Kamis, November 13, 2014

"PATIWANGI" adalah Pemurnian Wangsa


Tradisi Bali yang Adiluhung, menjadi modal dasar perkembangan kehidupan umat di Bali sehingga mendapat perhatian kita semua termasuk dari lembaga seperti PHDI. Tradisi Bali ini tertuang dalam bentuk karya seni (tari, ukir, pahat), sastra (rontal), juga dalam bentuk langsung berujud etika yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya. Tradisi ini berkembang mengikuti jaman mulai dari jaman bali kuno, jaman Wangsa Warmadewa seperti Udayana menguasai Bali (sekitar tahun 1.000), jaman Majapahit menguasai Bali dengan menempatkan Dalem sebagai Adipati sekitar tahun 1350, kemandirian Bali sekitar tahun 1.500 karena Majapahit beralih kepercayaan rajanya ke Islam sehingga Bali terbentuk kerajaan kecil di Sembilan tempat (8 kabupaten plus Mengwi), masuknya penjajah abad XVI dengan Kastanya, dan jaman kemerdekaan 1945 dimana Bali dengan Desa Pakramannya mempertahankan tradisi leluhur, namun pengaruh penjajahan terakhir dengan Kastanya tetap terbawa. Untuk hal itu Lembaga umat yang disebut PHDI mengeluarkan Bhisama dengan melarang untuk dilaksanakan tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu Tat Twam Asi, seperti tradisi kesekepang, juga dalam perkawinan seperti : Anglangkahi karang hulu, asu pundung, dan patiwangi, namun entah karena sosialisasi PHDI yang belum baik atau karena  masyarakat yang masih ingin menjalankannya, kasus Patiwangi ini masih terjadi di tahun 2014 ini.

Seorang teman bertanya pada penulis terkait anak lelakinya yang mengawini anak perempuan yang disebut ber-Kasta, walaupun kasta ini salah kaprah yang perlu diluruskan. Menurut teman ini ada dua upacara yang dilakukan di keluarga perempuan yaitu : “Mepamit dan yang kedua istilah teman itu turun Kasta (cq. Patiwangi)”, apakah ini sesuai dengan ajaran Hindu, demikian pertanyaan teman itu. Saya menjawab : Acara mepamit sesuai ajaran Hindu karena dalam ajaran Weda ada disebut ketika seorang anak perempuan menikah, maka orang tua si lelaki akan menjadi orang tua si perempuan, maka di Bali diterjemahkan dengan Mepamit, kemudian upacara Patiwangi (turun kasta) itu tidak ada dasar tattwanya, malah kalau Hyang Widhi bisa kita dengar mungkin Beliau akan berkata “Hanya AKU yang berhak menilai seseorang itu derajatnya tinggi atau rendah”. Disamping itu orang tua seharusnya mendoakan anak perempuannya yang akan menikah bukan malah menurunkan derajatnya (turun kasta). Karena penasaran dan juga dilandasi pemikiran positif, bahwa warisan budaya leluhur tentu niatnya untuk kebaikan, mungkin kita yang mencemari dengan faham feodal (Kasta) atau kita salah menerapkannya, untuk itu penulis mencari info keteman yang sekali lagi disebut ber-kasta, dan jawaban teman ini sangat benar dan masuk akal. Kata beliau, ini bukan upacara turun kasta, namun “Upacara beralih Wangsa” tidak ubahnya seperti berganti baju. Jawaban teman ini kemudian membuka wawasan lebih luas bahwa “Pemurnian Wangsa” sangat menjadi konsen dari Umat Hindu di Bali.


Selain membahas Pemurnian Wangsa, maka perlu disampaikan bahwa ada 3 hal yang dicampur-adukkan di Bali, yaitu : WARNA, WANGSA, KASTA. “Warna” adalah ajaran Weda yang berkenaan dengan profesi seseorang berdasarkan Guna (bakat) dan Karma (perbuatannya/karmanya), bisa menjadi Brahmana, Ksatrya, Wesya, Sudra, “bukan karena keturunan”. Kemudian   “Wangsa” adalah ikatan Pasemetonan/persaudaraan dalam satu trah/clan/wit, yang tujuannya mengikat tali persaudaraan sepurusa/garis lelaki. “Kasta” adalah produk penjajah abad XVI yang menjungkir balikkan Warna dan Wangsa menyimpang dari makna sesungguhnya karena dibentuk atas-bawah, tinggi-rendah. Yang masih menjadi problem di Bali adalah system Kasta ini yang justru masih ada di masyarakat walau sudah menurun dengan drastis tetapi masih ada, seperti upacara Patiwangi itu, dll.  Terkait dengan Wangsa, menurut penelitiaan Prof Pitana ada lebih dari 21 organisasi Soroh/Clan/Wangsa yang sudah terbentuk sejak tahun 1960 dan itu akan berkembang terus. Dengan demikian saat ini Wangsa menjadi hal penting bagi masyarakat Hindu di Bali yang tujuan utamanya untuk meningkatkan bhakti kehadapan Bhatara Kawitan yang
selanjutnya ingin “memurnikan” wangsa tersebut lewat acara Patiwangi. Jika Patiwangi adalah turun kasta, maka itu adalah kesalahan dan jangan diteruskan, namun jika Patiwangi adalah Pemurnian Wangsa, maka Wangsa lainnya seperti Pasek, Pande, dan lainnya yang karena kesalahan-fahaman Kasta disebut Sudra dapat juga melakukan acara Patiwangi bukankah sama situasinya, atau jika kita tidak memerlukan acara itu maka tidak perlu dilakukan apalagi acara itu bukan dasarnya Weda namun hanya dresta terkait Wangsa, agar kita kembali kepada Yadnya yang benar yaitu Panca Yadnya dimana perkawinan adalah bagian dari Manusa Yadnya. Ikatan Wangsa dewasa ini dicurigai sebagai bentuk peng-kotak kotakan masyarakat bali sehingga menjadi tidak bersatu, apalagi ditambah mindset yang keliru bahwa yang satu lebih tinggi dari yang lain itu harus dirubah mulai sekarang agar generasi penerus mewarisi sesuatu yang baik. Leluhur sudah mengajarkan kekuatan Wangsa ini di Bali seperti di Pura besakaih yang dilambangkan sebagai Padma Asta Dala (teratai berdaun delapan), kelopak kelopak teratai sebenarnya mencerminkan Wangsa di Bali sehingga pertama yang kita jumpai kalau kita ke Pura Besakih adalah banyaknya Kahyangan pemujaan kawitan (Atma pratista), ini berarti leluhur sudah menyadari bahwa Wangsa ini merupakan asset yang perlu dipertahankan dan diwariskan secara turun temurun, untuk itu dasar kebenaran sebagai intisari Wangsa harus dikembalikan kepada aslinya yaitu bhakti, karena bhakti pada Leluhur adalah paramo dharmah (dharma yang utama). Jangan ikatan Wangsa menjadikan kita terkotak, meninggi dari yang lain, apalagi ada kecendrungan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, maka sinyalemen bahwa Wangsa hanya akan memecah orang Bali bisa menjadi kenyataan.



Akhir kata  apapun itu maka “Pemurnian Wangsa” ini seperti mengembalikan kejaman leluhur kita dulu, semoga ini semakin meningkatkan Bhakti pada Bhatara Kawitan masing masing yang dapat memberi kebahagiaan kepada Prati sentana dan pada akhirnya ,memberi kebahagiaan pada masyarakat, karena kebahagiaan pada masyarakat dimulai dari kebahagiaan pada keluarga. Rahajeng


Penulis,

JMk Nyoman Sukadana
Gn.Rinjani-Paket Agung-Singaraja                                                                        13-11-2014


PAGERWESI Pemujaan Dewa Ganesa


Pada buda keliwon Sinta atau setiap 210 hari, umat Hindu di Bali khususnya daerah Bali utara merayakan salah satu hari raya yang penting yaitu Pagerwesi.  Hari raya ini secara umum difahami sebagai persembahan kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Paramesti Guru, hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam Lontar Sundarigama, menjelaskan bahwa Pagerwesi sebagai hari pemujaan kepada Sanghyang Paramesti Guru yaitu Hyang Widhi yang diwujudkan dalam bentuk guru. Makna Pagerwesi ini diwujudkan dalam bentuk perayaan yang menguatkan ikatan kasih sayang antara putra (Anak/sentana) dengan Guru Rupaka, juga orang tua lainnya seperti paman,dan bibi, dibeberapa keluarga menerapkannya dalam wujud Sungkem (Pada Samskara) kepada orang tua, kebiasaan sungkem ini perlu dibudayakan karena ini adalah ajaran Hindu yang sudah jarang dipraktekkan yang perlu dikembalikan sebagai bagian dari prilaku kehidupan beragama Hindu. Upacara Pagerwesi ini rupanya tidak hanya dilaksanakan di Indonesia saja namun juga di Jambu dwipa atau ditanah Bharata yaitu India sebagai sumber ajaran Hindu tempat diterima Wahyu lewat Sapta Maha Resi. Pagerwesi di India disebut dengan Raksa Bandha dengan tujuan yang sama yaitu mengikat atau menguatkan tali kasih antara Sentana dengan orang tua (ayah, ibu, paman, bibi, dll), ikatan kasih sayang ini lebih luas antara suami dengan istri, anak dengan bibi/paman, dan sebagainya sehingga Pagerwesi ini ibaratkan Valentine Day atau hari kasih sayang yang sekarang ini menjadi trend khususnya anak muda, jadi Hindu sudah punya Pagerwesi sebagai hari raya untuk menguatkan ikatan kasih sayang.


Hubungan antara India dengan Indonesia khususnya Bali sebenarnya sangat kuat sehingga hampir semua hari raya yang ada di Indonesia, seperti Galungan-Kuningan, sampai Tumpek juga di India ada, namun karena perbedaan tradisi budaya serta letak geografis, maka secara Makna sama namun secara budaya dan waktu berbeda, dimana kita menganut tiga Pangalantaka : Surya Premana (Solar System), Candra Pramana (Lunar System), dan Sasih (Climate/Dawuh). Di Indonesia kebanyakan memakai Sasih/Dawuh/Pawukon, sementara di India : Surya Pramana dan Candra Pramana. Dengan demikian kita agar bijaksana menyikapi hal ini bahwa tradisi yang kita anut berbeda dan jangan hal itu menjadi sebuah pertentangan namun fokuskan pada Tattwa atau ajarannya maka kita akan merasa sama sebagai umat Hindu walau dengan tradisi yang berbeda. Kembali kepada Pagerwesi, bahwa jika disimak lebih dalam, ada hubungan yang erat antara setiap upacara yang dilakukan di Bali, seperti Hari raya Pagerwesi ada kaitannya dengan hari raya Saraswati dan Soma ribek/ Sabuh Mas/ sabuh pipis. Ketiga perayaan ini merupakan kebutuhan manusia sehingga perwujudan Dewa Dewi dalam ketiga perayaan ini menjadi satu kesatuan (unity) atau disebut juga Trinitas seperti halnya Trinitas lainnya yaitu Brahma-Wisnu-Siwa. Berikut mari kita simak dari sisi Makna setiap upacara tersebut dalam kaitannya dengan kehidupan karena hubungan antara Hyang Widhi dengan Bhakta yaitu kita umat Hindu sangatlah erat, karena Atman dalam diri kita adalah bagian dari Brahman itulah sebabnya diajarkan kepada kita untuk melakukan Upacara dimana Upa artinya  dekat, dan Cara/Caru artinya  Manis/harmonis, sehingga Upacara adalah suatu cara membina keharmonisan sesuai ajaran Tri Hita Karana antara manusia dengan Hyang Widhi dan alam (termasuk bhuta). Sementara alat yang kita pergunakan untuk melaksanakan upacara disebut Upakara (Bebantenan) dimana Upa berarti dekat dan Kara berarti tangan, yang makna umumnya Upakara merupakan perwujudan bhakti minimal dengan “Nyakupang tangan” dan bentuk hasil usaha manusia dengan tangannya berwujud hasil karya banten dengan ukirannya, bentuk bhakti berupa buah dan hasil bumi lainnya termasuk kemampuan seni dengan menari yang dipersebahkan yang juga bermakna persembahan bhakti. Upacara-upacara pemujaan kepada Dewa-Dewi ini perlu difahami maknanya bukan hanya menjalankan saja (mule keto) agar setiap pelaksanaan upacara menjadi dijiwai dengan dalam, mantap dan tidak tergerus oleh jaman atau berubah wujud dan makna menjadi tidak sesuai dengan sejatinya. Kembali kepada hubungan antara Saraswati – Pagerwesi – Soma ribek/sabuh Mas, ketiganya merupakan kebutuhan manusia yang hakiki, yaitu :

Hari Raya SARASWATI, yang dilaksanakan pada setiap Saniscara Umanis Watugunung atau setiap 210 hari sekali (6 bulan) tujuannya memuja Dewi Saraswati sebagi sumber ilmu pengetahuan. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan, karena Weda menyebutkan tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia ibarat orang buta yang berjalan dalam kegelapan tidak tahu kemana arah tujuannya. Hari raya Saraswati di Bali diwujudkan dengan melakukan persembahan lewat buku/ilmu pengetahuan dan menjadi kebiasaan yang salah diartikan bahwa hari itu tidak boleh membaca justru hari itu perlu menyadari sumber ilmu pengetahuan itu dari Hyang Widhi, maka dimaknai agar hari itu kita focus memuja Dewi Saraswati dengan merenung/memuja dan belajar kerohanian sehingga memperoleh Ilmu pengetahuan yang keesokan harinya diwujudkan dalam Banyu Pinaruh (Banyu Pini-Weruh) atau air ilmu pengetahuan. Di Mrajan Dewi Saraswati dilinggihkan dan disebut sebagai Taksu, maka ada Taksu Dalang, Taksu Pemangku, Taksu Pragine, yang mana makna Taksu tersebut adalah Pengetahuan karena pengetahuan menyebabkan manusia me-taksu.


Hari raya PAGERWESI, yang jatuh pada Buda Keliwon Sinta atau setiap 210 hari sekali adalah hari kasih sayang antara Sentana dengan Guru Rupaka atau pemujaan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Sanghyang Paramesti Guru. Pagerwesi juga bermakna Pagar atau pelindung dan Wesi berarti Besi, sehingga pagar pelindung yang paling utama adalah moral atau rohani yang baik, itulah sebabnya Pagerwesi adalah pemujaan kepada Dewa Ganesa yang merupakan Dewa penembus segala halangan dan juga simbul Spirituatas (rohani/moral yang baik). Manusia boleh saja memiliki Ilmu pengetahuan namun perlu juga memiliki rohani/spiritualitas yang baik agar ilmu pengetahuan bisa dipergunakan kejalan yang benar, jangan sampai ilmu pengetahuan disalah gunakan sehingga korupsi besar justru dilakukan kebanyakan oleh orang yang pintar, sementara orang bodoh tidak akan sampai ketataran itu. Jadi rohani yang baik merupakan kebutuhan manusia untuk memurnikan ilmu pengetahuan. Secara simbolis Dewa Ganesa memegang Lontar pengetahuan suci dan Dewa Ganesa sebagai pembersih/penglukat sehingga Caru yang tinggi adalah “Caru Rsi Ghana”. Sekarang ini salah kaprah dimasyarakat dimana Dewa Ganesa disamakan dengan Penjaga atau Penunggun Karang sehingga dapat dilihat ditembok atau diluar rumah dilinggihkan, seharusnya linggihkan di Mrajan atau setelah pintu masuk karena ketika ada orang yang hadir/mampir disucikan oleh Dewa Ganesa, walaupun sebenarnya sudah ada Pelinggih Lebuh didekat pintu masuk sebagai pemujaan Dewa Baruna. Ciri pelinggih umat Hindu di Indonesia (khususnya Bali) adalah berwujud “Stana/Linggih” Dewa-Dewi, sementara India berwujud Personifikasi, sehingga Simbul Dewa Ganesa adalah adopsi dari India yang sekarang sedang marak karena pola pikir masyarakat Bali secara umum yang selalu khawatir (khawatir di leak tetangga, khawatir di kantor, dll) maka setiap pemujaan diarahkan untuk menjaga, sehingga Dewa Ganesa diartiakan sama dengan Penunggun Karang, padahal Rohani yang baiklah yang akan menyelamatkan atau menjaga kita.


SABUH MAS / Sabuh Pipis atau soma ribek dilaksanakan pada setiap 210 hari sekali sebagai bentuk pemujaan kepada Dewi Sri (Sri Sedana) yaitu Dewi kemakmuran. Manusia boleh saja memiliki Pengetahuan dan juga spiritualitas, namun jika tidak memiliki kemakmuran artinya tidak memiliki Artha yang dalam Weda disebut alat untuk mencapai tujuan, maka Pengetahuan dan Spiritualitas tersebut tidak sempurna. Dalam bahasa awam kalau kita tidak ada dana bagaimana bisa mengejar pengetahuan dan bagaimana spiritualitas bisa stabil kalau keuangan tidak mencukupi untuk menata kehidupan, sehingga kemakmuran merupakan salah satu kebutuhan pokok umat Hindu. Dewi Sri/Dewi Laksmi, di Bali disebut Dewa Ayu Melanting yang dipuja di Pelinggih Gedong Sari/ Sri Sedana atau bagi pedagang menyebut Bhatara Rambut Sedana. Di Mrajan dilinggihkan berderet dengan Pelinggih Taksu.


Dengan demikian bisa disimpulkan, bawa manusia membutuhkan : SARASWATI (Ilmu Pengetahuan), GANESA (Spiritualitas/Pagerwesi) dan SRI MAHA LAKSMI (Kemakmuran/Sabuh Mas)
    


Penulis,

JMk Nyoman Sukadana
Gn.Rinjani-Paket Agung-Singaraja                                                                         13-10-2014


Piodalan ”PURA PEMACEKAN” Karanganyar-Solo-Jawa Tengah



”Pura Pemacekan” atau dikenal juga dengan sebutan  ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita”  setiap tahun pada Purnama Katiga melaksanakan Piodalan, pemilihan Purnama Katiga ini didasarkan pertimbangan oleh Penglingsir, untuk memberi kesempatan kepada Sulinggih dan umat untuk Bhakti karena kalau Purnama lainnya terutama Purnama Kapat akan sangat sibuk di Bali. Piodalan kali ini jatuh pada 09  September 2014 Nyejer 3 hari (Nyineb 11 September 2014). Untuk tahun ini Penanggung jawab upakara adalah MGPSSR Kabupaten Karangasem dibawah Koordinasi Ketua MGPSSR  Karangasem I Gede Pawana Sag,MFILH. Seperti biasa Pengempon Pura membentuk panitia kecil untuk nyanggra atau mendukung kelancaran piodalan.

Pelaksanaan Piodalan :
Diawali dengan matur piuning dan Nunas tirta di Candi Ceto oleh Pemangku Pura Jero Mangku Made Murti. Persembahyangan Beji dilaksanakan pada sore hari 8 September 2014 dipuput oleh tiga Sulinggih, yaitu Pandita Mpu Jaya Sattwikananda-Griya Taman Bali Bangli,  Pandita Mpu Jaya Wasisthananda-Griya A Yani Denpasar dan Pandita lainnya. Prosesi dilaksanakan dengan ngusung Pratima Ida Bhatara ke Beji diiringi oleh para Pemangku dan umat, dilanjutkan dengan persembahyangan, dan mewali melinggih di Bale Piyasan. Puncak piodalan pada pagi hari 09 September 2014 dipimpin oleh : 7 (Tujuh) Pandita, dimana 5 diantaranya adalah Sulinggih dari Karangasem, prosesi dipandu oleh Pemangku Pura Jero Mangku Pasek agar acara berjalan tertib. Disela-sela yadnya juga dipentaskan Tari Topeng oleh I Nyoman Chaya dan diiringi gamelan yang membuat suasana semakin religius. Ratusan umat yang hadir larut dalam bhakti pada Beliau yang agung dan suci dimana ratusan kilometer ditempuh sebagian umat itu untuk bisa hadir menghaturkan bhakti. Sebelum selesai prosesi upacara, Ketut Nedeng sesepuh yang sejak awal terlibat dalam pembangunan Pura memberikan dharmawacana dan pemaparan sejarah pembangunan Pura agar umat yang hadir faham dengan keberadaan Pura. Sekitar Jam 11 wib seluruh prosesi yadnya selesai dilaksanakan dan umat serta Sulinggih kembali ketempat masing-masing dengan perasaan puas, bangga, dan haru telah bisa hadir sungkem kehadapan Bhatara Kawitan. Setelah Nyejer 3 hari, maka pada 11 September 2014 hadir semeton dari Singaraja ngiring Ida Pandita Mpu Dharma Mukti Sidha Kerti – Griya Tukadmungga yang memimpin Upacara Nyineb, dengan demikian selesai sudah prosesi Piodalan tahun ini semoga bisa kembali dilaksanakan pada tahun depan dan memberi kesempatan kepada damuh Ida Bhatara yang belum bisa tangkil.

Ada perubahan penampilan Pura Pemacekan.

Mengingatkan kembali, bahwa Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan diketahui keberadaannya atas pewisik Niskala yang diperoleh Jro Mangku Gde Ketut Subandi dan ditemukan pada 10 Maret 1984, juga peran Sulinggih seperti Ida Mpu Renon, Ida Bongkasa, Ida Dwi Tantra, dan lain lain serta tokoh umat seperti Ketut Nedeng, Merta Suteja serta lainnya, melalui aktifitas mereka akhirnya berdiri Pura pemacekan. Petilasan itu sendiri berupa 2 gundukan batu yang oleh penduduk setempat dihormati sebagai tempat orang suci, pengelolaannya waktu itu oleh Mbah Wiryo penduduk setempat. Orang Suci tersebut adalah Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan hijrah dari Jawa Timur ke Karanganyar/Surakarta pada Era runtuhnya Majapahit, menetap di Dukuh Pasekan/Dusun Keprabon, dan jadi rohaniawan kerajaan Surakarta. Walaupun banyak yang mau memugar Petilasan ini tetapi Ibu Tarjo (Almarhum)  yang memiliki tempat ini mendapat petunjuk Niskala, bahwa akan ada trah beliau dari Bali yang akan memugar tempat ini. Pemugaran sederhana dilakukan pada tahun 1986-1988. Pada 9 Nopember 1990 dihadiri oleh Bupati Karanganyar, Camat dan Lurah Karangpandan, fihak Mangkunegaran, dan umat dari Bali, dilakukan Pitra Yadnya dan Yadnya lainnya, walaupun menurut rohaniawan beliau Moksa. Renovasi besar-besaran dilakukan pada sekitar tahun 2000 dipelopori oleh Pandita Mpu Nabe Pemuteran-Renon , Ketut Nedeng, dan semeton dari Bali serta umat dari Karanganyar/Solo. Pelinggih yang baru adalah :  Padmasana, Sapta Pertala, Bale Piasan/Pepelik, Bale Agung (tempat Banten), Bale Pawedan, Candi Bentar, Candi Gelung, Peristirahatan Umat & Sulinggih (Bale Banjar), dan khususnya Meru Tumpang Pitu yang merupakan „Parhyangan Sapta Pandita“ karena Sapta Pandita itu memang tidak menetap di Bali tetapi di Kuntuliku Desa sekitar Malang/Kediri. Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan adalah Trah Sapta Pandita yang pertama (Mpu Ketek). Ngenteg Linggih pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) dipuput Mpu Pemuteran Renon dan Pedanda Oka Punia Atmaja, serta Penanda-tanganan Prasasti oleh Raja Solo ”Sinuhun Paku Bhuwono XII (Almarhum). Sejak 11 Februari 2005 Petilasan ini secara resmi dibawah naungan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Pusat dan dalam operasionalnya membentuk ”Pengempon” yang anggotanya Semeton Hindu asal Bali dan Jawa, maka pertama kali piodalan dilaksanakan oleh Pengempon Petilasan sebagai Panitianya dan Upakara (Bebantenan) dikoordinir dari Bali. Pengempon periode II masa bhaktinya : Februari 2010-Februari 2015. Pembangunan berikut adalah ”BEJI” sudah dimulai sejak ”Ngeruak karang dan membangun pelinggih awal” dilakukan pada tilem kelima 27 Nopember 2008, dilakukan Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda, didampingi Putra Dharma, Pandita Mpu Jaya Satya Nandha, Pandita Mpu Jaya Wasistha Nandha, Ida Bhawati Putu Setia, serta rombongan pengayah 14 orang. Pada Jumat Legi, 3 April 2009 dilaksanakan ”Upacara Pemlaspasan BEJI” dipuput oleh Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda yang merupakan penglingsir Pura setelah Nabe beliau Ida Pandita Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran Lebar (meninggal). Pada Agustus 2011 pengempon berhasil menyelesaikan Pasraman Pandita dibelakang Beji yang dikerjakan sekitar satu tahun sejak Agustus 2010, sehingga ada tempat yang layak buat Ida Sulinggih yang tangkil.

Periode dua tahun terakhir terjadi perubahan yang cukup besar di Pura Pemacekan, telah diplaspas pada piodalan tahun lalu (2013) Bale Kulkul yang merupakan punia dari Ida Mpu Nabe Jaya Rekananda (amor ring acintya), dengan demikian ikon Pura pemacekan berubah dengan adanya Bale Kulkul ini dan bertambah baik. Sementara itu Bale Agung yang berada di jeroan pura dimana awalnya tempat upakara/banten dan diarea bawah tempat gamelan ketika piodalan karena pertimbangan tanah yang masih labil dan juga memperluas areal Pura, maka bale dihilangkan, selanjutnya Padmasana dan Sapta Pertala digeser ketimur sehingga areal menjadi lebih luas, sementara Patung Ganesa dari pojok timur-utara bergeser kebarat. Padmasana yang baru punia dari Ida Mpu Jaya Satya Nanda dari Griya Bitra dan Sapta Pertala punia dari umat bernama Restu dari Gianyar dan di plaspas pada Purnama Karo lalu. Perubahan ini memang membuat ada perbedaan corak arsitektur Pelinggih dan sudah dipertimbangkan kedepan untuk menata lebih baik khususnya dengan konsep local genius mengingat Pura berada di Jawa. Pembangunan lainnya di area Beji menjelang piodalan tahun ini dibuat pemisah berupa Gapura dan sekaligus dibuatkan jalan ke Pasraman sehingga Sulinggih dan pengiring yang datang bisa langsung ke Pasraman tidak melewati Beji. Perubahan-perubahan kearah lebih baik akan terus berlanjut mengingat keberadaan awal Pura adalah sebuah semangat bhakti ngetut wit Bhatara Kawitan sehingga faktor prasarana menjadi pertimbangan berikutnya, namun seiring dengan kehadiran umat yang terus meningkat, maka pintu punia menjadi besar memberi peluang umat untuk bhakti dalam wujud meningkatkan kualitas fisik Pura Pemacekan karena itu juga wujud Bhakti.


Akhirnya, astungkara karena Piodalan telah berhasil dengan baik, pada kesempatan ini ucapan terima-kasih kepada semua umat, Pinandita, dan Sulinggih yang terlibat karena memang demikianlah bhakti itu, : Yang memperoleh anugrah harta lakukan Punia, yang berhasil dalam pertanian/perkebunan haturkan hasil bumi, yang memperoleh pengetahuan (Jnana) lakukan Jnana Punia untuk kemajuan umat, yang memperoleh anugrah seni, maka ngayah dengan menabuh & menari, yang memperoleh kesehatan maka haturkan dengan tenaga, dan banyak bentuk rasa syukur kita akan anugrah Hyang Widhi. Demikianlah sejatinya makna dari setiap persembahan yang kita lakukan, semoga menjadi sempurna bhakti kita. Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha.


Dilaporkan oleh,

JMk Nyoman Sukadana
Gn.Rinjani–Paket Agung-Singaraja                                                                        13-09-2014