Selasa, November 30, 2010

AGNIHOTRA DALAM NYALA SEBATANG DUPA

Mengamati fenomena semakin maraknya kegiatan Upacara Agnihotra (Homa Yadnya) dibeberapa tempat di Indonesia khususnya di Bali, maka pada suatu kesempatan menghadap seorang Pandita, penulis menanyakan apa sebenarnya makna hakiki dari Agnihotra ini. Pandita menjawab dengan singkat tetapi jelas, bahwa ”Ketika menghidupkan sebatang dupa untuk sembahyang maka itu adalah Agnihotra”. Penulis tercenung sejenak tetapi kemudian tersadar dengan suatu pemahaman yang terang benderang, bahwa Inti dari Yadnya Agnihotra adalah pemujaan kepada Dewa Agni dan dalam nyala sebatang dupa yang kita haturkan sesungguhnya kita sudah melakukan Agnihotra. Lalu kenapa sekarang ini masih muncul perdebatan seputar pelaksanaan Yadnya Agnihotra ini ? Itu karena kebiasaan kita hanya melihat pada kulitnya saja yaitu ritualnya tidak menyatukan diri pada makna utama dari yadnya ini yaitu persembahan kepada Dewa Agni. Jika dengan sebatang dupa kita sudah melaksanakan Agnihotra maka haruskah mengikuti Yadnya ini seperti yang biasa dilakukan di India ? Lalu apakah kita larang saudara kita dari India atau orang Bali yang belajar di India, untuk melaksanakan Yadnya Agnihotra ini ? Tentunya tidak !!, masalah sembahyang seperti halnya keyakinan beragama adalah masalah pribadi dan bersifat hak asasi yang tidak perlu dilarang, asalkan tidak mengganggu ketentraman orang lain. Untuk itu sebelum kita terlanjur menghakimi fihak lain salah atau benar, maka alangkah baiknya dipahami dulu apa itu Agnihotra.

AGNIHOTRA adalah upacara yadnya untuk memuja Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Agni, dan merupakan maha yadnya, multifungsi, efisien, serta effektif. Sumber-sumber upacara Agnihotra bisa dijumpai pada kitab-kitab Ithihasa, Purana (Kekawin Ramayana) dan beberapa upanisad seperti: Swetha Swatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan Sri Isopanisad. Didalam kitab suci Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, Atharwa Weda, puja-puja terhadap Dewa-Dewa sangat banyak tetapi yang dominan adalah puja-puja kepada Dewa Agni. Dewa Agni, dalam bentuk material api dalam kehidupan manusia memiliki tujuh fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai penerang
2. Sebagai pencuci dan pembasmi kekotoran
3. Sebagai pengusir roh jahat
4. Sebagai penghubung pemuja dan yang dipuja
5. Sebagai saksi upacara
6. Sebagai pendeta pemimpin upacara
7. Sebagai sumber kekuatan atau energi.

Atharwa Weda XXVIII.6, menyatakan : Yatra suharda, sukrtam Agnihotra hutam yatra lokah tam lokam yamniyabhisambhuva sano himsit purusram pasumsca. (Dimana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang mempersembahkan dan melaksanakan Agnihotra, disana majelis (pimpinan masyarakat) bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya.) Dengan demikian sesungguhnya Yadnya Agnihotra mempunyai landasan sastra yang jelas sehingga tidak perlu membuat kita ragu lagi. Yang perlu dibicarakan dengan bijaksana adalah aplikasinya dalam keseharian masyarakat khususnya di Bali yang sangat kuat adatnya jangan sampai umat pada tataran awam menjadi menolak Agnihotra ini hanya karena melihat ritualnya yang sangat berbeda dengan kebiasaan upacara yadnya di Bali (Ke-Indiaan). Penolakan ini tidak hanya pada tataran masyarakat awam tetapi ada juga Pandita yang tidak sependapat walaupun tidak prontal seperti dengan tidak mengijinkan dilaksanakan di utama mandala (Jeroan Pura). Berbicara sebuah ritual sebenarnya juga berbicara masalah adat dimana adat ini adalah kebiasaan masyarakat dan bersifat tidak kekal (dinamis) sehingga mau tidak mau akan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Walaupun demikian memadukan adat yang berbeda (India dan Indonesia/Bali) seperti dalam aplikasi Yadnya Agnihotra dengan tradisi India yang dilaksanakan di Bali, maka perlu kesadaran, bahwa hal itu akan dapat menimbulkan pertentangan, maka tindakan yang bijak adalah tidak ekstreem dengan serta merta (100%) membawa tata cara India ke Bali tetapi yang terbaik adalah menyesuaikan dengan local genius tanpa menghilangkan maknanya. Ada “Hotri” (pemimpin Yadnya Agnihotra) yang sudah dapat melakukannya dengan baik sehingga saat mengikuti Agnihotra, maka perpaduan India dan Bali sangat baik sehingga hampir menyerupai Puja Stawa Pemangku tetapi tetap terasa bedanya. Disisi lain ada yang menurut penulis tidak berhasil menyatukan hal ini khususnya adaptasi nyanyian-nyayian daerah seperti “Janger” yang sangat tidak cocok dengan kekhusukan yadnya. Hal lain adalah cara duduk apakah harus melingkar khususnya ketika dilaksanakan didalam Pura, karena kebiasaan kita di Bali (Indonesia) adalah menghadap ke Pelinggih sehingga tidak membelakangi Pelinggih. Juga kebiasaan menghadap ke Matahari atau gunung. Lalu sarana yadnya, apakah tidak bisa dari lokal karena kita dididik oleh leluhur untuk mengambil sarana sembahyang dari lingkungan kita, seperti kita dibiasakan untuk menanam kembang, pohon janur, dll yang nantinya akan kita persembahkan kembali kepada Hyang Widhi, nah kalau untuk Agnihotra kemudian kita harus import bahan-bahan dari India apakah hal itu benar ? dan banyak hal yang akan berbeda penafsiran bagi setiap orang, bagi setiap kepala.

Jika demikian, berpalinglah sejenak pada “sebatang dupa” karena didalamnya memancar kekuatan Dewa Agni dalam tujuh bentuk yang agung salah satunya sebagai “Penerang” semoga dalam nyala sebatang dupa kita lebih memahami hakekat Agnihotra yang sejati dan tidak memperdebatkan bhakti kepada Beliau ini hanya karena ritualnya berbeda, caranya berbeda, bahannya berbeda, tetapi menyatukan diri dalam sebuah BHAKTI apapun bentuknya.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
AJARAN CATUR WARNA DAN APLIKASINYA DI BALI


Catur Warna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas „guna“ dan „karma“ dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa. Sumber-sumber ajaran Catur Warna diantaranya :

Mantra Yajur Weda XXX.11. dinyatakan :
Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatria dari lengan Brahman, Vaisya dari perut-Nya, dan Sudra dari kaki Brahman. Jadi semua warna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Mantra Yajur Weda XVIII.48.. dinyatakan :
Untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya, dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat warna ini akan mulia kalau sudah mentaati swadarmanya masing-masing.


Bhagawadgita IV.13 dan XVIII.41
Varna seseorang didadasarkan pada guna dan karmanya.Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadi yang menentukan Varna seseorang adalah profesinya bukan berdasarkan keturunannya.Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan.

Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55.
Hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya, dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dwijati (Pandita) Sudra tidak diperkenankan menjadi Dwijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan.

Yajur Weda XXV.2
Varna seseorang tidak dilihat dari keturunannya, misalnya ke-Brahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya .

Kitab Mahabharata XII.CCCXII.108
Ke Dwijatian seseorang tidak ditentukan oleh ke-wangsaannya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaannya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.

Jika digali lebih jauh kitab suci agama Hindu yang menjadi pegangan bagi umat, maka akan banyak ditemui penjelasan-penjelasan tentang Catur Warna ini yang intinya sama, bahwa “Warna seseorang disesuaikan dengan Profesinya”.


Selanjutnya bagaimana Aplikasi ajaran Catur Warna ini di Bali yang merupakan basis bagi perkembangan agama Hindu di Nusantara, apakah sudah dijalankan sesuai dengan yang digariskan dalam kitab suci? Untuk mengetahui hal itu mari kita mundur dahulu ke-beberapa ratus tahun yang lalu pada saat masa leuhur-leluhur orang Bali hidup dan berinteraksi dalam kehidupan masyarakat.

Kita mulai saja sekitar abad XI. Dimana masa itu Bali dipimpin oleh suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang berkuasa di Bali dari tahun saka 910 sampai dengan 933 (tahun 988 – 1011 Masehi). Sri Gunaprya Darmapatni adalah putri dari Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa Raja Daha-Jawa Timur. Sebelum dipersunting oleh Udayana Warmadewa bernama Mahendradatta, sedangkan kakaknya Sri Kameswara menggantikan ayahnya menjadi Raja Daha.. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula dan Bali Aga. Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Kedatangan mereka ke Bali tidak bersamaan tetapi secara bertahap dimulai oleh :


1. Mpu Semeru (Mpu Mahameru)

Pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliu mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Pasek Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Bekas parahyangan Mpu Semeru sekarang sudah berdiri sebuah Pura diberi nama Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).


2. Mpu Ghana

Penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara keturunan beberapa tingkat dari Mpu Withadarma ( Mpu Withadarma adalah yang ketiga dari Sapta Resi)/Sapta Pandita leluhur Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi), Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande). Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danhyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga. ( Mengenai Danghyang Nirartha akan dijelaskan kemudian yang sangat terkait dengan aplikasi Ajaran Catur Warna di Bali.).


3. Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha

Pemeluk agama Budha Mahayana, tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon, wara pahang, tahun saka 923 (tahun 1001 Masehi). Beliau berparhyangan di Padang. Beliau hidup sewala brahmacari (selama hidup kawin hanya sekali dan berpisah dengan istrinya yang tetap di Jawa yang dikenal dengan Rangda/janda dari Girah penganut ilmu hitam) Beliau mempunyai seorang putri Dyah Ratna Menggali yang kemudian kawin dengan Mpu Bahula putra dari Mpu Bharadah, jadi masih sepupu. Ditempat Parahyangan Mpu Kuturan telah berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Silayukti yang artinya tempat Mpu Kuturan mengajarkan kebenaran. Mpu Kuturan adalah ahli ilmu pemerintahan/tata Negara dan ahli strategi, dan atas keahliannya berhasil mengadakan pertemuan tiga aliran terbesar dari enam sekte yang hidup di Bali yang sebelumnya selalu bertentangan, tempat pertemuannya sekarang disebut Samuan-Tiga yang dulu bermakna Pertemuan tiga sekte terbesar. Beliau juga menciptakan Pelinggih (Bangunan suci) tempat memuja Brahmana, Wisnu, Siwa, yang disebut : Kemulan/ Rong Tiga sehingga aliran yang berbeda-beda itu memuja melalui satu tempat yang sama, yaitu Rong Tiga, sehingga damailah masyarakat waktu itu. Pada masa Mpu Kuturan ini juga banyak dibangun Pura-Pura seperti : Uluwatu, dll, yang pada masa Danghyang Nirartha dan sesudahnya terjadi kekeliruan dengan menganggap itu adalah tempat Pemujaan Danghyang Nirartha oleh keturunannya. Kesalahan serupa ini banyak terjadi pada Pura-Pura lainnya.


4. Mpu Gnijaya

Pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada pada hari kamis kliwon, wara dungulan, sasih kedasa, tahun saka 971 (tahun 1049 Masehi). Beliau berparhyangan di Bisbis (Gunung Lempuyang), sekarang tempat parahyangan beliau telah berdiri sebuah Pura yang bernama “Pura Lempuyangan Madya”. Mpu Gnijaya dari perkawinannya dengan Dewi Manik Geni, selanjutnya menurunkan : Sapta (Tujuh) Pandita yang tidak menetap di Bali tetapi di Kuntuliku Desa, Jawa Timur, walaupun mereka sering ke Bali memuja leluhurnya. Sapta Pandita ini kemudian menurunkan : Warga Pasek di Bali (Pasek, Bendesa, Tangkas) yang jumlahnya sangat besar. Ketujuh Mpu tersebut adalah :

a. Mpu Ketek : Keturunannya dikenal dengan sebutan Pasek Toh Jiwa, termasuk disini adalah “Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan” yang petilsasnnya ada di Karangpandan, Karanganyar, Solo, Jateng. Keturunan Mpu Ketek yang bernama “Kyayi Agung Pasek Subadra” dan Kyayi Pasek Toh Jiwa” berperan besar pada jaman Samplangan, yaitu pada awal Gelgel. Putra Kyayi Pasek Toh Jiwa, yaitu Pasek Toh Jiwa menjadi Tabeng Wijeng Kerajaan Gelgel, sedangkan Putra Kyayi Agung Pasek Subadra. Yaitu : Pasek Subadra menjadi Pandita dengan gelar “Dukuh Suladri”. Keturunan-keturunan Dukuh Suladri ada yang diambil oleh : Sri Angga Tirta Ksatrya Tirta Arum, Dalem Dimadya, dan ada juga oleh Anglurah Pinatih (leluhur Warga Wang Bang Pinatih)
b. Mpu Kananda : salah seorang keturunannya adalah Ki Dukuh Sorga yang kemudian menurunkan Pemangku Kul Putih di Bali. Materi kepemangkuan Kul Putih ini banyak menjadi pegangan para Pemangku.
c. Mpu Wiradnyana : Mpu Wiradnyana berputra Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha, berasrama di Hutan Tumapel. Beliau berputra : Mpu Purwa dan Ken Dedes. Mpu Purwanatha pernah menghukum rakyat desa Panawijen karena tidak jujur mengenai putrinya Ken Dedes yang diculik oleh Tunggul Ametung dengan keringnya sumur desa, walaupun akhirnya diampuni. Ken dedes selanjutnya menurunkan Raja-Raja di Tanah Jawa, seperti : Paku Bhuwono, Mangku Negaran, Hamengku Bhuwono, Paku Alam, dll. Mpu Purwa keturunannya di Bali dikenal dengan “Pasek Tatar”, termasuk disini adalah Ibunda Presiden Sukarno, Nyoman Rai Srimben.
d. Mpu Witadharma : keturunan Mpu Witadharma terbanyak dibanding saudaranya yang lain, yang di Bali dikenal dengan sebutan : Pasek Gelgel, Pasek Bendesa, Pasek Bendesa Mas, dan Pasek Tangkas Kori Agung (lain Ibu). Keturunan Mpu Witadharma yang berjasa menata Parhyangan di Bali adalah Mpu Dwijaksara yang membangun “Pura Dasar Bhuwana Gelgel-Klungkung” yang sebelumnya bernama “Babaturan Penganggih”. Putra Mpu Dwijaksara yang terkenal pada jaman pemerintahan di Bali adalah “Ki Patih Ulung”. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel keturunan Ki Patih Ulung pernah menjadi Raja Bali setelah Majapahit menguasai Bali sebelum dynasty Dalem.
e. Mpu Ragarunting : Keturunannya beliau dikenal di Bali dengan sebutan : Pasek Salahin, Kubayan, dan Tuttwan. De Pasek Lurah Tuttwan kawin dengan putri Arya Timbul/ Arya Buru putra Prabu Airlangga dengan seorang gadis gunung.
f. Mpu Preteka : Keturunannya dikenal dengan Ki Dukuh Gamongan Sakti, Ki Dukuh Prateka Batusesa, dan di Bali dikenal dengan „Pasek Kubakal“.
g. Mpu Dangka : Keturunannya dikenal dengan „Pasek Gaduh, Ngukuhin, Kadangkan“. Keturunan Mpu Dangka Kyayi Lurah Dangka pernah memimpin pasukan menyerang Blambangan menyertai Kriyan Ularan (Jelantik) sehingga karena keperwiraannya diberi gelar „Sang Wira Dangka“.


Mpu Bharadah/Mpu Pradah adalah yang terkecil dari “Panca Tirta” beliau tetap tinggal di Jawa menjadi Purohita kerajaan Daha, berparahyangan di Lemahtulis-Pejarakan. Beliau menganut Budha Mahayana. Mpu Bharadah sering ke Bali menengok kakak-kakaknya terutama Mpu Kuturan dan sering berdiskusi masalah kerohanian , sehingga sekarang bekas peristirahatan beliau di Padang masih ada.

Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu. Sri Airlangga diundang ke Daha Jawa Timur oleh pamannya Sri Kameswara pada usia muda (16 tahun) yang tujuannya untuk menjadi raja di Daha. Tetapi saat diadakan suatu perayaan ada pemberontakan Sri Wurawuri sehingga Sri Airlangga mengungsi kehutan. Singkatnya akhirnya Sri Airlangga berhasil menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) dan beliau berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.

Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Bali dikalahkan oleh Majapahit . Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (tahun 1343 – 1350 Masehi). Pada saka 1272 (tahun 1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali. Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setalah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Siapakah Sri Kresna Kepakisan ?. Beliau adalah putra Mpu Soma Kepakisan yang juga keturunan dari Mpu Bharadah.

Berlanjut kemudian Dinasti Sri Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (tahun 1460-1550 Masehi). Pada masa ini datang dari Jawa pada saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah. Mpu Bharadah berputra Mpu Siwagandu dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratna Menggali (Putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah) menurunkan Mpu Tantular yang mengarang Kakawin Sutasoma. . Mpu Tantular menurunkan 4 orang Putra , yaitu :
1. Mpu Siddhimantra : menurunkan Manik Angkeran, yang selanjutnya keturunannya dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh.
2. Mpu Panawasikan : yang hanya mempunyai seorang putri bernama Dyah Sanggarwati, (selanjutnya dikawinkan dengan sepupunya Danghyang Nirartha.).
3. Mpu Smaranatha : yang menjadi Purohita di Majapahit pada masa pemerintahan Sri Hayam Wuruk Saka 1272 – 1311 (tahun 1350- 1389 Masehi) dengan Maha Patih Gajah Mada. Mpu Smaranatha berputra Ida Angsoka dan Ida Nirartha (Danghyang Nirartha).
4. Mpu Kepakisan : beliau adalah guru Mahapatih Gajah Mada. Beliau berputra 4 orang yang semuanya menjadi Adipati (wakil Raja), yaitu : di Blambangan, Pasuruan, Sumbawa (putri), dan di Bali (Sri Kresna Kepakisan).

Kembali kepada „Danghyang Nirartha“ putra Mpu Smaranatha, pada tahun 1489 beliau ke Bali, pada saat itu di Majapahit sudah mulai masuk agama baru (Islam). Apakah Danghyang Nirartha pernah mempelajari agama Islam tidak jelas, tetapi di Lombok Danghyang Nirartha mengajarkan „Islam Kala Tiga (Waktu Tiga). Danghyang Nirartha beristri 6 orang tiga diantaranya di Jawa dan tiga lagi sewaktu beliau ke Bali. Istri pertama dari Kediri Jawa Timur yang keturunannya dikenal dengan „Kemenuh“, Di Pasuruan beliau kawin lagi dan keturunannya dikenal dengan „Manuaba“. Yang ketiga adalah di Blambangan, dari perkawinannya menurunkan „Kaniten“. Setelah di Bali yaitu ketika beliau singgah di Gadingwangi, dimana yang menjadi Bendesa adalah „Pasek Bendesa Mas“ (Keturunan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel), beliau mengawini Ni Luh Nyoman Manik Mas putri Pasek Bendesa Mas, sehingga keturunannya dikenal dengan „Mas“. Danghyang Nirartha juga mengawini Panjeroan (abdi) Ni Luh Nyoman Manik Mas dan keturunannya dikenal dengan „Petapan/Antapan“. Istri yang keenam Danghyang Nirarta adalah Ni Berit (sahayanya) ketika beliau di Bali Barat baru tiba dari Jawa, dari sini keturunannya dikenal dengan „Temesi/Bindu“. Selanjutnya karena kemampuannya, maka Danghyang Nirartha diangkat oleh Dalem Sri Waturenggong menjadi Purohita/Bahagawanta kerajaan Gelgel mewakili aliran „Siwa“. Dalem juga ingin mengangkat Danghyang Angsoka (kakak Danghyang Nirartha) menjadi Purohita, tetapi tidak terjadi karena tua dan juga sudah ada adiknya Danghyang Nirartha, maka diganti putranya „Danghyang Astapaka“ mewakili „Budha Mahayana“. Danghyang Astapaka berasrama di Budakeling. Sejak itu kedudukan Para Mpu (keturunan Mpu Gnijaya) yang mewakili „Siwa Budha“ dan Rsi Bujangga yang mewakili „Waisnawa“, digantikan oleh mereka berdua. Bahkan dalam bidang kemasyrakatan, Danghyang Nirartha dengan restu Dalem Waturenggong membenahi struktur pelapisan masyarakat Bali. Pada mulanya masyarakat Bali menganut sistim warna lalu disusun berdasarkan Wangsa. Danghyang Astapaka dan Danghyang Nirartha serta keluarga menduduki pos sebagai „Brahmana Wangsa“, „Ksatrya Wangsa“ diisi oleh keluarga Dalem. Para Arya (I Gusti) mengisi „Wesya Wangsa“. Ketiga ini juga disebut „Tri Wangsa“. Selanjutnya diluar itu menjadi “Sudra Wangsa”. Sudra ini juga disebut Jaba. Secara turun temurun keluarga Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka mengambil porsi Brahmana dan jika di Pudgala jati/Dwi Jati bergelar “Pedanda”. Penyimpangan system Warna menjadi Wangsa (Jaman Portugis menjadi Kasta) ini berjalan ratusan tahun dan membawa dampak tidak baik pada kehidupan masyarakat karena wangsa yang seharusnya menjadi pengikat keluarga menjadi kelompok-kelompok (soroh) dimana ada yang merasa lebih tinggi dari soroh lainnya. Usaha pelurusan ini sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1920 di Singaraja (Bali) muncul Organisasi “Surya Kanta” yang anti feodalisme dengan system Wangsa/Kasta bahkan menerbitkan Majalah/Surat kabar. Kemudian mendapat jawaban dari kelompok status quo (mempertahankan Kasta) dengan terbitnya “Bali Adnyana”. Kedua penerbitan tersebut gulung tikar dan juga hilang karena semangat kebangsaan dengan berdirinya Budi Utomo (1928). Pada jaman Kemerdekaan (1945) hal ini juga tenggelam karena bangsa sedang menikmati kemerdekaannya, termasuk juga pada jaman Suharto (Orde Baru) yang sangat mementingkan stabilitas nasional. Pada jaman Reformasi hal ini bangkit kembali dengan disuarakannya dimana-mana termasuk di koran/Majalah. Belakangan ini ada 2 PHDI Bali, yaitu : PHDI Campuan dan PHDI Besakih. Apakah munculnya dua PHDI Bali ini merupakan bentuk pertentangan system feodalisme di Bali ? kita lihat sama-sama.

Dari semua hal-hal diatas, maka ada beberapa materi penting yang ingin penulis sampaikan, sbb :

1. Leluhur kita Panca Tirta datang ke Bali untuk memperbaiki masyarakat Bali pada masa pemerintahan Gunaprya Darmapatni/Udayana Warmadewa. Hal ini berhasil dilakukan dengan terjadinya perbaikan prikehidupan masyarakat. Strata masyarakat menganut Catur Warna yang merupakan ajaran Weda.
2. Pada jaman Mpu Kuturan banyak dibangun Pura di Bali yang banyak terjadi kesalahan pemahaman sehingga dianggap didirikan oleh Danghyang Nirarta , seperti misalnya : Pura Uluwatu yang didirikan Mpu Kuturan untuk memuja Baruna, diangggap didirikan Danghyang Nirartha. Untuk keperluan meluruskan sejarah pembangunan Pura-Pura di Bali, maka Gubernur Bali menunjuk Jro Mangku Gde Ktut Subandi menjadi “Ketua Penelitian Pura-Pura di Bali”. Hal ini diceritrakan almarhum kepada penulis ketika beliau ke Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan di Karanganyar beberapa bulan sebelum meninggal..
3. Pada masa Pemerintahan “Dalem Waturenggong” dengan Purohita Kerajaan Gelgel “Danghyang Nirartha” dan Danghyang Astapaka” terjadi perubahan strata masyarakat dari system Warna menjadi Wangsa/ Kasta. Hal ini berlanjut ratusan tahun sejak abad ke-15. Pelurusan baik dengan munculnya Surya Kanta atau bentuk lainnya dijaman moderen ini terus berlangsung.
4. Masyarakat khususnya di Bali harus ikut meluruskan kesalahan masa lalu dengan menjalankan dan mempublikasikan “Catur Warna” yang bersumber dari Weda sebagai pelurusan kesalahan system Warna/Kasta. Untuk itu telah keluar Bhisama Parisadha Hindu Dharma Pusat tahun 2002, oleh : Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa (Dharma Adhyaksa) dan Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka (Wakil Dharma Adhyaksa).
5. Masyarakat tidak perlu mengambil posisi bertentangan untuk meluruskan kesalahan ini seperti : Surya Kanta vs Bali Adnyana atau yang lain, tetapi tetap menyadari, bahwa kita bersaudara dan tujuan pelurusan ini adalah untuk membawa kebaikan nama Hindu dimata masyarakat dan dunia
6. Orang tua kita terutama di Bali yang masih larut dalam kesalahan ini tidak perlu ditentang, tetapi diberi pengertian dengan cara bijaksana dan penuh rasa hormat, yang lebih penting lagi adalah mulailah dari diri kita sendiri.
7. Pada akhirnya perlu saya sampaikan, bahwa “Perjalanan masih panjang” dan masalah pemurnian aplikasi ajaran weda di masyarakat bukan hanya masalah Penyimpangan Catur Warna, tetapi masih banyak hali lain, untuk itu jalankan swadharma masing-masing sesuai dengan Warna masing-masing.



Penulis :

Nyoman Sukadana
Karanganyar – Solo-Jateng 57771 31-10-2004
KETULUSAN HATI SEORANG IDA PEDANDA


Bisa memperoleh wejangan atau berkomunikasi dengan seorang Sulinggih adalah suatu anugrah, karena mereka adalah orang-orang suci yang bisa menularkan aura kesucian kepada kita, setidaknya inilah pandangan penulis. Walaupun mungkin masih ada Sulinggih yang belum menghayati sesana Sulinggih biarlah itu urusan mereka , penulis ingin melihat Sulinggih dari sisi yang seharusnya.

Adalah beliau Ida Pedanda Oka Puniaatmaja yang telah membuat penulis kagum akan ketulusan hatinya. Beberapa kali penulis sengaja menyempatkan diri untuk memapah beliau ketika hadir bersama Para Mpu di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan Karanganyar dan pada kesempatan lainnya. Yang paling terkesan dari beliau adalah pemahaman tentang hakekat manusia dan bakti manusia (Damuh) terhadap leluhurnya. Dari beliau penulis banyak memperoleh wejangan tentang hubungan persaudaraan soroh dengan soroh lainnya. Pada suatu kesempatan beberapa waktu yang lalu penulis menyampaikan keinginan untuk tangkil (menghadap) di Petilasan Mpu Bharadah di Kediri Jawa Timur yang merupakan leluhur Ida Pedanda.. Nanak (anak) demikian sapaan beliau, utamakan dulu tangkil di Parahyangan Mpu Gnijaya di Lempuyang Madya karena itu leluhur nanak. Penulis menjawab, Nak Lingsir,(sebutan kepada Sulinggih) saya sudah sering tangkil di Parahyangan Mpu Gnijaya di Lempuyang Madya dan ingin bakti juga pada Mpu Bharada yang adalah leluhur Ida Pedanda, (Parahyangan Mpu Bharada sudah ada di Kediri Jawa Timur dengan dipelopori Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa dengan Para Mpu dan Praktisi Spiritual). Tampaknya beliau sangat senang dengan jawaban penulis. Sebenarnya dari lima bersaudara (Panca Tirta), yaitu : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah, hanya kehadapan Mpu Bharadah penulis belum sempat tangkil karena memang Mpu Bharada tidak menetap di Bali, disamping itu penulis ingin membalas ketulusan hati Ida Pedanda yang polos dan tulus ini. Ketulusan beliau juga bisa dilihat ketika tanpa segan-segan Muja di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan setiap beliau hadir di Solo. Sesekali beliau memanggil Raka (kakak) Mpu kepada Sulinggih Mpu. Pada suatu kesempatan ada seseorang yang mengajak beliau untuk pulang dari Jawa ke Bali dengan pesawat terbang dan ada juga yang menyediakan mobil sedan karena mungkin melihat beliau sudah sepuh, tetapi jawaban yang muncul adalah : Biarlah naik Bus saja bersama Mpu karena bergandengan dengan Mpu saya merasa senang dan bersemangat. Pada kesempatan lain dimana beliau berobat ke Solo mencari kacamata minus, perjalanannya ke Solo disertai oleh Bapak I Ketut Nedeng dan menginap tidak di hotel tetapi di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan. Pada waktu ini, suatu kebetulan juga penulis berada dilokasi jadi ada kesempatan lagi untuk memapah beliau dan memperoleh banyak wejangan tentang kehidupan dan persaudaraan.

Saripati yang ingin penulis sampaikan pada tulisan ini adalah, sudah waktunya kita menata pola berpikir kita tentang arti hubungan manusia dengan manusia. Ida Pedanda Oka Puniaatmaja telah memberikan contoh yang sangat baik kepada kita baik Sulinggih atau walaka akan nikmatnya hubungan persaudaraan yang didasari :ketulusan hati”. Ternyata sikap seperti itu akan membuahkan ketenangan jiwa dan juga kedamaian bagi fihak lain. Sikap Ida Pedanda telah mengilhami langkah penulis, sehingga setiap ada kedatangan umat khususnya mahasiswa yang datang ke Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan , penulis menyempatkan untuk memaparkan kekeliruan masa lalu dan mengajak menapak masa depan yang lebih baik, karena para mahasiswa yang datang dari berbagai soroh ini merupakan generasi penerus yang bisa memperbaiki kesalahan masa lalu. Himbauan penulis ini mendapat simpati dari anak muda yang masih bersih ini dan diskusi serta tanya jawab bisa berlangsung sampai pagi. Kebanyakan mereka melihat kesalahan orang tua yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti kebiasaan (mule keto) sementara mahasiswa ini adalah orang-orang yang kritis yang ingin penjelasan logis. Penulis tidak menyarankan mereka untuk menentang orang tua, tetapi merekalah yang harus memulai memperbaiki kesalahan masa lalu dengan bertindak yang benar mulai sekarang.

Ketulusan hati seorang Ida Pedanda, akan selalu menjadi penyejuk bagi kita yang ingin memperoleh ketenangan jiwa, hal ini akan penulis coba terus tanamkan kedalam hati supaya menjadi bagian dari perilaku penulis walaupun itu perlu waktu. Disamping itu penulis tidak segan-segan menyampaikan kepada orang lain karena ini adalah sesuatu yang baik dijadikan pegangan hidup. Sangat sayang jika kita tidak bisa memanfaatkan hidup ini untuk berlaku arif kepada diri sendiri dan kepada orang lain, siapapun perlu mencoba dan mencoba sesuatu yang baik tidak akan membuat kita rugi atau kehilangan harga diri. Tuluslah seperti Ida Pedanda.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
11-05-2004.
MANTRA - BAGI SPIRITUALIST MODEREN

Ajaran Catur Asrama, mengatur sangat baik, bahwa kehidupan manusia ada fase atau urut-urutannya. Mulai dari Brahmacari (Menuntut Ilmu), Grahastha (Berumah-Tangga), Wanaprastha (memasuki alam spiritual), dan Bhiksuka/Sanyasin. Umat Hindu diajarkan agar sudah melakukan kewajiban rumah tangga dengan baik jika akan memasuki alam Spiritual (Wanaprastha). Fase ini perlu ketenangan batin tidak diganduli oleh kewajiban rumah tangga, walaupun tidak sedikit umat yang sudah berani memasuki alam spiritual dengan grahastha secara bersamaan. Yang pokok ingin disampaikan disini adalah ”Pendakian Spiritual” sangat baik dilakukan pada saat dimana kita sudah kosentrasi (meditate) dan pada saat dimana emosi, ego sudah stabil, sehingga ketika kita berguru pada Guru rohani, mengikuti kegiatan spiritual (tirtayatra, yoga, meditasi, dll) atau ketika melakukan kewajiban sebagai Pemangku/Pinandita, atau Pandita, maka akan lebih kosentrasi sehingga dapat memperoleh manfaat secara maksimal.

Ada fenomena yang menarik dimasyarakat, bahwa banyak sekali bermunculan aktifitas-aktifitas spiritual yang dikemas secara moderen, bahkan dengan teknologi moderen (Audio Visual dan Video). Seperti diketahui perjalanan umat manusia dalam memanfaatkan ”Kecerdasannya (Intelligence)” berkembang dari : kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient/IQ), kecerdasan emosional (Emotional Quotient/EQ), dan sekarang sudah pada “kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ)”. Umat manusia dijaman serba instant dan materialistis ini rupanya tidak merasakan ketenangan, dan masih merasakan ada yang kurang, mulailah muncul kesadaran, bahwa semuanya itu bersumber pada “Hati/alam perasaan”. Banyak kemudian yang datang kepada para ahli spiritual (Sebut saja Tradisional) disamping banyak yang mengikuti seminar atau pelatihan (sebut saja secara Moderen). Metode-metode penyampaian secara moderen banyak bermunculan, seperti : Gede Prama (Penutur Kejernihan), Erbe Sentanu dengan Katahati Institutenya, Andrie Wongso dan banyak motivator lainnya. Yang tidak kalah serunya adalah dengan banyak beredar CD “The Secret” dari Luar negeri yang menekankan pada “Hukum Ketertarikan” dimana setiap yang kita pikirkan atau rasakan akan menarik hal yang sama kepada kita, sehingga disarankan agar berpikir atau berperasaan positif (positif tinking dan positif feeling). Tidak bisa dipungkuri yang mereka sampaikan/ajarkan adalah spiritual karena banyak berbicara tentang : bersyukur, ikhlas, positif feeling, dan sebagainya. Semua diatas menekankan pada kesadaran spiritual yang 88% dibandingkan pikiran yang hanya 12% tetapi sudah mampu menghasilkan banyak hal. Kekuatan hati/perasaan adalah kekuatan luar biasa yang maha dasyat jika kita mampu memanfaatkanya dengan baik. Para leluhur kita dapat memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa karena mereka mengetahui rahasia ini dan sudah lepas dari keterikatan duniawi sehingga mampu mendapatkan “kesejatian” walaupun ada yang masih pada tataran “kewisesan/kanuragan”. Para spiritualist moderen umumnya adalah masyarakat yang menurut ajaran Catur Asrama masih pada Fase Grahastha, bahkan pada Fase Brahmacari, mereka biasanya tidak memperoleh kebahagian rumah tangga, karir tidak berkembang, kesulitan ekonomi, dan yang belum percaya diri. Walaupun demikian, motivator spiritual moderen ini, juga adalah orang yang banyak bergaul dengan tokoh spiritual. Sebut saja Erbe Sentanu (Mas Nunu) banyak bertukar pikiran langsung dengan para master self-development seperti Deepak Chopra, Brian Tracy, Maharishi Mahesh Yogi, Sandy MacGregor, Shri Shri Ravi Shankar, Bill Harris, Wayne Dyer, Danah Zohar dan banyak lagi. Juga Andrie Wongso yang banyak mengambil filosofi China. Erbe Sentanu menggunakan prinsif-prinsif Fisika Quantum, dimana pada saat gelombang pikiran pada posisi “Alpa” (alam bawah sadar), maka terjadi keselarasan antara pikiran dan perasaan, pada saat inilah ditanamkan hal-hal yang positif (Positif Feeling). Posisi relax atau bawah sadar diperoleh dengan “Meditasi”.

Lalu, bagaimana peran ”Mantra (Doa)” bagi spiritualist moderen ini ?. Bagi mereka ”Hati bersih” adalah tanah yang subur bagi setiap hal yang kita inginkan. ”Bersyukur” adalah sesuatu yang ampuh untuk memerangi yang disebut ”Nafsu”, pada saat bersyukur, maka nafsu itu akan hilang, sehingga hati menjadi bersih, kesadaran spiritual bangkit, dan selanjutnya tinggal menanamkan keinginan kita pada alam bawah sadar, sehingga tujuan akan lebih cepat tercapai. Sehubungan aktifitas ini umumnya lintas agama, maka Mantra (Doa) disesuaikan pada masing-masing peserta, bahkan kadang tanpa doa yang penting tepat mengisi perasaan ini dengan hal yang positif, seperti : merasa sehat, keluarga bahagia, punya mobil, punya rumah, dll yang kadang hanya visualisasi, tetapi karena Alam perasaan/hati ini sangat luar biasa, maka hal-hal positif itu diyakini bisa menjadi kenyataan. Kita mungkin pernah membayangkan punya mobil tertentu (mis : Mobil Kijang) mungkin saking seriusnya sampai tertanam ke perasaan kita yang terdalam, sehingga entah bagaimana caranya akhirnya kita memiliki mobil tersebut. Para motivator ini tidak mengajarkan untuk menghayal/melamun, tetapi lebih kepada menggunakan kekuatan hati/perasaan yang maha dahsyat, bahkan disebutkan kekuatan perasaan 5000 kali lebih kuat dari kekuatan pikiran.

Dengan fenomena diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa Mantra (Doa) hanyalah sebuah kalimat yang tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak memiliki kebersihan hati/perasaan, dan juga keyakinan akan Mantra yang kita ucapkan. Spiritualist tradisionail maupun moderen tentu adalah orang-orang yang sangat meyakini ”Mantra(doa)” yang diucapkan (wak) maupun didalam hati (Manah), jadi kita semua seharusnya seperti itu.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar/Solo-Jateng
ENTAS PITULUS – PITRA YADNYA PERTAMA
DI KLATEN JAWA TENGAH

Jatinom adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Klaten Jateng yang merupakan salah satu Kantong Hindu di Jawa Tengah. Di Jatinom ada 4 Dusun yang umat Hindu etnis Jawa masih cukup banyak, yaitu di Dusun Tibayan, Dusun Purodesan/Desa Randualang, Dusun Socakangsi, dan Dusun Gambira/Desa Kraji. Di Jatinom ini ada 2 buah Pura, yaitu : Pura Dharma Santana, di Dusun Tibayan dan Pura Randu Agung, di Desa Randualang. Pada 14 Maret 2007 yang lalu ada kegiatan Yadnya yang sangat langka dilakukan di Dusun/Desa Tibayan, Kec.Jatinom, Kab.Klaten, yaitu : ”Entas Pitulus” (Pitra Yadnya/Ngaben di Tengger Entas-Entas) secara kebiasaan Jawa yang bisa dikatakan pertama dilakukan di Kab. Klaten sejak Hindu bukan lagi agama yang dianut secara sembunyi oleh umat Jawa. Umat Hindu yang diupacarai Entas Pitulus adalah ”Sukirno” seorang Guru agama Hindu di SD Blimbing I , Karangnangka yang meninggal pada usia 50 tahun. Pemrakarsa dari upacara ini adalah tokoh umat Hindu, seperti : Romo Pandita Pujo Broto Sejati yang lebih dikenal dengan Romo Maming, Mudiarso seorang Pelestari Budaya Jawa asal Jaten Karanganyar-Solo, Sugito seorang guru SD di Jaten Karanganyar yang juga sangat memahami budaya Jawa bersaripati Hindu dan juga Wayan Puja seorang umat juga Pinandita yang sangat aktif mengikuti kegiatan umat Hindu etnis Jawa dan tentunya juga atas pengarahan dari para tetua di Jatinom.

Prosesi ”Entas Pitulus”
Prosesi dibagi di dua tempat, yaitu di dalam rumah dan di Pendopo. Didalam rumah para keluarga berkumpul dan terdapat ”Wahana” atau kendaraan sang Atma yang berujud Kambing Kendit yaitu Kambing berwarna hitam, sabuk putih (kalau di Bali Wahana ini adalah Wadah Wujud Lembu atau bentuk lainnya). Juga ada ”Penguripan” berupa Ayam (mewakili Darat), bebek (air), dan Burung Dara (Udara). Di Pendopo terdapat Sanggar Surya, Sesaji Jawa berupa Nasi uduk (berisi timun,kedelai, brambang/bawang merah) , ingkung (Ayam Panggang), beras kuning, pisang raja, dan banten Bali lainnya untuk Pitra Yadnya karena pemimpin upacara (Romo Maming) Nabenya dari Bali, jadi kelihatan ada percampuran Sesaji Jawa dan Bali, ini juga salah fenomena Hindu kedepan yang tidak kaku dengan Banten Jawa atau Bali. Di Pendopo ini terdapat sarana seperti : Pancaka (Panca Saka/ Bade di Bali) yang berbentuk seperti Sanggar di Bali dengan 5 tiang/saka dan tanpa paku dengan bahan bambu dan diikat alang-alang, didalamnya ada bantal/guling. Bambu dalam bahasa Jawa adalah ”Deling” dan Alang-alang ada pada kisah Para Dewa menjaga tempat yang bernama ”Alang Kumitir” sehingga bambu dan alang ini bermakna ”Dedel Ing Alang Kumitir”. Di Pendopo juga terdapat ”Puspa Sarira” yaitu perwujudan dari orang yang diupacarai Entas Pitulus, berupa Kayu Jati dibentuk seperti manusia (Di Bali biasanya dari Lontar/daun Ental diukir berujud manusia).

Prosesi diawali dengan Manggala Upacara (Romo Maming) melakukan Puja diikuti oleh Gamelan Jawa dan gending : Kinanti Karuno, Panjang-Ilang, Layu-layu, dan lainnya. Dengan ”Nyiwe Rage/ Menyatukan Siwa kedalam diri sebagai kebiasaan Pandita”, Pandita memohon agar Sang Atma hadir walau dikuasai oleh Bhuta Dengen atau apapun untuk dilakukan Entas Pitulus dan ditempatkan di Puspa Sarira. Selanjutnya acara masuk kedalam rumah dengan urutan umat yang membawa Lampu, menggendong Puspa Sarira, dan gamelan dari Pendopo menuju ke dalam rumah. Didalam lalu dilakukan ”Pradaksina” yaitu upacara mengelilingi Wahana (Kambing Kendit) searah jarum jam sebanyak tiga kali, Puspasarira diletakkan diatas Wahana dipegang petugas. Selanjutnya keluarga melakukan Puja Bhakti/penghormatan terakhir kepada Sang Atma dan umat di Pendopo melakukan Persembahyangan bersama. Kegiatan diatas masih pada Pradaksina I. Pada Pradaksina II dengan kegiatan mengitari wahana seperti diatas, para keluarga menghaturkan makanan kesenangan yang diupacarai Entas Pitulus, seperti Rokok, kopi, kue, dll sementara diluar Pancaka disiapkan oleh umat lainnya serta membawa Panjang Ilang atau nampan Janur dan Blarak (Daun kelapa kering) yang berisi buah-buah dan Polowijo. Acara berikut ”Pradaksina III” dimana Pancaka dibawa masuk dan Romo Maming juga ikut masuk. Pada sessi ini Puspa Sarira dimasukkan kedalam Pancaka. Setelah Persembahyangan oleh keluarga, maka acara selanjutnya dilakukan acara keluar yaitu Keliling desa satu kali dan berputar tiga kali di Prapatan Dusun Tibayan. Urut-urutan dari depan kebelakang : Romo maming, Lampu, Wahana, Pancaka (Dipayungi), Pangurip, Keluarga, Gamelan, Masyarakat. Selesai mengelilingi dusun, dilanjutkan kembali kerumah dan prosesi dilakukan di Pekarangan Rumah . Pancaka diletakkan di Pekarangan setelah berputar tiga kali, diberi Klasah (Daun pisang kering), Sebelum dibakar keluarga membekali Nasi Uduk dan Uang (tidak dibakar/ Pada fase ini di Bali banyak kesalahan dengan membekali Emas bahkan mobil). Pembakaran dilakukan pertama kali oleh anak pertama Sukirno, yang bernama Dwi Fajar, diiringi oleh Gending Telutu dan Sirep Aji Pulang. Keesokan harinya Pinandita Pura dan keluarga memasukkan Abu Pancaka kedalam Cengkir (Kelapa Muda) dan dilarung di Kali di Dusun Tibayan. Pada Prosesi sesudah ini di Bali biasanya dilakukan Nyegara-Gunung, dan Ngelinggihang (menempatkan) Sang Atma di Kemulan menjadi Dewa Hyang, namun di Jawa ditempat dimakamkan biasanya dibuat Candi (bukan dirumah), namun pada Entas Pitulus ini Prosesi selesai sampai pada Larung ke Kali Tibayan. Semoga Sang Atma menyatu dengan Sang Paramaatman dan keluarga memperoleh ketenangan, namun yang lebih penting lagi ”Entas Pitulus” yang merupakan Pitra Yadnya dengan tradisi Jawa Hindu dapat dilakukan umat Hindu Jawa lainnya diberbagai tempat.


Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
17-03-2007