan Kramaning sembah, terakhir Nunas Wangsuhpada (Tirta). Sebelum bubar disampaikan sambutan : Ketua Panitia-Ketut Landra dan Ketua Pengempon-Nyoman Nasa, Ketua MGPSSR Kab.Buleleng Nengah Gelgel, dan darmawacana oleh Ketua PHDI Buleleng Wilasa yang oleh pembawa acara umat Hindu Jawa Sugito, dipanggil Bopo Wiloso telah menimbulkan gelak tawa dari pendengar. Acara berjalan dengan lancar dan umat tahun ini juga membludak meliputi : umat Hindu suku Bali dari Karanganyar/Solo sekitar dan umat Hindu Jawa sekitar seperti : Ngargoyoso, Kemuning, Jenawi, Masaran (Sragen), dan umat dari Bali (hampir seluruh kabupaten) mencapai total lebih dari 300 orang, maka dilakukan persembahyangan sesi kedua. Mengingat perkembangan umat yang semakin banyak, maka kedepan perlu diatur lebih baik seperti mengurangi/meniadakan sambutan-sambutan. Sekitar pukul 12 acara Piodalan selesai dan umat kembali keasal masing-masing. Pada malam hari hadir Bupati Buleleng - Bagiada, istri, dan rombongan, bersembahyang dan sempat beramah-tamah dengan Pengempon, Panitia Singaraja, dan umat lainnya. Piodalan ini seperti biasa berlangsung (Nyejer) tiga hari dan Persembahyangan terakhir berupa ”Nyineb” dilakukan pada 7 September 2009 pagi sekitar jam 07 dipuput oleh : Ida Pandita Mpu Jaya Wasistha Nandha -Griya Ahmad Yani Denpasar dan Ida Pandita Mpu Dharma Mukti Sidha Kerti-Griya Tukadmungga Singaraja.

REOG ”SINGO PASEK”
Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan “sindiran” kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog. Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng Kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu. Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu kanuragan mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu kanuragan antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya .

Singo Pasek bukan Reog Ponorogo tetapi ”Kelompok Reog warga Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Desa/Kec.Karangpandan, Kab.Karanganyar”. Diawali oleh keinginan yang sudah sangat lama dari Ketua RW 15 Keprabon-Purwanto, Ketua RT 06 Pasekan-Tuji, sesepuh umat Mbah Wiryo (yang merawat Petilasan sejak tahun 1959) untuk memiliki sebuah kesenian Reog, dan mungkin karena kedekatan mereka dengan Eyang Putro Rsi Pitu (sebutan umat setempat kepada Kyayi I gusti Ageng Pemacekan) dan atas kehendak Yang Maha Kuasa, maka setelah melalui renungan yang dalam di Petilasan dan rembug warga, akhirnya pada 17 Agustus 2008 (setahun lalu) lahir ”Reog Singo Pasek’ yang beranggotakan warga Keprabon sekitar 70 orang, untuk pertama kali tampil pada Perayaan Kemerdekaan RI itu dengan perangkat menyewa. Nama Singo Pasek disamping karena berada di Dukuh Pasekan juga karena yang mereka hormati adalah Eyah Putro Rsi Pitu trah Pasek. Reog Singo Pasek ini seperti memperlihatkan kepada kita, bahwa pancaran Aura Eyang yang distanakan sudah mulai terlihat lewat keberadaan Reog Singo Pasek ini. Awal berdiri tentu tidak mudah, karena saat ini yang dimiliki oleh para anggota Reog ini hanya modal semangat dan keyakinan saja, masalah dana belum siap. Untuk memenuhi Kelompok Seni Reog yang ideal maka perlu Gamelan dan perangkat lainnya, dimana untuk gamelan saja membutuhkan dana sekitar Rp. 3 juta, sedangkan untuk lengkapnya perlu dana Rp. 17 juta, namun untuk awal gamelan saja sudah cukup demikian disampaikan oleh Ketua RT 06 Pasekan, perlengkapan lainnya bisa dengan menyewa dulu. Mereka berharap pada Piodalan tahun depan sudah bisa mengisi kegiatan Piodalan Pura Pemacekan. Untuk itu perlu sekali bantuan dari para umat yang simpati terhadap kesenian Reog ini , untuk ikut membantu agar bisa terwujud cita-cita para tokoh di Pasekan/Keprabon ini dengan bantuan dana atau langsung menyumbangkan peralatan yang diperlukan. Semoga lewat Reog ini, bisa menjadi ”Pemersatu” umat setempat dengan umat penyungsung/Pengempon Petilasan dan sekaligus sebagai bentuk bhakti kita pada Bhatara Kawitan atau kepada Eyang Putro Rsi Pitu.

Dilaporkan oleh,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 09-09-2009