RATU PASEK ANTARA DIPUJA DAN DIHINDARI
Siapa yang dipuja atau distanakan pada suatu Pelinggih atau Parahyangan, tidak ada yang tahu secara pasti karena ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan pemujanya. Namun setidak-tidaknya awal keberadaan suatu bangunan Pelinggih tentu ada maksud dari yang membuat yang bisa merupakan tempat pemujaan Hyang Widhi, Bhatara Kawitan, atau orang suci yang telah berjasa pada jamannya.
Jika kita hadir ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel, Klungkung, Bali, maka jika kita masuk ke Areal utama (Utama Mandala), maka setelah melewati Gerbang/ Gapura dan belok kekiri, kita akan menjumpai Bangunan Pelinggih berupa Meru Tumpang Telu (Tiga) yang merupakan tempat pemujaan “Ratu Pasek”. Juga jika kita hadir ke Pura Besakih dikomplek Parahyangan Leluhur, maka tepatnya di Pura Catur Lawa kita juga akan menjumpai Bangunan Pelinggih berupa Meru Tumpang Pitu (Tujuh) yang juga tempat memuja “Ratu Pasek”. Lalu siapa Ratu Pasek ini ?. Bangunan Pelinggih Meru Tumpang Pitu di Pura Dasar Bhuwana Gelgel adalah tempat memuja Mpu Ghana yang merupakan saudara ketiga dari “Panca Tirta” (Mpu Gnijaya,Mpu Semeru,Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah). Mpu Ghana penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara (Leluhur Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek, Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danhyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga. Bagaimana dengan Ratu Pasek yang di Besakih ? beliau adalah “Mpu Semeru” yang kedua dari Panca Tirta. Beliau adalah pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliau mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Bekas parahyangan Mpu Semeru inilah sekarang sudah berdiri sebuah Pura diberi nama Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih). Kalau kita sudah ketahui siapa yang dimaksud Ratu Pasek ini, maka seharusnya seluruh pratisantana Sang Panca Tirta seperti : Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Gusti, Kayu Selem, dll, wajib melakukan puja bakti disini. Kenyataannya umat yang datang melakukan puja bakti kebanyakan adalah Para Semeton Pasek. Kenapa bisa begitu ? apakah karena disebut dengan “Ratu Pasek” jadi ada kata “Pasek” sehingga selain semeton Pasek tidak banyak yang datang/tangkil, apakah mungkin diganti saja dengan nama beliau, yaitu : Mpu Ghana dan Mpu Semeru ?
Ada suatu kejadian terkait dengan hal diatas, seorang kawan di Bali yang nama depannya “I Gusti” menyampaikan, bahwa ada larangan dari keluarganya untuk menyembah Pasek atau leluhur Pasek tanpa kawan ini bisa menyebutkan kenapa. Dia kemudian tertegun setelah saya katakan, bahwa leluhurnya beberapa tingkat dari garis perempuan (Pradana) bernama “Ni Luh Pasek”. Ada juga kawan saya yang kalau di Bali masih ada yang menyebut keluarga Brahmana mengatakan hal yang sama, sayangnya saya belum sempat menyampaikan, bahwa salah seorang dari enam istri leluhurnya (Danghyang Nirartha) adalah keturunan Bendesa Mas yang adalah keturunan Pasek Gelgel. Pandangan seperti ini bukan hanya terjadi pada dua orang tetapi sudah menjadi pendapat banyak orang khususnya di Bali karena ketidak tahuan mereka tentang keadaan yang sebenarnya. Ini adalah keberhasilan politik masa lalu yang mengkotak-kotakan manusia disamping memang banyak semeton Pasek yang tidak meniru laku leluhurnya sehingga banyak yang jadi petani bahkan abdi. Jadi “Alergi” dengan Pasek ini akibat sempitnya wawasan, maka Ratu Pasek menjadi ‘dihindari” oleh sebagian orang.
Semeton Pasek banyak tangkil memuja Ratu Pasek karena secara kuantitas terbanyak di Bali. Hal seperti ini telah menimbulkan pendapat, bahwa Semeton Pasek dikatakan mendominasi Parahyangan Kawitan. Hal senada pernah disampaikan oleh Almarhum Jro Mangku Gde Ketut Subandi (Almarhum) ketika saya hadir ditempat beliau di Denpasar. Beliau juga berkata dengan nada menyesalkan, ternyata Berbakti pada Bhatara Kawitan saja jadi masalah. Saya waktu itu tidak berkomentar tetapi sekarang saya berpikir kalau niat kita tulus melakukan bhakti pada Bhatara Kawitan, maka lakukan saja jangan perdulikan orang lain. Orang yang mempunyai kebiasaan mempolitisir sesuatu berarti lebih banyak menggunakan kekuatan pikirannya dibandingkan rohani yang lama kelamaan hati nuraninya akan tidak peka bahkan tertutup, padahal pikiran ini justru sering ditunggangi rasa benci, ego, serta iri-hati. Biarlah Ratu Pasek yang tahu ketulusan damuh/pratisantananya karena sudah saatnya kita berhenti berdebat atau berpolitik yang merugikan orang lain. Bencana alam yang banyak terjadi di Negara kita seharusnya menyadarkan kita untuk lebih meningkatkan bhakti kita pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Mintalah petunjuk pada Hyang Widhi, dan minta juga restu dari Ratu Pasek.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Jaten,Karanganyar-Solo - Jawa Tengah
04-02-2005.
patut pisan jro
BalasHapusPatut Pisan Jro
BalasHapus