Kamis, Desember 16, 2010

LELUHUR dan SOROH


”Leluhur & Soroh” saat ini menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat Hindu etnis bali, hanya masalah soroh/clan ini baru dikenal belakangan dan kebanyakan setelah kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangan berikutnya keleluhuran & ikatan Soroh menjadi sedikit kabur sehingga perlu dipisahkan makna masing-masing dengan jelas, dan apakah memang dibenarkan ajaran Weda.

Leluhur atau lebih jauh disebut Kawitan (wit/asal) merupakan asal-usul keberadaan kita sekarang ini. Ajaran Hindu Tri Rnam, Catur Guru, dan lainnya menegaskan pentingnya bhakti pada leluhur bagi para damuh atau para pratisentana (para keturunan), jadi sebagai umat Hindu yang baik, maka bhakti pada leluhur adalah paramo dharmah (dharma yang utama).

”Soroh atau Clan“ merupakan ikatan persaudaraan dalam satu wit/asal leluhur yang sama dimana tujuan utamanya adalah terbina kekerabatan yang baik sebagai wujud bhakti pada leluhur sekaligus terbinanya kebersamaan para pratisentana/damuh untuk memelihara parhyangan Bhatara Kawitan, jadi prinsif dasarnya sangat mulia dan memenuhi ajaran Bhakti. Studi mengenai gerakan kewargaan di Bali menunjukkan hingga tahun 2010 ada lebih dari 32 organisasi kewargaan di Bali, dari jumlah tersebut, malah ada yang sudah terbentuk sebelum Indonesia merdeka yaitu Keluarga Besar Bhujangga Waisnawa yang terbangun tahun 1930 direorganisasi tahun 1951 dan 1982. Tahun 1950 berdiri organisasi warga Arya Kenceng Tegeh Kori, tahun 1962 terbentuk ikatan kewargaan Keluarga Besar Arya Kepakisan Dauh Baleagung. Sementara itu Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) sebagai pasemetonan warga Pasek warih Mpu Gnijaya dibentuk pada 17 April 1952. Adapun Maha Gotra Sentanan Dalem Tarukan berdiri tahun 1980. Maha Kerthawarga Danghyang Bang Manik Angkeran Siddhimantra (MKDBMAS) berdiri 1 Juli 2000 berkeinginan mempersatukan keturunan Manik Angkeran yakni: Ida Bang Banyak Wide yang menurunkan Arya Wang Bang Pinatih; Ida Bang Tulus Dewa menurunkan Arya Wang Bang Sidemen; Ida Bang Wayabiya menurunkan Arya Wang Bang Wayabiya; dan Sira Agra Manik merupakan leluhur Sira Agra Manikan, dan masih banyak ikatan soroh/clan lainnya. Eksistensi ikatan soroh ini perlu dipelihara dengan baik, layaknya memelihara bunga yang berwarna-warni di taman, sehingga sejatinya adalah keindahan, bukan sesuatu yang patut dipertentangkan. Kebesaran leluhur satu soroh/clan di masa lalu hendaknya jangan hanya diagung-agungkan tetapi mampu meniru, patitis atau bersuluh pada nama besar kawitan-nya, menjaga dan mempertahankan nama besarnya, jangan justru merusak citra para leluhurnya. Belakangan hal Soroh ini menjadi kekhawatiran banyak fihak karena khawatir umat di Bali akan terpecah-pecah, walaupun ada juga yang khawatir tersaingi (Superioritas soroh). Kekhawatiran ini bisa jadi akibat ulah dari person warga yang tidak memahami jati diri ikatan soroh ini. Ikatan Soroh yang masih mencari bentuk ini juga menjadi terganggu atas ulah dari pratisentana yang sibuk mencari jati diri leluhurnya dari sisi babad bahkan menjadikannya kebenaran serta mendebatkan dengan babad yang diyakini soroh lainnya. Babad merupakan sumber informasi keleluhuran dimana bagi sebagian orang dianggap tidak akurat karena tidak memiliki bukti otentik seperti angka tahun dan bukti sejarah lainnya, bahkan ada yang dengan begitu semangat mempublikasikan perbedaan versi babad yang diketahuinya sehingga cendrung kearah perdebatan yang tidak sehat, seperti : kekakuan akan hakekat Mpu Kuturan yang satu mengatakan ada dijaman Udayana Warmadewa (sekitar tahun 1000) yang lain mengatakan bukan dijaman itu, padahal kedua fihak itu tidak ada satupun yang pernah bertemu Mpu kuturan, jadi ibarat “memperebutkan balung/tulang tanpe isi”. Jika dihayati, pengenalan Babad adalah sebagai bentuk bhakti pada leluhur, jika kita tidak kenal leluhur kita maka sebut saja “Bhatara Kawitan” karena ajaran Hindu mewajibkan kita bhakti pada leluhur. Babad yang beredar sekarang ini sesungguhnya bersumber dari Mrajan, pedukuhan, yang ada di bali lalu dipertemukan, maka dijadikan lebih moderen dan mudah dimengerti, sekali lagi ini hanya untuk mengenal leluhur dan meniru sesana yang baik dari mereka. Hal akurasi katakanlah misalnya Babad itu hanya dongeng saja, maka orang tua kita sering men-dongeng untuk mengajarkan anaknya etika yang baik. Babad yang beredar sekarang ini sebenarnya ada bukti otentiknya dan peninggalan-peninggalan serta sudah diyakini oleh sebagian besar masyarakat bali dari berbagai soroh jadi tidak perlu lagi diluruskan karena kita sama-sama tidak tahu masa lalu, ”yang perlu diluruskan adalah yang belum bhakti pada leluhurnya”. Jika karena senang mempelajari Leluhur lewat dunia babad, usana (usana Jawa & Bali), atau sumber lainnya, maka jadikanlah itu hanya menggali pengetahuan saja, tidak bisa dipaksakan kepada fihak lain untuk juga mengakuinya. Memperdebatkan Babad hanya akan berhenti pada alam pikiran dan mengakibatkan munculnya ketidak puasan bahkan kebencian, walaupun dengan dalih niskala kemudian kita berusaha meyakinkan fihak lain itu tidak ubahnya pedagang obat berpromosi agar obatnya laku. Masalah keyakinan kepada leluhur (wit/asal) adalah bersifat batin atau rasa, tidak harus kita tahu nama kawitan (Mpu.., Sri .., I Gusti .., dll) baru kita tumbuh bhakti pada kawitan, jika kita percaya yang disebut dalam babad, lontar, adalah nama beliau maka silahkan pakai itu sebagai sebutan leluhur kita, jika tidak tahu sekali lagi sebut saja ”Bhatara Kawitan” toh nama-nama leluhur tidak kita dengar langsung seperti familiarnya kita menyebut nama ayah dan ibu kita. Sudah pasti usaha-usaha mengangkat keberadaan leluhur dengan memperdebatkan Babad, lontar, yang bersifat pengetahuan hanya berbobot dari sudut pikiran namun miskin dari segi nurani jika kita tidak mendalami bhakti yang sesungguhnya . Jika kita merupakan pratisentana yang baik maka nama itu sudah bukan masalah lagi yang dipentingkan bhakti kita. Seperti di jawa, umat Hindu ataupun yang bukan Hindu biasa menghormati tetua/sesepuh desa sebagai cikal-bakal, wit, bahkan danghyang. Mereka tidak perlu membentuk ikatan soroh/clan untuk menunjukkan bhakti pada leluhur, mengingat banyak dari mereka yang memahami, bahwa manusia yang sudah meninggal sudah menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi, sudah amor ring achintya, sesungguhnya sudah bukan personifikasi lagi. Jadi mari kita tingkatkan bhakti kita pada leluhur sesuai ajaran Hindu walaupun kita tidak berada didalam lingkup soroh apapun, karena kita adalah ”Soroh Brahman” sebagai sumber mahluk hidup termasuk sarwa tumuwuh (binatang) dan sarwa prani (tumbuhan).


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 08-12-2010
TRADISI SURO - DI MERIAHKAN REOG SINGO PASEK

Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, yang lebih dikenal dengan ”Pura Pemacekan” keberadaannya dilingkungan masyarakat yang bukan etnis Bali dan sebagian besar (99%) bukan umat Hindu, namun mereka juga adalah umat yang sejak dulu menjaga bahkan melakukan ritual di Petilasan, sehingga ada ikatan emosional dan psychologis dengan Eyang Putro Rsi Pitu (sebutan mereka). Hal ini merupakan situasi yang tidak mudah bagi umat Hindu khususnya Pengempon dari sisi komunikasi, dimana hubungan yang baik agar bisa tetap terjaga. Setiap piodalan masyarakat di dukuh Pasekan selalu diikutkan dalam kegiatan kerja-bhakti, juga parkir, dan jualan makanan/minuman, sehingga mereka merasakan manfaat dari keberadaan petilasan.

Dalam rangkaian bulan Suro, bagi umat Jawa tradisionil (yang masih melakukan tradisi) mereka melakukan ’Tradisi Suran/ Wilujeng Suro” yaitu peringatan tahun baru Jawa (Saka Jawa) yang tidak berani dilanggar untuk tidak dilakukan. Guna ”Memetri/memperingati” tradisi leluhur yang sudah berlangsung turun temurun itu, maka RW 05 Dusun Keprabon, Desa/Kec Karangpandan, Karanganyar (Jateng), yang terdiri dari tiga RT atau tiga Dukuh, yaitu : Dukuh Ngledok RT 05/05, Dukuh Pasekan RT 06/05, dan Dukuh Perumahan Rakyat RT 07/05, kembali melaksanakan ”Wilujeng Suro” pada Kamis Malam, 09 Desember 2010. Acara seperti ini dilaksanakan setiap tahun oleh RW 5 Dusun Keprabon, dan bagi Pengempon ini adalah keterlibatan yang kesekian kali sejak pertama pada Januari 2007 dan merupakan pertama bagi Pengempon Generasi kedua yang baru dibentuk Februari 2010. Nuansa Budaya Jawa sangat kental terlihat pada acara ini sehingga walau umat ini hampir 99% beragama Islam tetapi mereka sangat mencintai budaya leluhurnya melalui acara Wilujeng Suro yang mempunyai makna spiritual yang adiluhung. Wilujeng Suro dimaksudkan untuk menghilangkan sifat Asura (Raksasa) dan membangkitkan Sura (Suci) sehingga Bulan Suro dimaksudkan juga sebagai ”Bulan Kebangkitan Kesucian Diri”, yang pada intinya menyongsong kebaikan dan membuang sifat-sifat buruk. Wilujeng Suro memang kental dengan tradisi Jawa, baik dari segi sarana upacara maupun bentuk penghormatan lainnya. Dilakukan pada Kamis malam karena dianggap hari yang baik dan yang penting sebelum tanggal 10 kalender Jawa tahun ini. Dilaksanakan persembahan di Petilasan karena mereka menganggap Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang disebut mereka dengan ”Eyang Putro Rsi Pitu” adalah Cikal Bakal atau Danghyang yang sangat dihormati. Bagi Pengempon karena ikatan batin penduduk setempat sudah sejak lama ada sementara pratisentana Bhatara kawitan menemukan beliau belakangan, maka sepantasnya mendukung umat yang menjalankan bakti ini.
(Keberadaan Petilasan ini memang diawali oleh Pewisik yang diterima oleh Jro Mangku Gde Ketut Subandi ketika beliau masih bertugas di Kepolisian sekitar tahun 70-an, yang ikut melacak kemudian adalah : Kanjeng Sanjoto dari Puri Mangkunegaran dan Brigjen Giyanto dengan diantar oleh Suaji dari Dukuh Gondang Gentong, Ds.Nigasan, kec.Karangpandan pada tahun 1973. Selanjutnya pada 9 Maret 1984 Jro Mangku Gde Ketut Subandi memperoleh petunjuk lebih jelas ketika beliau di Puri Mangkunegaran agar datang 31 km kearah Tawangmangu, maka bertemulah Pratisentana Bhatara Kawitan dengan Leluhurnya pada 10 Maret 1984 tersebut. Banyak terlibat semeton dari Bali dan Solo/Karanganyar lainnya, juga para Mpu seperti Sinuhun Bongkasa, Mpu Dwi Tantra, khususnya Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran dengan cucunya Mpu Daksa Jaya Dhyana (Nusa Penida) , yang banyak perannya sampai berdiri Pura yang cukup megah ini. Pemugaran sederhana pada 1986, peresmian (Pitra Yadnya) 9 Nopember 1990. Tahun 1998-1999 persiapan & pembangunan sederhana, dan Fase 2000-2002 pembangunan besar dengan tambahan Pelinggih baru : Meru tumpang Pitu, Piasan, Padmasana, Sapta Pertala, bale pawedan, candi gelung, candi bentar, bale banjar dan terakhir Bale kulkul. Peresmian dengan Penanda tanganan Prasasti pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) oleh Sinuhun Paku Bhuwono XII dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Berikutnya di era Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda dibangun Beji yang diplaspas Jum’at legi, 3 April 2009. Pasraman Pandita merupakan pembangunan selanjutnya dengan pondasi awal pada 29 Juli 2010, saat ini bangunan berlantai II sudah berdiri walau belum selesai (Finishing) karena keterbatasan dana. Pengempon generasi I berakhir pada 11 Februari 2010 masa bhakti 5 tahun, dilanjutkan generasi II sejak 11 Febr.2010 untuk 5 tahun).

Jalannya Prosesi Wilujeng Suro & Pentas Reog Singo Pasek
Rangkaian ”Prosesi Wilujeng Suro” ini sudah mulai dilaksanakan pada 07 Desember 2010 (tepat 1 suro) dengan tradisi ”Bersih Desa”. Acara puncak pada 09 Desember 2010 (Kamis Malam). Prosesi berjalan dengan tradisi Jawa. Sekitar Pukul 19 wib acara menghaturkan sesaji dipimpin oleh Mbah Wiryo Rejo salah seorang Tetua/sesepuh Dukuh Pasekan dan didampingi oleh Jero Mangku Nyoman Sukadana serta Pengempon dan umat lainnya dari Solo/Karanganyar sekitarnya, untuk ikut memohonkan kepada Eyang Putro Rsi Pitu. Setelah persembahan selesai dilanjutkan di Bale Banjar dimana hadir : Bayan,Ketua RT/RW, dan warga setempat, serta Ketua Pengempon Ketut Landra dan pengurus lainnya mengikuti acara Suran dengan khidmat. Acara puncak adalah dipentaskannya ”Reog Singo Pasek” untuk pertama kali. Sarana reog merupakan inisiatif warga dengan memungut iuran anggota, juga terbesar merupakan sumbangan dari umat warih Bhatara Kawitan khususnya dari Bali. Pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada warga setempat walaupun Reog tersebut sudah di prayascita waktu Piodalan Purnama ketiga tahun ini. Sadin Rahmad Kartolo dari Dadi Plaosan, Magetan Jatim adalah orang yang dengan dedikasi tinggi sejak bulan Agustus 2010 datang dari Magetan untuk melatih warga agar bisa tampil pada perayaan Suran ini. Beliau datang dan melatih bisa 3-4 kali seminggu hanya dengan diberikan uang transport, dan akhirnya bisa tampil pada perayaan Suran. Pementasan Reog dimulai dengan penyerahan ”Cemeti/Pecut” oleh wakil Pengempon Jero Mangku Nyoman Sukadana kepada pemeran ”Kelana Suwandono” dan selanjutnya reog dimulai dengan menampilkan : Jatilan (penari anak-anak dengan kuda lumping), Warok yang kekar dan berjenggot, Bujang Anom 2 penari yang kocak, dan terakhir Dadak Merak berujud kepala barong yang dihiasi dengan bulu merak sebanyak 2 dadak merak dimana salah satunya milik warga bertuliskan ”Singo Pasek” satu lagi dibawa dari tempat lain sebagai pendamping sehingga terlihat sangat gagah. Untuk ukuran latihan yang sangat singkat, maka penampilan Reog Singo Pasek ini boleh dikatakan sukses, dibuktikan para penari yang sangat bersemangat melakukan perannya, dan ini pasti karena kehebatan pelatihnya juga. Kedepan jika Reog Singo Pasek ini bisa tampil di bali, seperti : Pesta Kesenian Bali (PKB) atau event lainnya, maka akan semakin mempererat hubungan Jawa-bali dari sisi budaya leluhur yang adiluhung. Reog Singo Pasek – tetap Jaya demikian kalimat yang sering diucapkan termasuk ketika berakhirnya pementasan reog dan berakhir pula prosesi Suran warga Dukuh Keprabon, Karangpandan, karanganyar.



Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-12-2010.