Selasa, Juli 05, 2011

MENCARI KEMBALI MAKNA GALUNGAN


Pada masa kecil ketika tiba hari raya Galungan dan sepuluh hari kemudian hari raya Kuningan, maka yang muncul dibenak kita di Bali adalah ”suatu hari raya yang diwarnai dengan libur sekolah dan libur kerja, pakaian baru, ibu-ibu membuat banten serta bersembahyang, dan bapak-bapak ada yang metajen atau sekedar duduk-duduk. Disisi yang berbeda ada yang melihatnya dari makna yang benar yaitu ”Kemenangan Darma melawan A Darma” dan juga dikaitkan dengan suatu kisah, seperti kisah Mayadanawa, dimana Mayadanawa dalam kisah ini diposisikan pada A Darma. Mengkaitkan suatu perayaan dengan ceritra-ceritra tertentu yang kadang sengaja dibuat adalah hal yang umum yang bisa dilakukan di belahan dunia manapun yang tujuannya untuk melanggengkan kekuasaan. Memberi bunga pada perayaan Galungan juga lebih bersifat politis, walaupun Mayadanawa bagi orang Bali Mula (Batur Kintamani) akan diposisikan sangat berbeda. Apapun itu yang terjadi di Bali lebih banyak Galungan menonjol seremonialnya dibandingkan filosofisnya karena itulah Bali yang berproses dari jaman Kerajaan Warmadewa di Bali bahkan sebelum itu, jaman jayanya Majapahit di Jawa dengan ditempatkannya Dalem di Bali, jaman Belanda berkuasa dengan menghidupkan Kasta dan pemisahan Triwangsa dan Jaba, jaman kemerdekaan terutama ketika dihapuskannya Swapraja oleh Presiden Sukarno pada 1958 dan Bali yang kita lihat sekarang ibarat pohon beringin yang sudah sangat rimbun sehingga mustahil mengembalikan atau mempertahankan seperti ratusan tahun lalu misal ketika Catur Sanak di Bali (empat dari Panca Tirta) atau jaman Dalem Waturenggong yang katanya jaman keemasan walau disangsikan oleh para ahli, tetapi yang penting adalah ”menata kembali” pohon ini agar menjadi artistik, indah, dan memberi kesejukan, untuk itu Galungan juga perlu dicari kembali maknanya dengan tepat dan benar sesuai ajaran Weda.

Diluar Bali, bagi umat Hindu etnis Bali perayaan Galungan tidak seperti di Bali, umat umumnya melakukan persembahyangan di Pura, atau mengadakan darmatula. Bagi yang merindukan perayaan seperti di Bali kadang ”Nguling (potong Babi) dan bentuk kegiatan seremoni lainnya. Bagi umat Jawa Galungan ini malah biasa saja walau tetap ada persembahyangan karena umumnya dikantong Hindu itu ada orang Bali, dikantong Hindu di Jawa perayaan yang lebih penting adalah tradisi mereka seperti : Dukutan, Mondosio (medangsie), dll. Jadi Galungan sesungguhnya sifatnya lokal bagi etnis Bali, itulah sebabnya perlu kehati-hatian bagi masyarakat Bali yang ingin melakukan kegiatan Upakara di Jawa apakah itu Ngenteg Linggih, Pancawalikrama, agar ”bijak melihat situasi” walaupun punya akses dibirokrasi, dan punya dana, jangan semata demi sebuah prestise kita lalu melupakan hakekat, bahwa Jawa tidak sama dengan Bali. Masih mencari makna Galungan, ketika kerinduan akan ikatan dengan India sebagai tempat diterimanya wahyu Weda, maka Galungan dipadankan dengan ”Durga Puja” di India yang mana pada perayaan itu sama-sama memuja Dewi Durga. Sepuluh hari kemudian adalah Kuningan di Indonesia sepadan dengan ”Wijaya Dasami” di India yang dirayakan
Sepuluh hari setelah Durga Puja dan sama-sama memuja Dewa Siwa, walaupun bagi orang Hindu etnis Bali pada umumnya tidak banyak yang tahu makna ini.

”Mencari kembali makna Galungan” perlu dilakukan. Setiap orang sesungguhnya bisa dengan bebas memaknai Galungan dan Kuningan secara pribadi-pribadi atau dalam situasi masa kini selama itu benar menurut Weda, jadi kita bisa dan perlu memaknai suatu hari raya termasuk Galungan dan Kuningan dengan cara sendiri disesuaikan dengan jaman. Kita dapat memaknai Galungan sebagai kemenangan Darma melawan A Darma, dengan : tidak marah, tidak mencela orang, tidak memarahi anak atau bawahan, dan bentuk kemenangan lainnya. Kita juga bisa memaknai ”Kemenangan” ini dengan menang melawan penderitaan orang lain atau lebih jauh kemiskinan, berupa membantu orang yang tidak mampu tanpa pamrih tanpa embel-embel ingin dihargai atau dihormati. Kita juga bisa memaknai kemenangan ini dengan menang melawan kebodohan, seperti melakukan ”Jnana Punia” bukan malah membuat atau membiarkan orang bodoh atau sengaja menutupi kebenaran dengan membiarkan orang merendahkan dirinya sendiri dengan ”Nyugra” dan bentuk tindakan feodal lainnya atau kesalahan pemahaman tentang ”Nyurya” yang masih banyak terjadi dimasyarakat kita di Bali. Ketika kita sudah bisa menang melawan diri sendiri dan menang melawan kemiskinan dan kebodohan disekitar kita (di masyarakat Bali), maka kita bisa membantu masyarakat lain yang berbeda ras, suku, dan agama, sehingga Galungan ini mempunyai manfaat yang luas dan benar penerapannya. Bukan hal yang mustahil, bahwa makna Galungan ini bisa juga didengungkan menjadi ”Menang melawan korupsi” misalnya, sehingga terasa umat Hindu ini ada perannya buat negara dan bangsa, bahkan bagi dunia. Jadi jangan berhenti pada perayaan yang menonjolkan keramaian atau hiburan saja, tetapi cari dan gali makna Adiluhung yang tersembunyi pada setiap perayaan sehingga kita semua bisa memperoleh makna yang benar.

Akhirnya, mencari kembali makna Galungan akan kembali kepada pribadi masing-masing, tetapi mencari suatu makna yang benar akan menjadikan kita lebih melihat kedalam dan menemukan hakekat kebanaran itu yang adalah ”kesejatian” dan Kesejatian itu adalah ”Sangkan Paraning Dumadi (Brahman)”.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
10-06-2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)