Kamis, Oktober 01, 2009

ARY SUTA DARMAWACANA ”KECERDASAN”
DI PETILASAN KYAYI I GUSTI AGENG PEMACEKAN

Dalam rangkaian Piodalan ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Karangpandan, Karanganyar, Jawa tengah, kita bersyukur kehadiran umat yang membanggakan bagi Hindu khususnya orang Bali karena beliau berhasil berada di jajaran puncak executive Indonesia, bahkan diakui di dunia Internasional. Dengan level pendidikan seperti itu, ketika berhadapan dengan umat yang hadir di Petilasan dari berbagai kalangan, bahkan sebagian besar awam, juga umat dari pelosok pedesaan di Karanganyar, rupanya Ary Suta mampu menciptakan suasana sehingga ”Darmawacana” yang disampaikan bisa diterima oleh pendengar dalam suasana santai dan diselingi gelak-tawa.

”Kecerdasan”, demikian inti dari darmawacana beliau seperti melengkapi kebutuhan umat yang datang untuk bersembahyang (vertical) dengan pemaparan Ary Suta yang lebih kepada kehidupan (Horizontal), ini sejalan dengan simbul agama Hindu ”Swastika”, bahwa kita harus seimbang verical dan horizontal. Jika orang disuruh memilih menjadi ”kaya” atau ”Cerdas”, demikian pembukaan darmawacana beliau, maka Ary Suta minta agar memilih ”Cerdas”, karena orang cerdas umumnya kaya. Kecerdasan ini akan muncul umumnya jika manusia itu menghadapi masalah bahkan kegetiran hidup, karena kegetiran akan membuat manusia itu semakin terasah kecerdasannya, ini sejalan dengan salah satu ciri orang cerdas adalah ”menjadikan suatu masalah menjadi pengalaman untuk menuju kepada sesuatu yang lebih baik” Orang cerdas akan selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Umat Hindu di dunia adalah minoritas yaitu hanya sekitar 16% dari penduduk dunia, seperti orang Jahudi yang minoritas tetapi banyak memiliki orang-orang cerdas dan tersebar di jajaran-jajaran penting dunia, dengan demikian umat Hindu harusnya lebih cerdas dari umat lainnya. Warga Pasek di Bali adalah mayoritas sehingga ini bisa jadi kelemahan dan terbukti masih banyak yang bangga menjadi Parekan, demikian dengan tulus disampaikan Ary Suta, hal ini akan merugikan Bali secara keseluruhan dan juga Hindu karena SDM ini menjadi lemah, tidak cerdas, dan tidak mampu bersaing ditingkat nasional dan internasional. Menjawab pertanyaan umat terkait dengan penyaluran SDM untuk bekerja, Ary Suta memberi metode, bahwa umat jangan sekali-sekali meminta pekerjaan kepadanya atau kepada siapapun, tetapi tunjukkan, bahwa ’saya punya kemampuan dan silahkan saya di-test, jika mampu luluskan, jika tidak mampu jangan diluluskan”, ini bentuk kepercayaan diri yang perlu ditanamkan. Ary Suta menekankan jika dia menemukan type seperti itu, akan di prioritaskan untuk diberikan jalan untuk masuk ke sistem bukan diberi ikan, demikian Ary Suta.

Suasana Piodalan Petilasan.
Purnama Ka-Tiga setiap tahun, merupakan Piodalan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, Karangpandan, Karanganyar, Jawa tengah. Piodalan dilangsungkan pada Minggu, 14 September 2008 (Nyejer 3 hari-Nyineb 17 September 2008 pagi hari). Terlibat dalam Piodalan ini umat Hindu dari berbagai kalangan di Solo, Karanganyar sekitar lintas suku dan lintas soroh. Bebantenan untuk tahun ini dari Tabanan Bali karena umat di Jawa belum mampu dan belum tahu standard untuk bebantenan yang diperlukan untuk Piodalan disamping karena umat yang mau terlibat masih terbatas. Prosesi diawali pada 13 September 2008 sore dengan ”Nuwur Tirta” di Candi Ceto” dan sore itu di Petilasan dilakukan persembahan secara Jawa kepada ”Eyang Putro Rsi Pitu (KIA Pemacekan)”, dipimpin oleh Mbah Wiryo Rejo, pemelihara (Kuncen) Petilasan sejak 1959, jadi beliau adalah yang terakhir dari kalangan umat sekitar, berikutnya umat sekitar tetap sebagai pengemong Petilasan bersama Pengempon karena mereka ada ikatan batin dengan Eyang. Pada 14 September 2008 sekitar jam 07 Wib dimulai Puja Piodalan dipimpin 7 Pandita Mpu, umat juga mempersembahkan Tari Rejang Dewa sebagai rangkaian yadnya. Dilakukan juga Pewintenan Saraswati bagi umat Jawa yang nantinya menjadi pembantu Para Pinandita di kantong Hindu di Jawa. Umat yang datang dari berbagai tempat, seperti pelosok desa di Karanganyar : Jenawi, kemuning, ngargoyoso, Masaran, Jaten, Solo, Jigja, Semarang, dan juga dari Bali (Tabanan, Denpasar, Singaraja) yang jumlahnya melebihi tahun-tahun sebelumnya (sekitar 800 orang) sehingga ini diluar perkiraan panitia, untuk itu persembahyangan dibagi menjadi 2 session, ini menjadi pertanda, bahwa kesadaran umat semakin besar. Tokoh umat seperti : Prof Ketut Wita, Ary Suta, Ketut Nedeng, dan tokoh umat lainnya, bahkan keluarga Kraton Surakarta Hadiningrat ikut hadir. Para Pandita juga lebih banyak yang hadir secara bergantian dari sebelum sampai kepada Penutupan/Nyineb yang jumlahnya mencapai belasan Pandita Mpu. Keberadaan Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan merupakan kehendak Hyang Widhi bahkan ditemukan dalam nuansa niskala melalui Damuh/prati sentana dari Bali pada tahun 1970-an dan dipugar mulai tahun 1984. Hal ini seperti merajut kembali hubungan kekerabatan yang sudah ratusan tahun sempat terputus antara Jawa dan Bali karena perubahan jaman dengan masuknya kepercayaan baru di tanah Jawa (Majapahit). Itulah sebabnya berbondong-bondong umat dari Bali melakukan sembahyang ke Jawa, hal ini sesuai sekali dengan „Bhisama“ (Pesan Sakral) dari leluhur yang maknanya agar para umat tetap membina hubungan dengan yang lainnya dimanapun berada (Aywa kita pegat akadang purusantha sembahen) . Jika taat dengan petunjuk leluhur, maka „Bhisama“ menyebutkan :

dan... apabila kamu taat terhadap amanatku mudah-mudahan kamu selalu memperoleh keselamatan, berbudi luhur, semua ucapanmu dipercaya, terkenal didunia, disayang orang, memiliki sifat-sifat yang mulia, bertingkah laku baik dan ahli siasat.

Itulah sebabnya para umat ini akan selalu tergugah keinginannya untuk melakukan Pitra Puja kepada para leluhur dimanapun beliau distanakan termasuk di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan. Di Bali mengingat semakin banyaknya keturunan, maka tingkatan penyungsung/pemuja semakin besar juga dan tempat memuja leluhur berkembang berurut dari yang umatnya sedikit : Paibon, Panti, Dadya, Dadya Agung atau Merajan dan Merajan Agung, sampai terakhir Pura Kawitan. Untuk di Jawa sebutannya menjadi berbeda mengikuti kebiasaan setempat sehingga disebut „Petilasan“ yang maknanya tempat dimana dahulu tinggal orang yang sangat dihormati. Walaupun merupakan Petilasan, namun tempat ini merupakan „Pura Umum“ dengan pengertian :

• Secara kekerabatan (hubungan darah) maka Petilasan ini merupakan wadah dari keturunan Panca Tirta, yang jika mengikuti sistem Soroh/Clan di Bali, maka Soroh Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, dan lainnya dapat melakukan puja Bhakti, karena ada perwujudan dari leluhur mereka.
• Petilasan merupakan tempat distanakan Pandita, sehingga sebagai Pandita akan mengayomi siapa saja umat yang membutuhkan walaupun berbeda agama.
• Sehubungan yang di stanakan sudah menyatu dengan Sangkan Paraning dumadi, maka sesungguhnya yang di Puja di Petilasan adalah „Hyang Widhi“.

Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar
18-09-2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)