Rabu, Juni 03, 2015

MASIH PERLUKAH ”AJEG BALI”


”Ajeg Bali” yang sejak lama didengungkan sesungguhnya punya tujuan yang baik untuk melestarikan Bali dengan tradisinya sehingga tidak lekang ditelan jaman mengingat Bali ini sangat penting baik bagi bali sendiri, bagi Indonesia, bahkan bagi dunia, kesadaran ini perlu ditumbuhkan. Wacana Ajeg Bali ini diawal kemunculannya sempat dicurigai akan meng-ajegkan budaya-budaya Feodal sehingga tidak memperoleh dukungan dari sebagian masyarakat yang anti feodalisme, malah muncul wacana Ajeg Hindu karena agama Hindu-lah yang menjiwai setiap tradisi bali sehingga yang bertentangan dengan ajaran Hindu seperti budaya Feodal tidak perlu dipertahankan. Ajeg Hindu ini tidak perlu menjadi counter karena Hindu tidak perlu di ajegkan keberadaan ajaran Hindu justru untuk memberi rasa damai (pribadi yang ajeg), jadi tetaplah dengan konotasi Ajeg Bali namun perlu di-revitalisasi, perlu disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali secara umum dan benar-benar meng-Ajegkan budaya Bali dengan jati diri Hindu.


Sampai hari ini wacana Ajeg Bali terus dikumandangkan walau kadang menumpang pada kepentingan lain seperti tolak reklamasi dengan dalih Ajeg Bali, sehingga menjadi pertanyaan apakah Ajeg Bali berarti tidak boleh ngurug pantai atau boleh ngurug tetapi ditata dengan budaya bali, atau bagaimana? ini menjadi membingungkan dan kesan yang ditangkap justru ketidak puasan dengan fihak lain. Berita terbaru dengan protes ketika perusahaan di Bali mewajibkan memakai jilbab bagi seluruh karyawan wanita yang akhirnya diluruskan, inipun dengan alasan Ajeg Bali, dan bentuk lainnya dengan pengertian semua itu demi Ajeg Bali. Walau lantang disuarakan tetapi keberadaan wacana ini secara organisasi/lembaga belum jelas keberadaannya, apakah dibawah Pemda Bali, dibawah Desa Pakraman, atau berupa LSM ? semua itu mencerminkan, bahwa cara yang dilakukan guna ajeg Bali belum terorganisir dengan baik, belum ter-strategi dengan matang, dan belum ter-integrasi, sehingga untuk keberhasilannya jauh panggang dengan api. Sekarang ini wacana Ajeg Bali mulai mendapat tantangan dengan interaksi masyarakat luar Bali yang datang ke Bali terutama 5-10 tahun terakhir yang telah merubah tatanan kehidupan masyarakat Bali dengan tradisinya, sehingga timbul pertanyaan apakah masih diperlukan keberadaannya ? Bahasan berikut ini tidak membicarakan agama atau keyakinan para pendatang, juga tidak bermaksud mengadu domba antar umat beragama tetapi mengajak semua untuk bekerja-sama memahami dan mengimplementasikan Ajeg Bali jika ingin langgeng dan Bali masih mampu menyumbangkan devisa dari Pariwisata. Tulisan ini juga tidak mengungkit umat non Hindu yang sudah lama di Bali yang sudah berinteraksi juga saling ke juang lewat perkawinan, bahkan mereka sudah menjadi bagian dari Bali. Yang ingin kita sampaikan adalah apa dampak kedatangan pendatang ini terhadap Ajeg Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu.


Seperti kita ketahui 5 – 10 tahun terakhir kedatangan para pendatang sangat melonjak sayangnya data akurat penulis belum punya namun sebagi orang yang baru kembali menjadi masyarakat Bali setelah lama merantau sangat jelas melihat  perbedaan itu. Apakah kedatangan mereka karena Bali dengan Pariwisatanya, sehingga ingin berinteraksi seperti pepatah dimana ada gula disana ada semut, yang jelas kebanyakan dari mereka adalah pedagang kecil dan buruh serta lainnya yang tidak semua ada relasinya dengan Pariwisata. Jadi kelihatannya mereka para pencari kerja dari Jawa, Lombok, dan lain daerah karena persaingan atau kesempatan kerja yang terbatas di daerahnya. Kebiasaan para pedagang ini adalah mencari tempat dipinggir jalan, diemper rumah atau tempat kosong lainnya sehingga minim cost (tidak perlu menyewa). Situasi ini jika dibiarkan akan menyebabkan Bali tidak bedanya dengan di Jawa atau kota lainnya diluar bali, lagipula lama kelamaan akan susah memindahkannya dan akan ada perlawanan. Bagi para buruh kasar biasanya tarifnya lebih murah dan mereka lebih rajin, sehingga pengusaha lebih suka memilih tenaga luar itu karena murah sementara orang bali (Hindu) disebut malas dan banyak libur, apakah itu benar? Secara umum mungkin ada benarnya tetapi tidak semuanya seperti itu. Anehnya pengusaha yang adalah orang Bali lebih memilih tenaga orang luar daripada semeton Bali, seharusnya beri mereka kesempatan libur piodalan misalnya dan titip doa agar usahanya lancar. Jangan dikira tenaga luar tidak libur, mereka libur setiap minggu beberapa jam sementara semeton bali biasanya piodalan 6 bulan sekali, jika dibiarkan maka kedepan buruh luar ini yang rajin dan hemat bisa akan menjadi bosnya dan orang bali tetap menjadi buruh. Usaha kavling juga menjadi penyebab banyaknya pendatang yang bisa menjadi penduduk bali hanya karena membeli kavling atau sudah rumah jadi, bahkan di TV lokal ada promosi perumahan di bali selatan yang terang terangan menyebut walau ktp anda diluar Bali boleh membeli propertry ini. Dengan situasi seperti itu, maka di area busines seperti pasar, lapangan, dan tempat strategis lainnya, bahkan di objek wisata seperti Pancasari sudah dominan pendatang sehingga kita seperti bukan di Bali. Akibat dari semuanya, maka lahan-lahan di bali khusunya didekat pusat ekonomi, di bali utara kearah barat (Gilimanuk), Negara, dll sudah berdiri tempat ibadah yang sebenarnya baik dibandingkan mereka tidak sembahyang, namun tentu perlun ijin sesuai ketentuan undang undang seperti halnya orang Bali (Hindu) diluar bali yang melakukan hal yang sama dan memperhatikan letaknya/lokasinya  agar tidak merubah tatanan budaya bali karena sekarang ini kebanyakan dipinggir jalan. Bedanya adalah jika orang Bali Hindu untuk keseharian sembahyang di Mrajan (Pura keluarga) hanya pada hari tertentu ke Pura misalnya Galungan, kuningan, Piodalan, maka para pendatang ini yang beragama Muslim memerlukan tempat ibadah berupa Mushola atau yang lebih besar berupa Masjid sementara umat Krsitiani ke Gereja pada hari minggu. Lama kelamaan tempat ibadah ini akan semakin banyak karena proporsional dengan jumlah kedatangan mereka ke Bali. Pola berpikir yang baik adalah semua mahluk adalah sama sehingga bisa berdampingan dengan damai tanpa memandang apa agamanya, namun tingkat spiritual masyarakat tidak sama, bibit-bibit ketidak setujuan sudah mulai terlihat, bahkan sudah mengemuka, seperti bermunculan penolakan-penolakan lewat lembaga masyarakat yang dikhawatirkan justru terjadi benturan dan keluar dari jati diri budaya bali yang bersahabat, moderat, damai. Bentuk-bentuk penolakan mulai mengarah kepada sara seperti mengkritisi pembangunan tempat ibadah, protes masalah pemakaian jilbab bagi umat Hindu dan bentuk penolakan lainnya, ini bukan masalah sederhana sehingga perlu pemikiran yang baik dari semuanya.


Bali adalah asset nasional yang perlu dijaga tidak saja oleh orang bali yang beragama Hindu tetapi non Hindu yang sudah menjadi warga Bali dan sebagai antisipasi dan solusi bagi kepentingan Ajeg Bali, maka banyak hal yang bisa dilakukan, yang paling utama sebagai mayoritas maka orang bali Hindu harus punya jiwa mengayomi umat beragama lain yang sudah ada di Bali, kemudian bersaing secara sehat baik dalam kapasitas sebagai pe-busines, karyawan, atau buruh kasar, Ajeg Bali jadikan lembaga formal dan jelas, menurut penulis jadikan sebagi bagian dari Desa Pakraman karena kalau di bawah Gubernur, maka secara birokratis Gubernur akan tunduk kepada Mentri Dalam Negeri dan juga tugas Gubernur yang mengayomi semuanya, jika menjadi bagian dari LSM kalau itu LSM yang berkiblat ke partai juga tidak independent, maka yang paling tepat Ajeg Bali bagian dari visi Desa Pakraman walaupun tetap perlu didukung oleh Perda agar bisa menyeluruh ke pelosok bali. Komposisi karyawan/pekerja dengan tetap menjunjung profesionalisme perlu diatur, idealnya terlibat minimal 60% di perusahaan-perusahaan di bali. Pengusaha Bali perlu didukung baik dengan permodalan atau dukungan lain khususnya oleh Bank Daerah seperti BPD (Bank Pembangunan Daerah Bali), atau BPR yang banyak tumbuh di Bali,  tumbuhkan rasa persaudaran seperti semeton Chinese berbelanjalah pada warung semeton Bali,  warung Bakso Haram merupakan perwujudan dari jengah yang positif, para birokrasi seperti Deperindag, Depnaker, dll perlu mendorong sistem atau aturan yang memberi peluang lebih besar kepada orang bali dibandingkan pendatang, para lurah/kepala desa sebagai pintu pertama perlu selektif dan hati hati,  orang bali yang sukses diluar bali perlu investasi di Bali dan mempekerjakan orang Bali, semeton bali jangan saling mecongkrah sama semeton sendiri baik secara pribadi maupun dengan lembaganya, jangan terlalu mendewakan keturunan  sehingga merasa lebih tinggi dari sesama orang bali lainnya karena itu kesalahan masa lalu yang tidak perlu diteruskan, apalagi secara keleluhuran sebagian besar orang bali adalah semeton (menyame).  Kesimpulan dari semuanya adalah jika ingin Ajeg Bali bisa di terapkan dengan baik, maka mayority dalam segala lapisan perlu diupayakan, dan sebagai mayority harus punya jiwa mengayomi, namun dengan kondisi sekarang justru menjadi pertanyaan, apakah Ajeg Bali masih perlu diterapkan? Yang bisa menjawab ini adalah kita sendiri orang Bali Hindu, baik yang duduk di Birokrasi, di LSM, yang jadi pengusaha, yang jadi karyawan, buruh, rohaniawan, intelektual Hindu, yang ada di Bali maupun diluar Bali, bagaimana ? apakah masih diperlukan ?


Sebagai renungan terakhir buat kita semua, mari kita mengingat kembali beliau Ida Mpu Kuturan yang sangat visioner yang ada pada era tahun 1000 yang telah mewariskan kepada kita konsep kemasyarakan dengan tradisi Hindu yang disebut Desa Pakraman, mari kita kembalikan itu jika ternyata kita keliru menerapkannya, jangan dikotori dengan feodalisme, dan tegakkan kembali sebagai bentuk rasa hormat kita kepada beliau.


Om Siwa Rsi maha tirtham, Panca Rsi panca tirtham,
Sapta Rsi catur yogam, lingga rsi mahalinggam

Om Ang Geng Gnijaya namah swaha
Om Ang Gnijaya jagat patya namah
Om Ung Manik Jayas’ca,Semerus’ca,sa Ghanas ca,De Kuturan,Baradah ca Yanamonamah swaha

Om Om Panca Rsi, Sapta Rsi,  Paduka Guru Bhyo namah swaha


Penulis,

JMk Nyoman Sukadana
Gn.Rinjani-Paket Agung-Singaraja

                                                                                                                                13-11-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)