PANDITA sebagai SARATI BANTEN
Dalam setiap upacara Yadnya, maka selalu ada tiga fihak yang terlibat, yaitu : ”Pemuput” (Pandita, Pemangku, atau lainnya), ”Sarati Banten” (yang menyiapkan Banten/Upakara), dan ”Yajamana” (Sang meduwe karya). Pengelompokkan tersebut sangat spesifik sehingga tugas Sang Pemuput adalah murni menghaturkan upakara yadnya, Sang Sarati Banten menyiapkan segala sarana upakara yadnya, dan Sang Yajamana menyiapkan dana atau kebutuhan lain yang terkait dengan upakara tersebut sehingga fungsi masing-masing dapat berjalan baik dan menghasilan Labda Karya atau keseuksesan proses upacara yadnya tersebut. Bagaimana kalau fungsi tersebut digandeng seperti Pemuput adalah yajamana? Itu bisa saja apalagi jika Yajamana tersebut seorang Pemangku atau bahkan Pandita. Bagaimana kalau Yajamana juga adalah Sarati Banten? Hal itupun bisa terjadi artinya Sang Yajamana menggunakan tenaga masyarakat dan keluarga untuk membuat banten. Bagaimana kalau Pandita adalah juga Sarati Banten? Ini juga ada terjadi dimasyarakat, namun untuk yang terakhir ini sering menjadi sorotan karena masyarakat melihatnya berbeda karena seorang Pandita seharusnya hanya ”Muput” tidak ada lagi berurusan dengan pembuatan banten yang sering diidentikkan dengan busines banten. Tulisan ini mencoba membuka wawasan kita akan situasi bagaimana jika Pandita juga melakukan aktifitas pembuatan banten, walaupun tentu yang membuat tentunya para pengayah Pandita di Geria tersebut, apakah hal tersebut dibenarkan ?
Masih teringat dalam memori kita, bagaimana beberapa tahun lalu (sekitar tahun 1970-1980) masyarakat berkeluh kesah ketika melakukan Upacara Pitra Yadnya dimana selalu diikuti oleh ngelus dada karena biayanya yang tinggi, dimana bisa mencapai minimal 50juta untuk ukuran sederhana. Pitra yadnya yang menjadi kebutuhan pokok umat Hindu tetapi dalam prakteknya tidak mampu dilakukan karena biayanya tinggi, maka jadilah banyak Sawa yang belum dilakukan Pitra Yadnya atau kalaupun harus dilakukan melalui menjual sawah atau sumber dana lainnya. Ketika itu image masyarakat, bahwa Pandita sebagai pedagang sangat melekat dan terbawa sampai sekarang. Di era sekarang muncul kemudian usaha-usaha penyederhanaan banten dengan dasar sastra yang benar tidak sekedar menyederhanakan, artinya mana yang pokok dan mana hanya rangkaian saja bisa dibedakan dengan jelas sehingga biaya tidak tinggi. Dengan situasi itu dengan belasan juta saja saat ini umat sudah dapat melakukan Pitra Yadnya secara baik dan memenuhi dasar sastra yang benar. Kenapa biayanya bisa menjadi lebih murah? Intinya memang karena adanya penyederhanaan itu dan itu karena Pandita tersebut banyak yang juga memiliki tukang banten. Maksudnya begini, saat ini banyak terjadi Pandita melakukan juga fungsi Sarati Banten sekali lagi ini pasti dilakukan oleh pengayah Sang Pandita, seorang Pandita tentu mengerti mana yang pokok dan mana yang bisa ditiadakan dan bisa selengkap-lengkapnya jika Sang Yajamana ingin demikian karena misalnya memiliki kemampuan dana yang baik. Bayangkan seandainya jika kegiatan Sarati Banten ini dilakukan murni oleh tukang banten, maka tukang banten akan selalu berkata ”mule keto” tidak berani mengurangi atau melebihkan karena standard yang diketahui sebatas itu, jadi tukang banten ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Tetapi jika Pandita mempunyai tukang banten, maka tanggung jawab penyederhanaan itu ada pada Pandita sementara pengayah hanya membuat banten sesuai dengan arahan Pandita. Jadi Pandita yang memiliki tukang banten justru memberi kebaikan bagi perkembangan yadnya. Seorang Pandita juga bisa menerapkan subsidi silang, artinya ketika ada umat yang mampu maka bisa saja biayanya lebih tinggi dan ketika ada umat yang kurang mampu bisa diberikan harga yang lebih murah. Sekilas seperti ada aktifitas busines diarea Pandita ini namun sesungguhnya ini hanya ”pengaturan” agar semuanya berjalan baik. Ada seorang Pandita yang berceritra pada penulis, didatangi umat yang menyerahkan uang 6juta dan meminta dibuatkan upakara Pitra yadnya sampai selesai. Seorang Pandita yang menyadari, bahwa dirinya adalah pengayom umat, maka tidak akan menolak permintaan umat ini dan jadilah Pitra yadnya dengan dana 6juta tersebut dilaksanakan tanpa mengurangi ketentuan sastra yang benar, biayanya tentu lebih dari 6Juta namun itu urusanya Pandita tersebut, ini yang dimaksudkan dengan pengaturan untuk kebaikan bersama. Jika setiap umat yang datang ke Pandita berlaku seperti diatas, maka akan kasihan sang Pandita, untuk hal ini umat perlu mengerti ajaran Rsi yadnya, bahwa kewajiban kita untuk me-punia kepada Pandita karena mereka tidak lagi berpenghasilan, jadi kewajiban umat terutama warga yang mengangkat Pandita untuk memenuhi kebutuhan mereka, kalaupun pandita mendapatkan Sesari atau ada kelebihan dari pembuatan banten itu bukan dalam pengertian busines, umat tetap punya kewajiban untuk melakukan Rsi yadnya. Dengan demikian apakah tidak ada Pandita yang menjalankan praktek menjual banten dengan standard tinggi sehingga menjual mahal kepada siapapun? Mungkin saja hal itu ada, tetapi itu bukan urusan kita (Walaka) untuk mengkritisi, itu urusan Nabe-nya atau urusan Paruman Pandita, jangan sampai para Walaka ini ikut menghujat Pandita, itu bukan sesana atau prilaku yang benar. Pandita sekarang ini menurut pengamatan penulis mempunyai fungsi mendorong terciptanya peningkatan pemahaman Tattwa, salah satunya melalui peningkatan pemahaman akan hakekat banten/upakara sehingga dengan pemahaman itu umat tidak lagi melakukan ”Tamasika Yadnya” atau Yadnya yang dilakukan dengan ketidak fahaman akan maknanya, juga jangan sampai melakukan ”Rajasika Yadnya” yaitu yadnya hanya untuk pamer, prestise, namun lakukanlah ”Sattwika Yadnya” yaitu yadnya yang didasari oleh pemahaman , keikhlasan, dan kesederhanaan, jika itu bisa terwujud, maka umat Hindu lainnya seperti di jawa dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh umat Hindu dari bali karena peninggalan sarana upakara (banten) di Jawa tidak banyak yang bisa diangkat karena banyak yang tenggelam ratusan tahun lalu. Akhirnya, seperti salah tujuan Yadnya adalah ”menyampaikan permohonan” maka sampaikanlah permohonan tersebut hanya kepada Nya. Bhagawadgita III.13, menyebutkan : ”Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh Dewa-Dewa karena yadnyamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri”.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 18-04-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)