Kamis, November 13, 2014

PAGERWESI Pemujaan Dewa Ganesa


Pada buda keliwon Sinta atau setiap 210 hari, umat Hindu di Bali khususnya daerah Bali utara merayakan salah satu hari raya yang penting yaitu Pagerwesi.  Hari raya ini secara umum difahami sebagai persembahan kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Paramesti Guru, hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam Lontar Sundarigama, menjelaskan bahwa Pagerwesi sebagai hari pemujaan kepada Sanghyang Paramesti Guru yaitu Hyang Widhi yang diwujudkan dalam bentuk guru. Makna Pagerwesi ini diwujudkan dalam bentuk perayaan yang menguatkan ikatan kasih sayang antara putra (Anak/sentana) dengan Guru Rupaka, juga orang tua lainnya seperti paman,dan bibi, dibeberapa keluarga menerapkannya dalam wujud Sungkem (Pada Samskara) kepada orang tua, kebiasaan sungkem ini perlu dibudayakan karena ini adalah ajaran Hindu yang sudah jarang dipraktekkan yang perlu dikembalikan sebagai bagian dari prilaku kehidupan beragama Hindu. Upacara Pagerwesi ini rupanya tidak hanya dilaksanakan di Indonesia saja namun juga di Jambu dwipa atau ditanah Bharata yaitu India sebagai sumber ajaran Hindu tempat diterima Wahyu lewat Sapta Maha Resi. Pagerwesi di India disebut dengan Raksa Bandha dengan tujuan yang sama yaitu mengikat atau menguatkan tali kasih antara Sentana dengan orang tua (ayah, ibu, paman, bibi, dll), ikatan kasih sayang ini lebih luas antara suami dengan istri, anak dengan bibi/paman, dan sebagainya sehingga Pagerwesi ini ibaratkan Valentine Day atau hari kasih sayang yang sekarang ini menjadi trend khususnya anak muda, jadi Hindu sudah punya Pagerwesi sebagai hari raya untuk menguatkan ikatan kasih sayang.


Hubungan antara India dengan Indonesia khususnya Bali sebenarnya sangat kuat sehingga hampir semua hari raya yang ada di Indonesia, seperti Galungan-Kuningan, sampai Tumpek juga di India ada, namun karena perbedaan tradisi budaya serta letak geografis, maka secara Makna sama namun secara budaya dan waktu berbeda, dimana kita menganut tiga Pangalantaka : Surya Premana (Solar System), Candra Pramana (Lunar System), dan Sasih (Climate/Dawuh). Di Indonesia kebanyakan memakai Sasih/Dawuh/Pawukon, sementara di India : Surya Pramana dan Candra Pramana. Dengan demikian kita agar bijaksana menyikapi hal ini bahwa tradisi yang kita anut berbeda dan jangan hal itu menjadi sebuah pertentangan namun fokuskan pada Tattwa atau ajarannya maka kita akan merasa sama sebagai umat Hindu walau dengan tradisi yang berbeda. Kembali kepada Pagerwesi, bahwa jika disimak lebih dalam, ada hubungan yang erat antara setiap upacara yang dilakukan di Bali, seperti Hari raya Pagerwesi ada kaitannya dengan hari raya Saraswati dan Soma ribek/ Sabuh Mas/ sabuh pipis. Ketiga perayaan ini merupakan kebutuhan manusia sehingga perwujudan Dewa Dewi dalam ketiga perayaan ini menjadi satu kesatuan (unity) atau disebut juga Trinitas seperti halnya Trinitas lainnya yaitu Brahma-Wisnu-Siwa. Berikut mari kita simak dari sisi Makna setiap upacara tersebut dalam kaitannya dengan kehidupan karena hubungan antara Hyang Widhi dengan Bhakta yaitu kita umat Hindu sangatlah erat, karena Atman dalam diri kita adalah bagian dari Brahman itulah sebabnya diajarkan kepada kita untuk melakukan Upacara dimana Upa artinya  dekat, dan Cara/Caru artinya  Manis/harmonis, sehingga Upacara adalah suatu cara membina keharmonisan sesuai ajaran Tri Hita Karana antara manusia dengan Hyang Widhi dan alam (termasuk bhuta). Sementara alat yang kita pergunakan untuk melaksanakan upacara disebut Upakara (Bebantenan) dimana Upa berarti dekat dan Kara berarti tangan, yang makna umumnya Upakara merupakan perwujudan bhakti minimal dengan “Nyakupang tangan” dan bentuk hasil usaha manusia dengan tangannya berwujud hasil karya banten dengan ukirannya, bentuk bhakti berupa buah dan hasil bumi lainnya termasuk kemampuan seni dengan menari yang dipersebahkan yang juga bermakna persembahan bhakti. Upacara-upacara pemujaan kepada Dewa-Dewi ini perlu difahami maknanya bukan hanya menjalankan saja (mule keto) agar setiap pelaksanaan upacara menjadi dijiwai dengan dalam, mantap dan tidak tergerus oleh jaman atau berubah wujud dan makna menjadi tidak sesuai dengan sejatinya. Kembali kepada hubungan antara Saraswati – Pagerwesi – Soma ribek/sabuh Mas, ketiganya merupakan kebutuhan manusia yang hakiki, yaitu :

Hari Raya SARASWATI, yang dilaksanakan pada setiap Saniscara Umanis Watugunung atau setiap 210 hari sekali (6 bulan) tujuannya memuja Dewi Saraswati sebagi sumber ilmu pengetahuan. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan, karena Weda menyebutkan tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia ibarat orang buta yang berjalan dalam kegelapan tidak tahu kemana arah tujuannya. Hari raya Saraswati di Bali diwujudkan dengan melakukan persembahan lewat buku/ilmu pengetahuan dan menjadi kebiasaan yang salah diartikan bahwa hari itu tidak boleh membaca justru hari itu perlu menyadari sumber ilmu pengetahuan itu dari Hyang Widhi, maka dimaknai agar hari itu kita focus memuja Dewi Saraswati dengan merenung/memuja dan belajar kerohanian sehingga memperoleh Ilmu pengetahuan yang keesokan harinya diwujudkan dalam Banyu Pinaruh (Banyu Pini-Weruh) atau air ilmu pengetahuan. Di Mrajan Dewi Saraswati dilinggihkan dan disebut sebagai Taksu, maka ada Taksu Dalang, Taksu Pemangku, Taksu Pragine, yang mana makna Taksu tersebut adalah Pengetahuan karena pengetahuan menyebabkan manusia me-taksu.


Hari raya PAGERWESI, yang jatuh pada Buda Keliwon Sinta atau setiap 210 hari sekali adalah hari kasih sayang antara Sentana dengan Guru Rupaka atau pemujaan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Sanghyang Paramesti Guru. Pagerwesi juga bermakna Pagar atau pelindung dan Wesi berarti Besi, sehingga pagar pelindung yang paling utama adalah moral atau rohani yang baik, itulah sebabnya Pagerwesi adalah pemujaan kepada Dewa Ganesa yang merupakan Dewa penembus segala halangan dan juga simbul Spirituatas (rohani/moral yang baik). Manusia boleh saja memiliki Ilmu pengetahuan namun perlu juga memiliki rohani/spiritualitas yang baik agar ilmu pengetahuan bisa dipergunakan kejalan yang benar, jangan sampai ilmu pengetahuan disalah gunakan sehingga korupsi besar justru dilakukan kebanyakan oleh orang yang pintar, sementara orang bodoh tidak akan sampai ketataran itu. Jadi rohani yang baik merupakan kebutuhan manusia untuk memurnikan ilmu pengetahuan. Secara simbolis Dewa Ganesa memegang Lontar pengetahuan suci dan Dewa Ganesa sebagai pembersih/penglukat sehingga Caru yang tinggi adalah “Caru Rsi Ghana”. Sekarang ini salah kaprah dimasyarakat dimana Dewa Ganesa disamakan dengan Penjaga atau Penunggun Karang sehingga dapat dilihat ditembok atau diluar rumah dilinggihkan, seharusnya linggihkan di Mrajan atau setelah pintu masuk karena ketika ada orang yang hadir/mampir disucikan oleh Dewa Ganesa, walaupun sebenarnya sudah ada Pelinggih Lebuh didekat pintu masuk sebagai pemujaan Dewa Baruna. Ciri pelinggih umat Hindu di Indonesia (khususnya Bali) adalah berwujud “Stana/Linggih” Dewa-Dewi, sementara India berwujud Personifikasi, sehingga Simbul Dewa Ganesa adalah adopsi dari India yang sekarang sedang marak karena pola pikir masyarakat Bali secara umum yang selalu khawatir (khawatir di leak tetangga, khawatir di kantor, dll) maka setiap pemujaan diarahkan untuk menjaga, sehingga Dewa Ganesa diartiakan sama dengan Penunggun Karang, padahal Rohani yang baiklah yang akan menyelamatkan atau menjaga kita.


SABUH MAS / Sabuh Pipis atau soma ribek dilaksanakan pada setiap 210 hari sekali sebagai bentuk pemujaan kepada Dewi Sri (Sri Sedana) yaitu Dewi kemakmuran. Manusia boleh saja memiliki Pengetahuan dan juga spiritualitas, namun jika tidak memiliki kemakmuran artinya tidak memiliki Artha yang dalam Weda disebut alat untuk mencapai tujuan, maka Pengetahuan dan Spiritualitas tersebut tidak sempurna. Dalam bahasa awam kalau kita tidak ada dana bagaimana bisa mengejar pengetahuan dan bagaimana spiritualitas bisa stabil kalau keuangan tidak mencukupi untuk menata kehidupan, sehingga kemakmuran merupakan salah satu kebutuhan pokok umat Hindu. Dewi Sri/Dewi Laksmi, di Bali disebut Dewa Ayu Melanting yang dipuja di Pelinggih Gedong Sari/ Sri Sedana atau bagi pedagang menyebut Bhatara Rambut Sedana. Di Mrajan dilinggihkan berderet dengan Pelinggih Taksu.


Dengan demikian bisa disimpulkan, bawa manusia membutuhkan : SARASWATI (Ilmu Pengetahuan), GANESA (Spiritualitas/Pagerwesi) dan SRI MAHA LAKSMI (Kemakmuran/Sabuh Mas)
    


Penulis,

JMk Nyoman Sukadana
Gn.Rinjani-Paket Agung-Singaraja                                                                         13-10-2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)