Rabu, Februari 17, 2010

WILUJENG SURO - DI DUKUH PASEKAN

Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, yang lebih dikenal dengan ”Pura Pemacekan” keberadaannya dilingkungan masyarakat yang bukan etnis Bali dan sebagian besar (99%) bukan umat Hindu, namun mereka juga adalah umat yang sejak dulu menjaga bahkan melakukan ritual di Petilasan, sehingga ada ikatan emosional dan psychologis dengan Eyang Putro Rsi Pitu (sebutan mereka). Hal ini merupakan situasi yang tidak mudah bagi umat Hindu khususnya Pengempon dari sisi komunikasi, dimana hubungan yang baik agar bisa tetap terjaga. Setiap piodalan masyarakat di dukuh Pasekan selalu diikutkan dalam kegiatan kerja-bhakti, juga parkir, dan jualan makanan/minuman, sehingga mereka merasakan manfaat dari keberadaan petilasan. Saat ini penduduk setempat sedang membuat ”Reog Singo Pasek” yang membutuhkan Gamelan dan sarana lainnya. Salah satu yang juga perlu didukung dan dijalin kerja-sama adalah kegiatan ’Tradisi Suran/ Wilujeng Suro” yang bagi umat Jawa tradisionail (yang masih melakukan tradisi) adalah sesuatu yang tidak berani dilanggar untuk tidak dilakukan. Situasi ini merupakan media yang bisa digunakan kedua fihak untuk menjalin komunikasi yang lebih baik.

Dalam rangka ”Memetri/memperingati” tradisi leluhur yang sudah berlangsung turun temurun, berupa ”Tradisi Suran /Wilujeng Suro”, maka RW 05 Dusun Keprabon, Desa/Kec Karangpandan, Karanganyar (Jateng), yang terdiri dari tiga RT atau tiga Dukuh, yaitu : Dukuh Ngledok RT 05/05, Dukuh Pasekan RT 06/05, dan Dukuh Perumahan Rakyat RT 07/05, kembali melaksanakan ”Wilujeng Suro” pada Kamis Malam, 24 Desember 2009. Acara seperti ini dilaksanakan setiap tahun oleh RW 5 Dusun Keprabon, dan bagi Pengempon ini adalah keterlibatan yang kesekian kali sejak pertama pada Januari 2007 dan merupakan terakhir bagi Pengempon Generasi Pertama ini yang akan berakhir Februari 2010 (masa bhakti 5 tahun). Kehadiran Pengempon dan juga secara kebetulan Pimpinan MGPSSR Pusat bidang Ke-Sulinggihan-Sunasdyana dan Bidang Tata upacara-Mangku Wayan Sujana, serta umat yang tidak asing bagi Warga Dukuh Pasekan yaitu : Gede Oka Gurnita dan Putu Netre bersama rombongan, bisa berbaur dalam ritual ”Suran/Wilujeng Suro” menjadikan lengkapnya perpaduan umat Jawa, Pengempon, dan umat dari Bali. Pimpinan MGPSSR ini hadir ke Jawa dalam rangka ”Matur suksme” atas suksesnya Piodalan di Lempuyang Madya sehingga tangkil ke Pura-Pura penting di Jawa termasuk ke Pura Pemacekan. Nuansa Budaya Jawa sangat kental terlihat pada acara ini sehingga walau umat ini hampir 99% beragama Islam tetapi mereka sangat mencintai budaya leluhurnya melalui acara Wilujeng Suro yang mempunyai makna spiritual yang adiluhung. Wilujeng Suro dimaksudkan untuk menghilangkan sifat Asura (Raksasa) dan membangkitkan Sura (Suci) sehingga Bulan Suro dimaksudkan juga sebagai ”Bulan Kebangkitan Kesucian Diri”, dengan filosofi Durgo Mendak – Kolo Sedo, yang pada intinya menyongsong kebaikan dan membuang sifat-sifat buruk. Wilujeng Suro yang diadakan di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan secara rutin ini, memang kental dengan tradisi Jawa, baik dari segi sarana upacara maupun bentuk penghormatan lainnya. Dilakukan pada Kamis malam dianggap hari yang baik dan yang penting sebelum tanggal 10 kalender Jawa tahun ini. Dilaksanakan di Petilasan karena mereka menganggap Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan yang disebut mereka dengan ”Eyang Putro Rsi Pitu” adalah Cikal Bakal atau Danghyang yang sangat dihormati. Bagi Pengempon karena ikatan batin penduduk setempat sudah sejak lama ada sementara pratisentana Pasek menemukan beliau belakangan, maka sepantasnya mendukung umat yang menjalankan bakti ini.
(Keberadaan Petilasan ini memang diawali oleh Pewisik yang diterima oleh Jro Mangku Gde Ketut Subandi ketika beliau masih bertugas di Kepolisian sekitar tahun 70-an, yang ikut melacak kemudian adalah : Kanjeng Sanjoto dari Puri Mangkunegaran dan Brigjen Giyanto dengan diantar oleh Suaji dari Dukuh Gondang Gentong, Ds.Nigasan, kec.Karangpandan pada tahun 1973. Selanjutnya pada 9 Maret 1984 Jro Mangku Gde Ketut Subandi memperoleh petunjuk lebih jelas ketika beliau di Puri Mangkunegaran agar datang 31 km kearah Tawangmangu, maka bertemulah Pratisentana Bhatara Kawitan dengan Leluhurnya pada 10 Maret 1984 tersebut. Berikutnya banyak kemudian yang terlibat seperti : Ketut Nedeng, Ledang, Merta Suteja,Gede Oka Gurnita, Putu Netre, Gede Suma, semeton dari Bali dan Solo/Karanganyar lainnya. Juga para Mpu seperti Sinuhun Bongkasa, Mpu Dwi Tantra, khususnya Mpu Nabe Sinuhun Pemuteran dengan cucunya Mpu Daksa Jaya Dhyana (Nusa Penida) , yang banyak perannya sampai berdiri Pura yang cukup megah ini. Pemugaran sederhana pada 1986, peresmian (Pitra Yadnya) 9 Nopember 1990. Tahun 1998-1999 persiapan & pembangunan sederhana, dan Fase 2000-2002 pembangunan besar dengan tambahan Pelinggih baru : Meru tumpang Pitu, Piasan, Padmasana, Sapta Pertala, bale pawedan, candi gelung, candi bentar, bale banjar dan terakhir Bale kulkul. Peresmian dengan Penanda tanganan Prasasti pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) oleh Sinuhun Paku Bhuwono XII dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Pengempon generasi I pada 11 Februari 2005 masa bhakti 5 tahun). Mbah Wiryo Rejo mantan RT Dukuh Pasekan adalah ”Sesepuh masyarakat” yang sejak 1959 mengurus Petilasan Eyang Putro Rsi Pitu, walaupun tanah sekitar Petilasan dimiliki oleh Tarjo Almarhum, sehingga pada Wilujeng Suro ini beliau kembali yang dipercaya warga memimpin persembahan.

Jalannya Prosesi Wilujeng Suro
Rangkaian ”Prosesi Wilujeng Suro” ini sudah mulai dilaksanakan pada 18 Desember 2009 (tepat 1 Muharam/ 1 suro) dengan ”Mauludan” yang bermakna ”Bersih Desa”. Acara berikutnya pada 24 Desember 2009 (Kamis Malam). Prosesi berjalan dengan tradisi Jawa. Sesaji Jawa berujud ”Bubur Rampe Sajangkepe” dimana disamping wujud persembahan kepada Sang Pencipta juga ada yang bermakna Tolak Bala dalam istilah sekarang yang tidak beda dengan ”Caru” yang berarti manis/harmonis sebagaimana makna Caru agar terjadi keseimbangan atau keharmonisan manusia, alam, dan Sang Pencipta (Tri Hita Karana). Sekitar Pukul 20 wib Iring-iringan warga datang dengan membawa Sesaji Jawa diiringi dengan kidung Jawa dengan heningnya. Acara menghaturkan sesaji dipimpin oleh Mbah Wiryo Rejo salah seorang Tetua/sesepuh Dukuh Pasekan dan didampingi oleh Jero Mangku Pasek serta Pengempon dan umat lainnya dari Bali dan Solo/Karanganyar sekitarnya, untuk ikut memohonkan kepada Eyang Putro Rsi Pitu. Sementara itu di Bale Banjar Ketua RW 05 Purwanto membacakan doa secara Jawa yang sekilas seperti ”Puja Mantra Pembersihan/Prayascita Alam” karena ada sebutan seperti ”Ong Wilaheng Prayoga ........ Purwo warna Petak/putih, dst.dst . Juga Mantra ”Ong Sudayamam Swaha .... (menyebut Dewa Hindu) ......dst dst. Sebagai bukti, bahwa yang mereka teruskan walau terbungkus budaya adalah tradisi jawa yang berbau Hindu. Selesai prosesi di Petilasan, maka warga yang berjumlah lebih dari 50 orang, berkumpul kembali di Balai Banjar, namun sebelumnya dilakukan penanaman Kepala Kambing di depan kanan Gapura (Jabaan) yang bermakna mohon keselamatan masyarakat. Acara selanjutnya adalah ”Sarasehan” dilakukan di Bale Banjar sambil menikmati hidangan. Diawali dengan sambutan Ketua RW 5 Purwanto dilanjutkan Bayan/Kepala Dusun Keprabon Suroso, Lurah Karangpandan Tamlika, Ketua Pengempon Nyoman Nasa, dilanjutkan dari Bali Gede Oka Gurnita.

Karena Wilujeng Suro ini dihadiri oleh berbagai kalangan usia, maka Wilujeng yang seharusnya diisi dengan Topo, Broto, kemudian ditutup sekitar pukul 23.00. Dengan wajah bahagia hadirin lalu berpisah dengan pengalaman berharga yang tidak akan terlupakan khususnya bagi semeton dari Bali, bahkan para sesepuh sepakat untuk melanjutkan Wilujeng Suro ini pada kesempatan-kesempatan lainnya. Disadari juga tentunya ada keterlibatan Bhatara Kawitan, sehingga bagi kami yang berbeda keyakinan berada pada koridor Agama kita akan terkotak, tetapi berbicara masalah hati nurani adalah tanpa pembatas, karena sesungguhnya semua manusia itu adalah satu keluarga besar (Vasudewa Kutumbhakam).



Dilaporkan,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
28-12-2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)