Rabu, Februari 17, 2010

PERKAWINAN ANTAR BANGSA
DI PURA PEMACEKAN-KARANGANYAR-SOLO

Pengaruh Globalisasi rupanya tidak hanya terjadi pada perekonomian namun juga kepada komunikasi insan manusia hingga meningkat kepada terjadinya ”Perkawinan Antar Bangsa”. Perkawinan (Wiwaha Samskara)” antara dua anak manusia yang berbeda suku bangsa ini, dilangsungkan pada Jumat, 11 Desember 2009 sekitar Jam 07.30 sampai dengan jam 10 wib, di Pura Pemacekan, Karangpandan, Karanganyar, Solo-Jawa Tengah. Penganten lelaki adalah ”Sukamto” seorang umat Hindu etnis Jawa yang berasal dari Sukoharjo Jawa Tengah, sementara yang perempuan seorang wanita asal Hongaria bernama ”Agi”. Pada waktu yang ditentukan fihak keluarga pria yang sebagian besar beragama Islam bersama wakil pihak perempuan (keluarga angkat) umat Jawa setempat, keseluruhannya sekitar 25 orang, berkumpul di Jaba Tengah Pura Pemacekan, hadir juga Pinandita Atmo Sentono, wakil lembaga umat Hindu Karanganyar sebagai catatan sipil yang mengesahkan secara administrasi keumatan. Sarana upakara yang dipergunakan seperti umum di Bali berupa : Banten byekaon, prayascita, ayaban penganten-Semara Ratih, pengulap pengambean, dll. Prosesi Wiwaha Samskara dipimpin oleh ”Jero Mangku Ketut Pasek” Pemangku Pura Pemacekan, diawali penyucian (Byakaon), Ngayab, Purwa daksina, dll untuk kedua penganten dilakukan di Madya Mandala Pura pemacekan (didepan Candi Bentar) dengan Penganten dan keluarga menghadap ke Jeroan Pura. Setelah selesai penyucian diri, mereka kemudian berganti pakaian dan diijinkan masuk ke Utama Mandala (Jeroan Pura) untuk melakukan Sungkem kepada orangtua keduanya dan Puja Bhakti di dalam Petilasan sebagai simbolisasi ”Mrajan” kedua mempelai. Acara berikutnya ”Sudiwadani (upacara menyatakan diri masuk Hindu)” dilakukan di Bale Pawedan Pura Pemacekan, acara ini dirangkai menjadi satu (Wiwaha Samskara dan Sudiwadani) agar lebih effisien dari segi waktu dan biaya. Acara pokok Sudiwadani adalah mengucapkan ”Gayatri Mantram” dipimpin Jero mangku, mantram ini sebagai pintu pembuka memasuki gerbang Hindu sebagai keyakinan mereka, juga pemahaman ”Panca Srada” sebagai lima kepercayaan jika menyebut diri umat Hindu. Acara demi acara berjalan secara berurutan, akhirnya sekitar jam 10 wib semua proses Wiwaha Samskara tuntas dan kedua insan dua bangsa dan dua keyakinan berbeda pada awalnya, kini sudah resmi menjadi pasangan suami istri dibawah payung agama Hindu.

Prospek Hindu Era Globalisasi
Hindu adalah agama dunia atau agama umat manusia, maka sudah sepantasnya kita khususnya Lembaga Umat Hindu mensikapi hal ini dengan pola pembinaan umat yang dinamis. Hindu dan upakaranya bukan lagi hanya Bali dengan tradisi serta budayanya, karena ada etnis diluar bali bahkan diluar indonesia yang siap memasuki gerbang Hindu. Umat mancanegara sudah banyak yang masuk Hindu di Indonesia baik lewat perkawinan atau memang ingin mengerti dan menjadi pengikut Hindu dengan lebih dalam, bahkan sudah ada ”Pandita” dari etnis manca negara seperti Mpu Istri Ratu Bagus – Muncan Karangasem/Bali. Dalam hal Wiwaha Samskara, umat ini sudah tidak lagi mempermasalahkan : Upakaranya dengan banten bali, tempatnya di Petilasan (Pura Pemacekan), Pemangkunya etnis Bali (pengantennya Hindu etnis Jawa) , dan lain-lain, jadi sudah mulai tumbuh pemahaman umat, bahwa tata cara boleh saja berbeda-beda, namun mereka sadar yang dilakoni itu adalah salah satu tradisi upakara yang saripatinya adalah ”Tattwa Hindu”. Dengan pemahaman ini kedepan semoga umat yang menjalin kasih dengan warga negara lain tidak perlu lagi bingung apalagi sampai meninggalkan agamanya sendiri karena umat Hindu Indonesia bisa melaksanakan upakara Wiwaha Samskara walaupun sang Penganten berbeda suku bangsa, yang penting ada ketulusan hati untuk menjadi pemeluk Hindu yang baik bukan saja ketika Sudiwadani tetapi juga sampai pulang menyatu dengan Brahman.

Mengamati fenomena kawin-cerai dimasyarakat dewasa ini, maka ajaran Hindu menyebutkan :
”Membuat sebuah telaga untuk umum itu lebih baik daripada menggali seratus sumur, melakukan Yadnya itu lebih tinggi mutunya daripada membuat seratus telaga, mempunya seorang putra (anak utama) itu lebih berguna daripada melakukan seratus yadnya, dan... menjadi manusia setia itu jauh lebih tinggi mutu dan gunanya daripada mempunyai seratus putra”.

Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah 13-12-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)