KASTA – SAMPRADAYA - BABAD
Mengamati fenomena dimasyarakat juga dalam diskusi-diskusi di media elektronik seperti : internet dengan milis-milis Hindu yang kebetulan penulis ikut terlibat didalamnya sebagai admin, masalah : Kasta, Sampradaya, dan Babad masih menjadi topik yang ratingnya boleh dikatakan paling tinggi dan masih menimbulkan perdebatan yang alot, hal ini umumnya masih terjadi ditataran masyarakat awam, anak muda, para cendekiawan bahkan Pandita, ini artinya umat Hindu di indonesia khususnya di Bali, masih mempunyai banyak pekerjaan rumah untuk terjadinya pemahaman yang sama akan Kasta,Sampradaya, dan Babad ini. Apa sebenarnya yang belum sepakat sehingga menimbulkan perdebatan alot itu ?
Hal KASTA, umat sering dikaburkan akan tiga hal, yaitu : Kasta, Warna, dan Wangsa. Kasta adalah politik penjajah abad XVI sebagai upaya penjajah untuk memecah belah warga bali sehingga didasari oleh niat yang tidak baik. Sekarang ini penjajah sudah hengkang ratusas tahun sementara kita khususnya di Bali masih menyebut-nyebut Kasta, maka siapa yang pintar disini ? Jadi mulai sekarang sebutan Kasta dalam pembicaraan sehari-hari seharusnya tidak boleh ada lagi oleh karena itu memalukan orang Bali secara keseluruhan. Yang masih boleh adalah : Warna dan Wangsa. Warna adalah ajaran Hindu mengenai profesi sesuai ”Guna” (Bakat/gen) dan ”Karma” (aktifitas/kegiatan yang dilakukannya sehari-hari), maka ada Warna : brahmana, ksatrya,wesya,dan sudra, yang semua ini tidak ada kaitannya dengan keturunan. ”Wangsa” adalah ikatan pasemetonan (persaudaraan) dalam satu trah/clan/soroh, dimana tujuan pokoknya adalah menjalin keakraban (simakrama). Antara soroh satu dan yang lain tidak boleh saling menganggap yang satunya lebih tinggi atau lebih rendah. Ikatan soroh ini menjadi kecurigaan sebagian masyarakat akan memecah hindu, ini tidak akan terjadi karena ikatan ini murni adalah pasemetonan yang hubungannya dengan leluhur sesuai ajaran : Catur Guru dan Tri Rnam. Jika Kasta atau soroh yang bertingkat dianggap masih terjadi dimasyarakat, maka kewajiban kita bersama untuk meluruskannya, jika ada yang takut Tulah karena itu warisan leluhur, ajaran Hindu sudah menyebut itu salah, maka Weda lewat Ajaran catur warna adalah rujukan kita.
SAMPRADAYA, The Oxford Dictionary of World Religions menyebut definisi Sampradaya, dari bahasa sansekerta sam-pra-da, artinya memberikan atau menyerahkan secara sempurna, menurunkan melalui tradisi. Di India, setiap doktrin yang mapan dan satu perangkat praktek-praktek diteruskan dari satu guru kepada guru yang lain. Dalam Mahabarata (Anusasanaparva 141), empat sampradaya sebagai permulaan : “Kuticaka”, tetap tinggal dalam dan didukung oleh keluarga mereka; “Bahudika” tinggal dekat pemukiman dan menerima makanan hanya dari keluarga brahmana; “Hamsa (angsa)” mengembara dari satu tempat ke tempat lain, masih menikmati kesenangan secara minimum; “Paramahamsa”, mengembara tanpa tempat tinggal, meninggalkan segala miliknya, termasuk mangkuk untuk meminta-minta bahkan pakaiannya. ”PARAMPARA” atau sering disebut guru parampara adalah "suksesi atau pergantian guru. Secara literal parampara berarti, dari satu kepada yang lain. Sampradaya tidak sama dengan “DENOMINASI” (denomination), yang artinya "satu kelompok agama dalam sebuah agama besar, memiliki keyakinan dan organisasi yang sama. Denominasi Hindu yang utama adalah sekte-sekte, seperti : Waisnavaisme, Sivaisme dan lain-lain, perbedaan terletak pada istadewata yang dipuja, jadi didalam masing-masing denominasi ini terdapat beberapa sampradaya. Sampradaya ini menjadi belum berjalan mulus karena belum ada kesamaan gerak dalam kesehariannya. Kontradiktif oleh yang menamakan diri demi Ajeg Bali, yang tidak mau budaya bali ini tergerus menjadi budaya lainnya (India), sementara para peserta Sampradaya ini terikat oleh tradisi dalam lingkungan tersebut. Untuk terjadinya titik temu, maka para petinggi di masyarakat Hindu juga dilingkungan sampradaya harusnya bisa lebih bijak dengan logal genius, sehingga kehadirannya bisa diterima oleh masyarakat hindu di Bali khususnya, karena pada dasarnya keyakinannya adalah sama-sama Hindu, jadi fokuslah pada Tattwa.
BABAD bagi sebagian orang dianggap tidak akurat karena tidak memiliki bukti otentik seperti angka tahun dan bukti sejarah lainnya, bahkan ada yang dengan begitu semangat mempublikasikan perbedaan versi babad yang diketahuinya sehingga cendrung kearah perdebatan yang tidak sehat, seperti : kekakuan akan hakekat Mpu Kuturan yang satu mengatakan ada dijaman Udayana Warmadewa (sekitar tahun 1000) yang lain mengatakan bukan dijaman itu, padahal kedua fihak itu tidak ada satupun yang pernah bertemu Mpu kuturan, jadi ibarat “memperebutkan balung/tulang tanpe isi”. Jika dihayati, pengenalan Babad adalah sebagai bentuk bhakti pada leluhur, jika kita tidak kenal leluhur kita maka sebut saja “Bhatara Kawitan” karena ajaran Hindu mewajibkan kita bhakti pada leluhur. Babad yang beredar sekarang ini sesungguhnya bersumber dari Mrajan, pedukuhan, yang ada di bali lalu dipertemukan, maka dijadikan lebih moderen dan mudah dimengerti, sekali lagi ini hanya untuk mengenal leluhur dan meniru sesana yang baik dari mereka, jika kemudian timbul kesombongan, maka itu baru kekeliruan. Hal akurasi katakanlah misalnya Babad itu hanya dongeng saja, maka orang tua kita sering men-dongeng untuk mengajarkan anaknya etika yang baik. Babad yang beredar sekarang ini sebenarnya ada bukti otentiknya dan peninggalan-peninggalan serta sudah diyakini oleh sebagian besar masyarakat bali dari berbagai soroh jadi tidak perlu lagi diluruskan karena kita sama-sama tidak tahu masa lalu, yang perlu diluruskan adalah yang belum bhakti pada leluhurnya.
Akhirnya, pembicaraan hal Kasta, Sampradaya, dan Babad, agar disikapi dalam suasana persaudaran yang baik dengan satu kesadaran bersama bahwa semua kita adalah umat Hindu, apalagi ajaran Hindu menyebutkan semua mahluk adalah bersaudara (Vasudaiwa Kutumbhakam).
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
13-12-2009
Ini dia pak nyoman, sudah saya baca baca blog nya, semua Bagus, terimakasih ajaran agama nya pak.
BalasHapus