Rabu, Maret 03, 2010

MENJAGA MUTIARA “KSAMAWAN”

“Ksamawan” atau “Kesabaran” adalah sesuatu yang sangat berharga dalam diri manusia, saking berharganya tidak ada sesuatu yang bisa dipakai untuk menggambarkannya, namun sebagai simbolisasi kita sepadankan dengan “mutiara” sebagai sesuatu yang sangat berharga. Begitu berharganya mutiara kesabaran ini, maka manusia perlu menjaganya dengan baik. Kesabaran yang tidak bisa dijaga akan menimbulkan hal negative, salah satu contoh adalah “perselisihan”. Tidak seorangpun bisa mulus menjalani kehidupan karena pasti akan pernah mengalami benturan-benturan atau perselisihan-perselisihan. Jika kita amati perjalanan hidup kita dari kecil sampai sekarang ini, maka hal itu selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Waktu kecil kita pernah berselisih dengan teman bermain, teman sekolah, teman kuliah, dikantor, dikeluarga, dimasyarakat. Perselisihan ini bukan hanya bisa terjadi pada perorangan, bahkan perusahaan, juga lembaga umat, kalau lebih jauh lagi negarapun bisa terlibat perselisihan. Semua hal diatas bisa terjadi karena kita tidak mampu menjaga mutiara kesabaran itu dengan baik. Hal lain yang bisa terjadi : kita menjadi pribadi konsumtif, tidak ramah, berwajah kusam, bahkan bisa melakukan tindakan yang mencelakakan orang lain seperti : penganiayaan juga pembunuhan. Jadi banyak dampak yang bisa ditimbulkannya, itulah sebabnya ajaran Hindu pada Sloka 94 Sarasamuccaya, menyebutkan :”Apabila tidak ada yang Ksamawan, niscaya tidak ada kepastian akan adanya persahabatan, melainkan jiwa murka menyelubungi diri sekalian mahluk karenanya pasti akan bertengkar satu sama lain”. Ksamawan juga berarti Ibu Pertiwi sebagai simbul kesabaran, dimana alam semesta ini dengan begitu sabar dan cinta kasih menyediakan segala kebutuhan manusia dan mahluk lainnya, walaupun tindakan kita sering mengabaikannya, seperti : menebang pohon sembarangan sehingga dapat mempengaruhi iklim dunia yang sudah diperingati dengan “Global Warming”. Setiap manusia termasuk penulis sendiri punya resiko terhadap ketidak mampuan menjaga mutiara kesabaran ini, namun mari kita sama-sama belajar untuk menjaganya, lalu bagaimana caranya ?

Jawaban satu-satunya adalah “Pengendalian diri”, manusia hanya perlu melatih pengendalian diri. Metode-metode pelatihan yang dikaitkan dengan ajaran Hindu sudah ada seperti : Upawasa saat Nyepi, Siwa ratri, atau lainnya. Jadi makna upawasa ini adalah “pengendalian diri” agar kita menjadi manusia yang mampu mengekang diri dari hal-hal yang negative. Jika upawasa hanya dimaknai dengan tidak makan dan tidak tidur saja tanpa mengerti intinya adalah pengendalian, maka artinya kita belum mampu memaknai perayaan tersebut. Dalam kebiasaan umat Jawa ada kata “Eling” yang bermakna ingat, yang sudah pasti ada pesan moral didalamnya mengingatkan kepada diri sendiri agar selalu menjaga mutiara kesabaran itu. Para motivator moderen seperti : Gede Prama (Penutur Kejernihan), Erbe Sentanu dengan Katahati Institutenya, Andrie Wongso Tungdesem Waringin dan banyak motivator lainnya dari dalam negeri, serta master self-development dari luar negeri seperti : Deepak Chopra, Brian Tracy, Maharishi Mahesh Yogi, Sandy MacGregor, Shri Shri Ravi Shankar, Bill Harris, Wayne Dyer, Danah Zohar dan banyak lagi, banyak mengajarkan kepada kita akan perlunya menjaga mutiara kesabaran ini, dimana secara satu bahasa menyebutkan dengan “Menjaga Hati”. Menjaga hati dimulai dengan berpikir positif (positif tinking) karena hal itu akan menghilangkan kebencian dan menghindari manusia dari perselisihan. Ajaran Hindu menekankan “Tri Kaya Parisudha”, orang tua di bali mengajarkan “mulat sarira”, semuanya bermuara yang sama, bahwa kita agar lebih mengenal diri kita lebih dahulu, jangan biarkan diri ini menjadi liar dan tanpa terkendali yang akan merugikan diri kita dan orang lain, apalagi di Jaman Kegelapan (Kali Yuga), maka manusia itu semakin labil akan sangat mudah terjerumus kepada tindakan yang negative, bukti-bukti sudah banyak semoga itu bukan kita dan semoga kedepan yang muncul pada diri manusia hanyalah “kasih sayang” sesama mahluk ciptaan Hyang Widhi sesuai ajaran “Tat Twam Asi” dan “Prema”.

Dalam aplikasinya, maka manusia itu juga perlu punya kesadaran “memaafkan” jika karena orang tidak mampu menjaga kesabarannya telah membuat anda kecewa, maka maafkanlah. Jangan kebencian itu dibiarkan berkembang biak yang mana akan memberi kesempatan kepada banyak hal, misalnya : bhuta kala/angkara murka, fihak yang mencari keuntungan, dan fihak yang malah akan melakukan provokasi. Disatu sisi jika ada yang memang menyadari kekeliruan, maka tidak ada salahnya minta maaf. Bagi sebagian orang ”maaf” ini menjadi sangat tabu. maaf juga bisa diartikan sebagai ”kelemahan” bahkan ada sebagian yang mengartikan sebagai ”kekalahan” karena sesungguhnya tidak perlu saling mengalahkan. Dalam kehiidupan ini selalu ada dua hal, tetapi intinya justru pada diantara keduanya itu. Yaitu : Purusa – Pradana menghasilkan kehidupan, positif – negatif menghasilkan energi listrik, dan diantara takut dan berani juga terdapat suatu sikap yang benar itulah yang disebut ”Ksamawan” (sabar).

Akhirnya, kita perlu masuk kepada diri sendiri melalui introspeksi, sediakan waktu beberapa menit saja untuk malakukan evaluasi atas apa yang sudah kita lakukan hari ini, apakah hari ini kita telah melakukan hal yang baik atau justru kita telah melakukan tindakan mengecewakan orang lain ? memang tidak mudah bagi kita termasuk penulis untuk melakukannya tetapi tulisan ini mengajak kita semua (termasuk penulis) untuk mulai menata hidup lebih baik dengan bendera “kesabaran” sebagai panduan kita melangkah, semoga ibarat barisan, kita dapat mencapai finish dengan kondisi baik, rapi, jika kita penyanyi koor, maka kita dapat bernyani tanpa false tetapi merdu dan indah, dan akhirnya kita menjadi pribadi yang sejuk, damai, smart, sehingga ibarat virus yang positif, ini akan menyebar ke setiap hati orang lain disekitar kita dan menyebar terus sampai memenuhi alam semesta. Apakah ini hanya impian ? kadang mimpi bisa menjadi kenyataan, Astungkara !




Penulis,


Nyoman Sukadana 17-02-2010
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
DIBAWAH BAYANG “KECURIGAAN”

Sering disampaikan, bahwa manusia itu perlu kebersihan hati, tidak dengki, tidak curiga, dan hal-hal positif lainnya, sekilas kelihatannya hal itu berhasil karena orang Indonesia , khususnya orang bali dikenal sebagai orang ramah, suka membantu sesamanya, dan bentuk prilaku baik lainnya. Namun jika kita memasuki ranah pribadi dengan berdialog secara hati ke hati, ternyata kita akan kaget ternyata ada satu hal yang mendominasi pikiran umat ini, yaitu “adanya kecurigaan dengan tetangga, bahkan dengan saudara/ipar”. Kecurigaan ini bukan khawatir akan dicuri hartanya atau ditipu, namun curiga tetangga atau keluarganya telah melakukan tindakan “ilmu hitam/ peng-leakan” sehingga dirinya dan suami/istri serta anak-anak sakit-sakitan. Kalimat “Irage aliange leak ajak si Anu (saya dicarikan ilmu hitam oleh si Anu)” menjadi kata-kata yang umum terjadi jika masuk kepada pembicaraan pribadi. Hal lain yang masih pada kategori kecurigaan, adalah terhadap suami yang dikhawatirkan akan menyeleweng, bukannya istri ini memperbaiki sikap atau service kepada suami sebagai layaknya istri yang baik, malah mendatangi Jero balian untuk mendapat pegangan (sesikepan) agar suaminya tunduk padanya, jadinya ini ada unsur menguasai dan ini menyalahi. Bagi orang yang kebetulan punya kamampuan spiritual (Ngusada atau malianin), maka orang tersebut akan menjadi orang yang dibutuhkan atau orang penting dan akan banyak didatangi umat yang berprilaku seperti ini. Sayanganya terhadap kekeliruan sikap masyarakat ini, malah kemudian menjadi di-ayomi karena banyak Jero balian melakukan kekeliruan dan mendukung sikap mereka. Atas pertanyaan umat ini biasanya jero Balian memberikan pegangan (Sesikepan) agar suaminya tunduk, agar tetangga yang dicurigai menggunakan ilmu hitam menjadi celaka, atau minimal agar dirumah dan keluarga dibentengi oleh sesikepan yang diberikan oleh Jero balian, dan banyak kekeliruan lain yang semakin menambah point negative pada orang tersebut. Kenapa sikap seperti ini bisa timbul dan bagaimana seharusnya sikap Jero balian ? coba kita lihat bersama-sama.

Pertama adalah sikap mental kita, agama mengajarkan, manusia perlu menerapkan ajaran “Tri Kaya Parisuda” yaitu pikiran, perkataan, perbuatan yang harus disucikan, dengan curiga, maka kita sudah mengotori pikiran kita. “Kesucian” apalagi diiringi dengan “kepasrahan” kepada Hyang Widhi sebenarnya merupakan pelindung yang utama dari segala macam gangguan hal negative termasuk ilmu hitam / pengeleakan. Jika diteliti dengan cermat, baik dengan alat/teknologi maupun dengan kemampuan membaca aura oleh orang yang mampu, maka orang yang suci pikiran,perkataan, perbuatan ini memancarkan aura yang baik dan sekaligus menjadi penolak aura negative. Ilmu hitam medianya adalah ber-aura negative sehingga positif dan negative tidak akan bisa bertemu. Secara alam niskala atau diluar diri orang bersangkutan, maka orang yang selalu menjaga kesucian ini akan dijauhi oleh bhuta kala dan akan didekati oleh aura kesucian dari alam immaterial, seperti : roh suci leluhur, atau aura suci disuatu pura, dan ini secara tidak disadari akan menjaga dari kekutan negative yang mendekat. Jadi “Kesucian & Kepasrahan” adalah pelindung sejati bagi manusia dari segala macam aura negative. Lalu bagaimana seharusnya sikap “Jero balian” terhadap orang yang datang kepadanya ? Jero balian disini agar mem-fungsikan diri sebagai rohanian karena Balian di Bali ada yang memplesetkan dengan “me-alian (mencari nafkah) yang sangat tergantung kepada pembeli yaitu para umat yang kebingungan dan ketakutan ini. Yang pertama dilakukan adalah, bersihkan dulu pikiran umat ini dengan wejangan-wejangan kasih sayang, pasrah pada Hyang Widhi, dan bhakti pada leluhur. Jangan memberikan sesikep berupa barang karena bagi umat yang sedang negative ini, maka sesikep ini akan menambah kekuatan negative orang tersebut sehingga mengundang para bhuta kala sehingga tidak mustahil orang tersebut malah akan semakin negative bahkan bisa “Ngeleak”. Pada dasarnya manusia itu adalah ciptaan Hyang Widhi yang sudah lengkap, jadi tidak perlu ditambahkan benda atau barang apapun pada dirinya yang nantinya justru akan mengotorinya. Jero balian yang kebetulan tahu siapa yang melakukan hal negative tersebut baik secara jelas apalagi samara-samar sebaiknya tidak menyampaikan kepada umat ini, karena hal itu akan semakin menambah kebenciannya dimana bisa jadi akan melakukan hal yang tidak benar, seperti melakukan kekerasan fisik atau mungkin pembunuhan, tetapi sebaiknya disejukkan hatinya agar tidak dendam dan dilatih untuk mensucikan diri. Sebaiknya Jero balian melakukan Usada dengan mohon pensucian (prayascita) atau melukat diri umat tersebut agar dirinya memancar dan meningkat kesuciannya serta berkurang kadar kecurigaan atau kebenciannya sehingga lambat laun umat ini menjadi damai hatinya. Ajarkan pada umat ini ajaran bhakti pada Hyang Widhi dan leluhur, sehingga akan terjadi keseimbangan “skala-niskala (bhuana agung dan bhuana alit), yaitu manusia itu dengan Hyang Widhi. Bagi umat yang sedang mengalami cobaan hidup entah itu berupa : sakit atau ketidak tenangan lainnya, jangan langsung mencurigai orang lain karena itu akan semakin menyuburkan aura negative dan akan mengundang bhuta kala untuk mendekati kita, artinya kita membuka pintu untuk bhuta kala. Jadi semakin dekatlah kepada Sang Pencipta didalam situasi seperti ini. Hati-hatilah terhadap solusi yang diberikan oleh jero balian apakah dengan diberikan “sesikep” atau saran-saran yang belum tentu benar, karena ketika Jero balian memberikan sesuatu, bagi yang faham itu adalah suatu energi dimana jika yang membawanya ber-aura negative (curiga, benci, dll) maka akan menjadi tidak baik buat diri kita dan sudah banyak terbukti, orang bisa menjadi semakin tidak baik, menjadi gila, atau malah menjadi bisa “Nge-leak”, maka selalu diajarkan agar manusia menghindari hal-hal yang tidak baik. Sebagai akhir kata, perlu kiranya direnungkan ajaran Hindu yang tertuang dalam Sarasamuccaya (Sloka 89) sbb : “Inilah hendaknya orang perbuat, perasaan hati cinta kasih kepada segala mahluk hendaklah ini dikuatkan, janganlah menaruh dengki iri hati, janganlah menginginkan dan jangan merindukan sesuatu yang tidak ada, ataupun sesuatu yang tidak baik, janganlah hal itu dipikir-pikirkan”.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
18-02-2010
DESA ADAT vs DESA HINDU

Mpu Kuturan boleh dikatakan sangat berhasil dalam menata kehidupan masyarakat Bali sejak kehadirannya bersama saudaranya yang lain (Catur Sanak) atas permintaan Raja Udayana pada abad XI. Mpu Kuturan dengan Desa Pakramannya juga menyebarkan Pasek keseluruh Bali yang berarti penguasaan pos-pos penting di Bali oleh para Priyayi Jawa, walaupun ini tidak identik dengan penjajahan karena strategi Mpu Kuturan adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Apakah Bali jaman dulu menghadapi Chaos atau terjadi demo dimana-mana sehingga raja justru membutuhkan rohaniawan bukan Polisi anti huru hara. Apa yang sebenarnya menjadi masalah Bali waktu itu? Masalahnya bukan perebutan kursi partai atau tuntutan turun tahta (lengser) Raja Udayana, tetapi adalah enam sekte yang ada waktu itu saling menganggap paling baik, sehingga menimbulkan konflik horizontal. Konflik seperti ini memang bukan bagiannya Raja tetapi bagian para rohaniawan untuk mengatasinya. Melalui pertemuan 3 kelompok dari 3 paham di Samuan Tiga Gianyar, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari oarng Bali Mula, seluruh peserta bisa diadopsi dan bisa disatukan dan Bali menjadi aman. Berikutnya Mpu Kuturan banyak membangun Pura di seluruh Bali bahkan Pura-Pura besar di Bali yang masih ada sekarang ini banyak dibuat pada jaman beliau. Dilanjutkan lagi pada abad XIV (Tahun 1350 Masehi) ketika Kresna Kepakisan memerintah Bali sebagai bawahan Majapahit sekaligus berakhirnya era Warmadewa, maka perlu menyerahkan pimpinan di desa-desa kepada Bendesa-Bendesa umumnya keluarga Pasek yang masih ada hubungan saudara dengan Kresna Kepakisan, suatu bentuk Nepotisme politis untuk mengikat masyarakat Desa (Banda=Pengikat, Desa=tempat). Setelah Majapahit runtuh pada abad XV karena masuknya agama islam di Majapahit, dan berakhir pula era ”Dalem” ini telah memunculkan kerajaan-kerajaan kecil di sembilan tempat di Bali. Perkembangan ”Puri” sebagai kelanjutan dari kepemimpinan masa lalu juga menjadikan Bali menjadi berbeda, mobilisasi umat/warga desa yang masih meneruskan tradisi masa lalu masih tetap dilakukan walaupun kemudian adat ini menjadi komoditas kekuasaan karena sering dimasukkan adat-adat yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu, seperti kasus-kasus, kesekepang, asu-pundung, anglakahi karanghulu, kawin dengan keris, dll. Sampai akhirnya masuk ke fase penjajahan abad XVI, desa adat atau Desa Pakraman secara praktek tetap dipertahankan dan hal positif penjajah banyak melarang adat yang tidak sesuai, seperti ”Pati Gni” yaitu seorang janda akan menceburkan diri ke kobaran api setelah suaminya meninggal.

Sekarang ini Bali kembali menghadapi kekhawatiran karena dominasi Budaya Bali yang ruhnya Agama Hindu sedikit demi sedikit mulai digeser oleh faham lainnya yang dianggap bisa mempengaruhi bahkan lebih ektreem lagi mencemari budaya Bali itu sendiri. Wacana Ajeg Bali yang belakangan ditegaskan menjadi Ajeg Hindu sebagai salah satu alternatif digulirkan, sebagai salah satu alternatif digulirkan. Adat itu ruhnya adalah Ajaran Hindu sehingga Adat dan Agama ibarat Raga dan Jiwa. Wacana Ajeg Bali/Ajeg Hindu ini kelihatannya belum memuaskan para fihak yang ingin agar segera dibuat langkah-langkah yang effektif, instant karena dianggap permasalahan Bali ini sudah berada di ufuk barat (Sandyakala). Sekarang muncul pemikiran apakah desa pakraman ini masih layak dipertahankan disela-sela perkembangan jaman globalisasi, atau apakah Hindu bisa jalan tanpa desa adat ?.

Jika coba dirangkum, maka permasalahan Bali ini dapat kita lihat dari dua sisi, yaitu : Sisi vertikal dan horizontal. Vertikal, yaitu : konsep bakti, meliputi pemahaman akan bhakti itu sendiri dan sarana bhakti berupa Pelinggih-Pelinggih. Dari sisi horizontal seperti Hubungan Sosial masyarakat, jika jaman Mpu Kuturan hamya ada kelompok masyarakat Bali Mula dan Bali Dataran (keturunan dari Jawa), maka Bali sekarang banyak terdapat kelompok wangsa (soroh/clan}, disamping kelompok lainnya (pendatang) Kelompok wangsa ini pada dasarnya baik yaitu mempersatukan keluarga sehingga bisa lebih baik komunikasinya secara horizontal juga secara vertical (Bhatara Kawitan). Celakanya adalah ketika yang satu menganggap lebih tinggi dari yang lain. Pola ini telah menyebabkan masyarakat Bali kurang ada ikatan emosional yang sama sehingga terkesan kurang bersatu. Warisan sosial masyarakat jaman dulu berupa pelapisan strata masyarakat yang memunculkan adanya Ratu dan Parekan juga akan membatasi munculnya jiwa kewirausahaan (entrepreneur) dan kepemimpinan (Leadership) pada masyarakat yang bermental abdi ini. Jadi kepuasan segelintir masyarakat membawa dampak mental yang kurang baik pada banyak masyarakat. Mental seperti ini juga akan memunculkan sikap melayani (pelayan) sehingga orang Bali dikenal sangat ramah dengan para pendatang. Ketika ada yang mengangkat permasalahan ini dan dikaitkan dengan Catur Warna, malah banyak muncul tanggapan yang cendrung bukan perbaikan apalagi moderat, bahkan setiap membicarakan hal ini seperti ada dikotomi warisan dahulu antara Tri Wangsa dan Jaba, padahal penyinpangan ini bisa dilakukan oleh siapa saja apakah yang disebut Tri Wangsa atau bukan karena ini masalah mental. Jadi disadari atau tidak masalah ini menjadi salah satu faktor kurang menguntungkan. Kalau antara sesama orang Bali ada dikotomi, ada kotak-kotak, ada lapis-lapis, maka persatuan itu tidak akan diperoleh. Mungkin saja kelemahan ini sudah dibaca oleh orang luar yang ingin berkiprah di Bali sesuai keinginannya yang bisa jadi tidak menguntungkan, seperti kasus Bom Bali, maka masalah ini bukan isapan jempol belaka . Dalam hubungan sosial spiritual, leluhur kita sudah mengajarkan sarana persatuan melalui langkah bhakti. Datang dan bersembahyanglah ke Besakih disana ada Pemujaan Tri Murti, hadir ke Lempuyang Luhur disana berstana leluhur orang Bali Hyang Gnijaya, hadirlah di Lempuyang Madya disana ada Pelinggih Mpu Gnijaya, hadirlah ke Pura Catur Lawa (Besakih) disana ada Pelinggih Ratu Pasek (Mpu Semeru/Meru Tumpang Pitu), hadirlah ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung disana ada Pelinggih Ratu Pasek (Mpu Ghana/Meru Tumpang Tiga), dan hadirlah ke Pura Silayukti Padangbai disana ada Tempat Pemujaan Mpu Kuturan dan peristirahatan Mpu Bharadah. Sisi horizontal lainnya adalah perubahan masyarakat dari sektor agraris ke sektor industri, seperti industri Pariwisata. Bali yang dominan sektor industri pariwisata justru tidak banyak menikmati hasil dari industri Pariwisata ini khususnya dilevel pemimpin atau pengusaha (wiraswasta) kebanyakan hanya tenaga menengah kebawah. Masalah kemampuan sumber daya manusia bisa jadi alasannya, tetapi dengan kesadaran kemakmuran bagi masyarakat Bali, maka prioritas pendidikan ketrampilan dan kesempatan kepada masyarakat Bali harus diupayakan oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah.

Itulah fenomena yang bisa dilihat dibali sekarang ini, bagaimana dengan orang Bali yang merantau apakah ada perubahan sikap mentalnya ? Hubungan sosial sesama orang Bali diluar Bali relatif lebih baik, lebih moderat, walaupun masih ada segelintir orang yang membawa peninggalan hub sosial berlapis ke luar Bali, tetapi itu tidak ada manfaatnya. Keakraban ini mungkin karena merasa senasib sesama perantau, ini adalah hal yang umum secara psychologis. Umumnya mereka menikmati hidup diluar Bali dan sesekali ke Bali menengok keluarga, tidak ubahnya seperti wisata. Ada sebuah keluarga yang tidak bersedia pindah ke Bali ketika ditawari pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih besar dengan keadaannya sekarang. Alasannya dia tidak kuat dengan kehidupan adat di Bali, seperti contohnya pada Hari Raya Galungan, persiapan persembahyangan sangat banyak dan menyita aktifitas fisik yang banyak untuk pembuatan banten, dll. padahal diluar Bali dia cukup menyiapkan Canang dan buah lalu ke Pura bersama keluarga sudah cukup dan mantap bersembahyang. Sehari-hari cukup dengan Gayatri Mantram kadang dilanjutkan dengan ”Japa” memegang Gnitri, terasa sangat baik komunikasi dengan Sang Pencipta, yang mana tidak bisa dia dapatkan jika menjadi masyarakat Bali. Pada hari-hari tertentu belajar mekidung baik Bali atau kidung setempat dan anak-anak mereka belajar menari dan agama Hindu di Pura, jadi suasana yang sederhana, akrab, tanpa menghilangkan kadar ke-Hinduan. Terhadap permasalahan Bali ini, secara umum orang Bali di rantau bukannya tidak peduli dengan keadaan di Bali, tetapi mereka tidak punya kemampuan untuk merubah cara-cara di Bali yang kurang pas dijaman sekarang ini karena sudah mendarah-daging dimasyarakat, jadi mereka berpendapat biarlah Bali seperti itu diluar Bali kita beda. Apalagi diluar Bali akan berinteraksi dengan etnis lainnya seperti : Jawa, Dayak kaharingan, Batak, Bugis, dll yang pasti juga punya adat dan tata-cara sendiri dalam berkomunikasi kepada sang Pencipta, sehingga perlu format yang lain dalam ber-sosial masyarakat tidak seperti di Bali murni. Masalah diluar Bali lebih kepada ”kearifan untuk ber-interkasi dengan etnis lainnya dalam satu payung agama Hindu”. Untuk diluar Bali mungkin suatu saat nanti ketika perwujudan doa bukan lagi tertuang kedalam bentuk banten tetapi tertuang pada Mantram Sang Pandita (Brahmana/Sulinggih) atau Pinandita (Pemangku), maka banten nanti akan sangat sederhana dan murni sebagai persembahan, bukan perwujudan Doa.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-01-2009.
PERUBAHAN PARADIGMA UMAT TENTANG SULINGGIH


Kita mulai saja pada era kedatangan “Panca Tirta” ke Bali atas permintaan Raja Udayana Warmadewa / Gunaprya Darmapatni. Panca Tirta (Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan,Mpu Bharada) kecuali Mpu Bharada datang ke Bali pada abad XI untuk membantu pemerintahan Raja Bali waktu itu karena masyarakat Bali yang menganut Sad Paksa (Enam Sekte) yang selalu menimbulkan pertentangan dimasyarakat. Atas peran Catur Sanak ini terutama Mpu Kuturan dengan Kemulan Rong Tiganya, maka Bali aman. Catur Sanak berparhyangan di Lempuyang Madya (Mpu Gnijaya), Besakih (Mpu Semeru), Gelgel (Mpu Ghana), dan Silayukti (Mpu Kuturan).

Kalau kita fokus ke ”Besakih”, maka waktu itu Pujawali dipimpin oleh Mpu Semeru dan Parhyangan beliau sekarang di Besakih dikenal dengan Pura Caturlawa. Pada generasi berikutnya Pujawali di Besakih dipimpin oleh Sang Sapta Pandita (Leluhur Pasek) yang merupakan putra dari Mpu Gnijaya. Walaupun Sapta Pandita ini tinggal di Jawa (Kuntuliku Desa/ diperkirakan sekitar Malang), tetapi beliu tidak lupa ke Bali (Mangejawa-Mangebali) setiap ada persembahyangan di Besakih memuja Hyang Widhi dan para Leluhur. Beberapa puluh tahun kemudian yaitu sekitar Abad XV dan sesudahnya yaitu sesudah Danghyang Nirarta ke Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong terjadi perubahan strata masyarakat, termasuk yang memimpin persembahyangan di Besakih. Sudah lama kita mengenal ”Tri Shadaka”. Istilah ini adalah untuk Sulinggih yang ”Muput” pada piodalan di Besakih oleh tiga Sulinggih saja, yaitu : Pedanda Siwa, Pedanda Budha, dan Bujangga, Pada abad XIX setelah Era Kemerdekaan, wacana kesetaraan Sulinggih dengan istilah ”Sarwa Shadaka” muncul artinya semua Sulinggih Pedanda, Mpu, Sri Mpu (Pande), Bhagawan, Rsi, dan Bujangga, punya hak yang sama untuk Muput di Besakih. Secara legal adalah dengan keluarnya Bhisama PHDI Pusat tentang Sarwa Shadaka ini. Sehingga sekarang ini Piodalan di Besakih sudah dipimpin oleh Sarwa Shadaka. Walaupun demikian masih ada keengganan untuk Muput dengan Sulinggih lain atau usaha-usaha untuk tetap suatu Upacara dipuput oleh Satu Sulinggih saja atau oleh Tri Shadaka ini bisa dilihat dikota-kota besar yang tingkat publikasi kemasyakat (Nasional atau internasional) tinggi. Ini bisa juga terjadi karena ketidak tahuan (kalau tidak mau disebut kebodohan) umat akan hakekat Sulinggih. Bisa dimaklumi karena keadaan ini sudah berlangsung ratusan tahun.

Bagaimana Paradigma umat sekarang ini terhadap Sulinggih ? kita bisa lihat dengan jelas dimasyarakat. Umat masih mengangung-agungkan Sulinggih, itu boleh karena beliau orang yang sudah Dwijati yang perlu kita hormati dan dekati supaya memperoleh ajaran kesucian. Tetapi jika membeda-bedakan ini yang tidak boleh. Di suatu acara misalnya Peresmian suatu ”Ashram” umat mengundang Sulinggih dan itu bagus, sayangnya kenapa disetiap Moment penting itu para Walaka tidak memanfaatkan menyatukan Sarwa Shadaka, apakah khawatir nanti ada Sulinggih yang diharapkan ternyata tidak mau hadir ? kalau itu benar kita langsung bisa tahu tingkat kerohanian Sulinggih tersebut. Atau ini hanya mempertahankan superioritas masa lalu ? saya tidak mau masuk kewilayah itu karena politis adalah menjerumuskan sehingga kita harus memakai rohani (kebersihan jiwa) sebagai penuntun. Dilain fihak ada suasana yang lain, kalau diatas ”Mengagungkan”, maka beberapa kawan justru menjadi kena masalah karena ”Pertanyaannya kepada Sulinggih”. Seorang kawan dihadang dengan Sesana, bahwa Seorang walaka atau Pinandita tidak berhak mengkritik seorang Sulinggih. Pertanyaan dari kawan ini yang sesungguhnya masukan dimaknai sebagai kritikan. Seorang kawan yang lain juga dimintai penjelasan oleh Lembaga Umat Hindu karena tulisannya yang miring tentang Sulinggih, bahkan beberapa oknum Lembaga Umat (bukan lembaganya) sudah terlalu jauh ingin memaksakan kehendaknya pada kawan ini. Kenapa umat (walaka) seperti kebakaran jenggot ? karena Sulinggih tertentu ini ditempatkan bagai Mutiara yang tidak boleh disentuh, padahal komentar terhadap Sulinggih dan isi dahmawacananya bukan baru kali ini tetapi sudah banyak namun belum terpublikasi jadi hanya berupa obrolan biasa ditataran bawah atau ada disanpaikan langsung saat darmawacana. Apa fenomena yang terjadi dimasyarakat sekarang ini. Jawabannya adalah ”sudah terjadi perubahan Paradigma Umat terhadap Sulinggih”. Jika kita simak lagi dengan lebih jernih, maka akan terlihat, bahwa : Apa yang dilakukan oleh dua kawan ini tidak keliru, yaitu yang satu bertanya dan yang satu menulis fakta yang terjadi berupa Darmatula yang disaksikan masyarakat, jadi kalau itu keliru maka masyarakat bisa menilai. Kalau ternyata masih ada benturan atau tanggapan, maka kemungkinannya adalah, masih ada yang bertahan dengan Superioritas, dan masih ada yang belum terbuka wawasannya, sekaligus ini adalah tantangan bagi Sulinggih dijaman yang serba kritis ini untuk siap dikritik atau ditanya oleh umat, tentunya umat harus tetap sopan santun. Siapa yang punya tanggung jawab akan perubahan ini, ya kita semua. Bagi Sulinggih kita berharap tidak henti-henti memberikan Jnana Punia kepada umat disamping Muput jadi harus jelas Muput atau Dang-acarya (memberikan siraman rohani), Sulinggih jangan membedakan diri dengan Sulinggih lainnya karena umat akan menilai tingkat kerohaniannya, Sulinggih jangan duduk dipimpinan organisasi keumatan biarkan itu dipegang Walaka tetapi sebaiknya di Paruman Sulinggih saja sesuai dengan konsep Wiku dan Natha, Walaka jangan memecah-mecah Sulinggih malah kita dorong setiap moment untuk menyatukan mereka, Walaka jangan buta pengetahuan akan Sulinggih sehingga menjadi arogan dan fanatik pada Sulinggihnya saja karena Sulinggih itu milik bersama, bagi pejuang-peluang kebenaran, maka lakukan terus jangan berhenti tetapi tetap dengan sesana yang baik. Bagaimana dengan penulis ? Jika ini adalah melanggar Sesana karena memberi masukan kepada Sulinggih, maka biarlah penulis yang menaggung dosanya, walaupun penulis tetap menyadari, bahwa yang bisa dengan bijaksana menentukan benar atau salah hanya Hyang Widhi. Semoga kebenaran datang dari segala penjuru.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
03-07-2005.
MENGGUGAH SRADHA DAN BHAKTI UMAT HINDU
(Laporan Dharma Shanti Umat Hindu Surakarta)


Pada tanggal 27 Maret 2005 sekitar pukul 13.00-17.00 wib di Pendopo Agumg STSI Surakarta, umat Hindu Surakarta kembali mengadakan Dharma Shanti Hari Raya Nyepi/ Tahun Baru Saka 1927 yang sudah sekitar 5 tahun tidak dilakukan. Acara ini dilaksanakan oleh PHDI Kota Surakarta dengan segenap umat Hindu diwilayah Surakarta yang jumlahnya sekitar 75 KK terbagi kedalam tiga banjar, yaitu : Banjar Solo Timur, Tengah, dan Barat. Umat Hindu Surakarta yang tidak begitu banyak jumlahnya ini terdiri dari : TNI/Polri, Dosen STSI, Karyawan Suasta, Pegawai Negeri, dll. Pelaksanaan Dharma Shanti kali ini berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya karena pelaksana lapangan diserahkan kepada FPHS (Forum Pemuda Hindu Solo) yang baru terbentuk 20 Januari 2005 lalu, tujuannya adalah untuk memberdayakan Para Pemuda Hindu, karena Pemuda yang sebagian besar Mahasiswa yang tergabung juga dalam KMHD ini jumlahnya tidak sebanyak Pemuda Hindu di Jogjakarta misalnya, sehingga perlu didorong kiprahnya untuk lebih punya peran dimasyarakat. FPHS ini diketuai oleh Arie Sidarta, Sekretaris Kadek Sudiatmaja. Panitia Dharma Shanti Tahun Baru Saka 1927 : Pelindung : Walikota Surakarta, Depag Kota Surakarta, dan Parisada Kota Surakarta, Ketua : Tri Wahono, Sekretaris : WSB Candrawati, Kadek Sudiatmaja, Bendahara : Dwi Utami Dharmastuti, Nining Wulandari.

Tamu undangan yang hadir terdiri dari : Walikota Surakarta diwakili Les Bang Linmas Drs.Joko Pangarso,MM, Kodim Surakarta, Kapolres Surakarta, Camat Jebres, Kapolsek Jebres, Danramil Jebres, Depag Surakarta, Forum Lintas Agama, dan Ketua STSI Prof.Dr.H.Soetarno. Umat yang hadir disamping dari Wilayah Surakarta, juga umat Hindu dari Sukoharjo, Klaten, Boyolali, dan Karanganyar sehingga jumlah keseluruhan yang hadir sekitar 600 orang. Umat ini sebagian besar (sekitar 80%) adalah umat Hindu asal Jawa. Ketua PHDI Surakarta Bapak Dr. I Made Setiamika,Sp.THT dalam sambutannya yang diwakili oleh Sesepuh PHDI Surakarta (Ketua PHDI sebelumnya) Sunarto S.Ag. mengajak umat menghayati pelaksanaan Hari Raya Nyepi dengan meneladani Bangsa Saka dengan Rajanya Kaniska I yang telah merubah strategi perjuangan bangsa sebelumnya yang berkuasa dari berorientasi politik dan militer menjadi strategi budaya demi stabilitas dan persatuan. Tahun penobatan Raja Kaniska I merupakan awal dimulainya Tahun Saka (21 Maret 79 Masehi). Sambutan-sambutan juga dilakukan oleh para tamu undangan, seperti : Depag Surakarta, Les Bang Linmas, dan Ketua STSI. Acara Dharma Shanti diawali dengan Persembahyangan bersama, dilanjutkan Tari Gabor persembahan Mahasiswa STSI Surakarta, Tari Cakil Srikandi, pembacaan Sloka & Palawakya oleh : Ni Made Ary Kuswanti, I Nyoman Ary Kuswanta, Ni Wayan Kustiyani, juga Gamelan dari Dosen dan Mahasiswa STSI Surakarta dan Tari Topeng Tua oleh Nyoman Cahya Skes,M.Hum. Acara juga diisi Dharma Wacana yang disampaikan oleh Bapak I Nyoman Putra, S.Ag,Msi,, pendarmawacana dari Surabaya.


Sradha dan Bhakti Umat Hindu
Pada kesempatan Acara Dharma Wacana Bapak I Nyoman Putra tampil dengan gaya Orator dan pembawaan khas yang tidak dimiliki oleh Pendharma Wacana lainnya, Dari dialog secara bergantian dengan dua orang pemuda setempat diajukan pertanyaan yang sederhana, seperti : Agamamu apa, sampai kepada pertanyaan jika bertemu dengan gadis cantik yang mengajak pindah agama apa bersedia ,dan pertanyaan-pertanyaan lainnya mampu menggugah “Sradha (kepercayaan)” umat yang hadir. Juga ketika dialog dilakukan kepada pemeran lainnya yang ditanyakan tentang : Berapa kali sembahyang setiap hari, siapa yang paling dicintai antara Hyang Widhi dibandingkan pacar, dan lain-lain telah menggelitik umat akan seberapa kuat Bhakti pada Hyang Widhi. Selama ini tidak pernah ada yang menanyakan kepada kita seberapa kuat Sradha dan Bhakti kita dengan alasan, bahwa kepercayaan kepada Hyang Widhi adalah hubungan sangat pribadi dan sifatnya vertical yaitu hubungan pribadi umat tersebut dengan Hyang Widhi, sehingga tidak perlu orang lain tahu. Tetapi, dialog antara Bapak Putra dengan Pemeran jika itu dihayati merepleksikan dialog didalam diri kita sendiri. Dari hal itu, maka sesungguhnya kita sudah bisa menjawab sampai seberapa jauh Sradha dan Bhakti kita sebagi umat Hindu. Disisi lain kehadiran umat Hindu asal Suku Jawa diacara Dharma Shanti ini seperti memperoleh momentnya karena disela-sela Dharmawacana juga diselipkan Filosofi Jawa jaman Ronggowarsito juga nyanyian-nyanyian tradisional Jawa seperti : Cublek-Cublek Suweng yang ternyata memiliki filosofi yang tinggi. Kebiasaan menyelipkan pesan moral dalam sebuah Nyanyian memang banyak dilakukan oleh leluhur kita dulu yang perlu disimak makna yang terkandung didalamnya. Salah seorang umat Jawa yang serius mendengarkan Dharmawacana mengatakan, bahwa Orang Jawa sekarang sudah banyak yang tidak tahu makna dibalik nyayian tradisionil Jawa yang mengandung ajaran moral yang adiluhung.

Ada kalimat yang masih ter-ngiang dalam acara dialog Bapak I Nyoman Putra dengan Pemeran yang disampaikan dengan sangat Heroik bahwa “Merah Darahku Putih Tulangku, dan Hindu Agamaku”. Semoga Sradha dan Bhakti kita sebagai umat Hindu bisa diperkuat melalui semangat mencintai Agama Hindu sebagai agama yang kita yakini dan juga dianut oleh leluhur kita jaman dahulu termasuk leluhur kita di Jawa. Selamat Hari Raya Nyepi/ Tahun Baru Saka 1927 Semoga kedamaian datang dari segala penjuru.





Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana 12-04-2005
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah