Kamis, Juni 30, 2011

BAGAIMANA LELUHUR MEMFUNGSIKAN PURA

Pura secara pokok mempunyai dua fungsi, yaitu vertical sebagai tempat menghubungkan diri dengan Sang Pencipta dan fungsi horisontal untuk kepentingan sosial kemasyarakatan, namun kadang ada fungsi lain dari Pura yaitu untuk kepentingan politis (strategis). Kata politis ini tidak selalu berarti negatif karena bisa juga politis untuk sesuatu yang baik. Sebagai renungan, kita bisa belajar bagaimana leluhur kita memfungsikan Pura.

Di Bali, banyak Pura (Parhyangan) yang mempunyai peran horizontal (disamping vertikal). Pura ini merupakan monumen bersejarah yang pernah memberikan sumbangan kedamaian bagi umat pada jaman itu. Kita sebut saja ”Pura Samuan Tiga”, Pura ini terletak didesa Bedulu, Blahbatuh Gianyar. Pura ini adalah bentuk peringatan, bahwa ditempat ini pernah terjadi pertemuan tiga kelompok besar masyarakat yang dipimpin oleh Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana warmadewa/Gunapriya Darmapatni, yang berkuasa pada 988-1011M. Pada masa itu Raja suami-istri perlu mendatangkan Empat Brahmana/ Catur Sanak (Mpu gnijaya,Mpu Semeru,Mpu Ghana, dan Mpu kuturan) untuk mengatasi Sad paksa (Enam sekte) yang berbeda dalam pelaksanaan yadnya sehingga menimbulkan keresahan dimasyarakat. Atas kebijaksanaan dan keahlian Mpu kuturan, akhirnya sekte-sekte ini dipertemukan disuatu tempat yang kelak disebut Samuan tiga. Hasilnya adalah dibentuknya Desa Pakraman dengan Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem sebagai Parhyangan Pemujaan Tri Murti. Untuk dirumah dibuat ”Sanggah Kemulan” sebagai pemujaan Tri Murti. Jadi Pura Samuan Tiga ini adalah Monumen bersejarah cermin Persatuan Umat. Pura lainnya adalah ”Pura Dasar Bhuwana Gelgel” yang terletak didesa Gelgel, Klungkung. Pura ini adalah bekas Pasraman Mpu Ghana (Ratu Pasek) salah seorang dari Panca Tirta, dimana pada 1267M dibangun oleh Mpu Dwijaksara keturunan dari Mpu Gnijaya, tetapi baru berupa ”Bebaturan Penganggih”. Pada masa pemerintahan Dalem Semara Kepakisan yang dinobatkan pada 1380M, Pura ini dibangun lebih baik lagi dan dijadikan Pura Penyungsungan Jagat sekaligus Penyungsungan Tri Warga, yaitu Dalem, Pasek, dan Pande, sebagai kekuatan potensial jaman itu. Dalem Semara Kepakisan belajar dari pengalaman ayahndanya Dalem Kresna Kepakisan yang pada awal pemerintahan terjadi pemberontakan oleh 39 desa karena terlalu sentralistis yang hanya mengandalkan para Arya Majapahit dan kurang memperhatikan aspirasi masyarakat bali. Seperti diketahui, sejak majapahit berkuasa di Jawa Timur dan berakhir juga kepemimpinan Dinasty Warmadewa di Bali, maka Bali selanjutnya dipimpin Kyayi I gusti Agung Pasek Gelgel. Atas desakan dari pemimpin-pemimpin Bali seperti Ki Patih Ulung (Ayahnda Pasek Gelgel), yang datang ke Wilwatikta (Majapahit), maka ditempatkan Kresna kepakisan (Putra Bungsu Mpu Soma Kepakisan-keturunan Panca Tirta). yang secara kekerabatan masih ada hubungan keluarga dengan Pasek Gelgel. Dengan keahlian politis dari Dalem Semara Kepakisan, maka pada masa kepemimpinannya terjadi Jaman Keemasan (Jaman keemasan Gelgel bukan Masa Dalem Waturenggong). Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, datang pada 1489M Mpu Nirartha yang selanjutnya menjadi Purohita Kerajaan dengan sebutan Danghyang Nirartha. Pada masa itu, maka Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambahkan satu Pelinggih lagi untuk Mpu Nirartha dan keturunannya sehingga menjadi Pura Penyungsungan Empat Warga (Catur Warga). Berikutnya Parhyangan yang banyak dibangun pada masa Mpu Kuturan, sebelum dan juga sesudahnya, banyak dikaitkan dengan Danghyang Nirartha, entah kesengajaan atau suatu kesalahan, sehingga Pura seperti Pura Uluwatu, Pura Rambut Siwi, Pura Sakenan, dan lain-lain yang sudah ada sebelum Danghyang Nirarta datang ke Bali (1489M) sekarang dikaitkan dengan beliau. Memfungsikan Pura untuk kepentingan strategis disamping fungsi vertical, masih berlanjut dijaman sesudahnya. Dijaman Millineum ini, banyak Pura masih lekat dengan kepentingan, yang tidak hanya politis/strategis tetapi juga pariwisata sehingga tidak heran kalau kita harus membeli karcis untuk masuk Pura. Di Jawa berdiri banyak Pura disamping Pura besar seperti Pura Mandara Giri Semeru Agung, Pura gunung Salak, yang tentu ada kepentingan lain diluar kepentingan untuk bersembahyang. Di Karanganyar/Solo Jawa Tengah juga ada ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita” yang sudah mulai banyak dikenal oleh umat dan pratisentana Bhatara kawitan. Tidak kalah juga umat dari bali bekerja-sama dengan Pemda karanganyar juga membangun Patung Saraswati yang setiap tahun didatangkan Upakara dari Bali oleh kelompok masyarakat tertentu, ini juga jelas terlihat ada kepentingan lain (bisa politis/prestise, juga jelas Pariwisata).

Apapun yang dilakukan umat dijaman ini terhadap sebuah Pura, maka yang utama adalah agar didasari oleh niat yang baik dan dengan kesucian diri. Silahkan jika ingin membangun Pura atau menjadikan Pura sebagai kegiatan sosial karena memang Pura punya fungsi sosial, namun jangan sampai Pura dijadikan sebagai media kepentingan diri atau kelompok yang bertentangan ajaran kebenaran, karena jika dilandasi oleh niat untuk kepuasan duniawi (kekuasaan,prestise), maka aura kesucian Pura bisa pudar dan jadilah Pura itu menjadi tidak punya kharisma lagi. Jika seperti itu, maka yang akan rugi adalah kita semua yang telah salah memfungsikan Pura. Untuk itu tidak ada salahnya kalau kita mengenang bagaimana para leluhur kita memfungsikan Pura dengan dasar kesucian, walaupun ada unsur politis, seperti yang dilakukan Dalem Semara Kepakisan, juga Mpu Kuturan, dan leluhur kita yang lainnya yang telah sangat bijak memfungsikan sebuah Pura. Pada Sarasamuscaya Sloka 279, disebutkan keutamaan ”Tirtayatra” yang amat suci dan lebih utama daripada pensucian dengan Yadnya, sehingga alangkah sayangnya kalau Pura dijadikan tempat yang bukan untuk mengejar kesucian atau pembersihan diri. Yang lebih penting dari semua itu adalah bagaimana kita sama-sama berusaha menjadikan diri kita menjadi sebuah Pura dengan menjaga kesucian diri, sehingga kita selalu bisa dekat dengan Hyang Widhi. Om Pratamacuddha, dwitiyacuddha, tritiyacuddha, cuddham wariastu




Penulis,

Nyoman Sukadana
Jaten-Karanganyar
16-05-2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)