Kamis, Juni 30, 2011

PINANDITA IDEAL SEBUAH HARAPAN

Keberadaan seorang Pinandita dimasyarakat Hindu sangat dibutuhkan, tidak ubahnya seperti kebutuhan masyarakat akan : Dokter, guru/dosen, pedagang, petani, bahkan tukang cukur. Kebutuhan akan seorang Pinandita, Pemangku atau Wasi di Jawa, diperlukan untuk terjawabnya kebutuhan masyarakat akan Pemimpin Yadnya (Nganteb), tentunya sesuai dengan batas-batas yang diperbolehkan, karena Pinandita ini masih Eka-Jati. Kapabilitas seorang Pinandita menjadi pertanyaan seperti halnya tenaga profesional lainnya. Secara umum pertanyaan berpusat pada persyaratan untuk menjadi Pinandita, seperti : syarat pendidikan, moral,etik, pemahaman akan ajaran agama, wawasan luas,kemampuan berdarma-wacana, menjadi problem solving, dan lainnya. Intinya masyarakat ingin memiliki ”Pinandita Yang Ideal”. Tuntutan umat ini sangat tinggi bahkan ideal untuk sosok seorang Pinandita. Disisi lain, sebagai fihak yang dibutuhkan seharusnya Pinandita mempunyai daya tawar atau bargainning power yang lebih minimal terhadap kesejahtraannya, tetapi ironisnya banyak dari Pinandita ini sangat susah hidupnya, sementara umat kurang memperhatikannya. Lalu fenomena apa sebenarnya yang terjadi dalam interaksi antara Pinandita dan umat ini.

Wacana persyaratan pendidikan tertentu bagi Pinandita, seperti Sarjana Agama atau pernah mengikuti Kursus-kursus agama, itu boleh-boleh saja sepanjang syarat itu ha
nya salah satu dari beberapa syarat-syarat lainnya yang juga penting seperti syarat moral/etik dan lainnya. Jangan sampai sekolah agama menjadi syarat mutlak yang dikhawatirkan justru menyuburkan busines sekolah sejenis ini atau dengan kata lain Pinandita jadi ladang busines. Jika hanya fokus atau lebih berat pada Ilmu agama, dikhawatirkan hanya memperoleh Pinandita yang mampu/kapabel pada Ilmu-nya atau pada Sertifikat/Ijasah, padahal tidak kalah penting adalah penghayatannya. Hal ini perlu disampaikan karena belajar itu tidak harus disekolah, seorang Pinandita atau calon Pinandita bisa belajar dirumah atau dimana saja juga melalui melihat langsung fenomena masyarakat, bahkan dengan cara ini seorang Pinandita akan lebih menjiwai tugasnya. Syarat lain bahkan yang paling penting adalah terkait dengan moral terutama kadar rohaninya. Seorang Pinandita adalah komunikator antara umat (Sang Yajamana) dengan Sang Pencipta, maka kedalaman batin yang bersumber dari kebersihan jiwanya sangat diperlukan dalam hal ini. Kedalaman batin ini akan membawa dampak yang penting, misalnya saja ketika memberikan pencerahan, atau pemaparan ajaran agama, seorang Pinandita yang tinggi kadar rohaninya, mungkin saja tidak pernah sekolah agama atau tidak bisa mereferensikan omongannya dengan Sloka Weda, tetapi dari hati nuraninya yang dalam serta repleksi terhadap permasalahan orang lain akan mampu menjelaskan atau menjabarkannya dengan baik karena dia mampu berkomunikasi batin dengan orang lain. Pinandita yang tinggi kadar batinnya akan mempunyai karisma yang sangat diperlukan dalam menjalankan swadarmanya terutama ketika memberikan pencerahan. Seorang Pinandita yang ideal memang adalah yang faham ajaran Agama dari Catur Weda dan Bhagawad Gitta, tetapi juga dalam rohaninya, serta peka terhadap permasalahan masyarakat, tetapi tidak mudah memperoleh kriteria itu, sehingga kalau terpaksa harus memilih antara tinggu ilmu agama dengan tinggi kedalaman Rohani dan kesuciannya, maka yang lebih menjadi pilihan adalah ”Pinandita yang dalam rohaninya”. Jadi kriteria utama Pinandita yang baik adalah ”Moralnya”.

Berikut mari umat memasuki kehidupan Para Pinandita, supaya mengerti bagaimana kehidupan mereka. Silahkan datang dan lihat langsung kehidupan mereka apa yang nanti anda lihat. Sebagai gambaran umum bisa disampaikan, bahwa banyak dari kalangan Pinandita ini kehidupannya kurang layak secara sosial ekonomi. Seorang Pinandita bukan Pandita (Brahmana) yang relatif sudah lepas dengan kehidupan keluarga, walau dimasyarakat masih ada Pandita yang disibukkan dengan kehidupan keluarga. Pinandita ini bukan Brahmana tetapi tangan-tangan Brahmana, kedua kakinya berada didua sisi, satu sisi melakukan Fungsi Ke-Pinanditaan, seperti Nganteb, darmawacana, dll. disisi lain dia perlu menghidupi keluarga. Sumber penghasilan adalah ”Sesari” walau sering kita tidak faham dan enggan memberikan sesari lebih. Uang ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dapur, anak sekolah, dan lain-lain, mana cukup ? kadang ada Pinandita yang merangkap sebagai petani, tukang cat, sopir, dan pekerjaan Warna Sudra lainnya, padahal Pinandita adalah menuju ke Warna Brahmana. Kalau kerja rangkap seperti ini terjadi maka kita tidak akan mendapatkan Pinandita yang Ideal. Bagi Pinandita sendiri, walau kurang tepat tetapi inilah cara agar dirinya bisa melakukan tugasnya sekaligus bisa menghidupi keluarga. Umat Hindu mengenal Panca Yadnya, tetapi sangat toleran dan berani mengeluarkan uang besar untuk Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, bagaimana dengan Rsi Yadnya, apa pernah kita memikirkan pakaian putih (kain/kampuh) Pinandita, apa pernah menanyakan bagaimana sekolah anak-anaknya, padahal perhatian dari kita itu sangat dibutuhkan. Di India, dari buku yang saya baca ada perayaan ”Satyanarayana Wrata” yaitu suatu perayaan untuk memberikan perhatian (punia) kepada Pandita, Pinandita, dan orang miskin, ini dilakukan pada Purnama. Di Slokantara dan Sarasamuccaya disebutkan Purnama-Tilem adalah waktu yang baik untuk memberikan Punia pada mereka, tetapi ini jarang dimanfaatkan. Tidak heran kemudian muncul ”Paiketan Pemangku” di Bali, sebelumnya sudah ada Paguyuban Pinandita ”Padma” di Karanganyar, Solo, dan sekitarnya. Tindakan Ini baik, karena bisa dimanfaatkan untuk peningkatan pemahaman Ke Pinandita-an, juga bisa untuk mengatasi kebutuhan material. Jangan-jangan muncul ”Koperasi Pinandita” yang menjual kebutuhan sehari-hari bahkan Simpan-Pinjam padahal Pinandita harusnya tidak terikat lagi pada hutang piutang jadi fokus pada Swadarma kePinanditaan. maka semakin jauhlah kita dari kebenaran dengan melalaikan Rsi Yadnya. Masalah lain yang dihadapi Pinandita khususnya yang suku Bali adalah masalah psychologis menghadapi awidya/kebodohan umat atau bentuk keangkuhan, yang tidak mau diperciki tirta Pinandita, dan banyak permasalahan lainnya yang kurang mendapat perhatian Walaka juga pemerintah atau lembaga keagamaan.

Permasalahan lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan Pinandita diluar Bali yang bukan suku Bali, misalnya di kantong-kantong Hindu di Jawa. Masalah sosial ekonomi yang belum baik juga terjadi pada mereka, namun permasalahan rendahnya tingkat pendapatan ini umumnya tidak hanya pada Pinandita tetapi pada masyarakat secara umum di desa-desa kantong Hindu ini, jadi perlu keterlibatan fihak luar untuk membantu. Masalah lain adalah ”Format Ke Pinanditaan mereka”. Hindu bangkit kembali di komunitas Suku Jawa belum lama karena tenggelam sejak abad ke-14 sampai ke-19 (sejak Majapahit Hindu runtuh). Seperti halnya Bebanten, bentuk yadnya, dan cara Pinandita era Majapahit ini menghubungkan diri ke Sang Pencipta, juga tenggelam. Itulah sebabnya Ageman ke Pinanditaan yang dipelihara di Bali oleh leluhur kita dari Jawa yang menetap di Bali, dikembangkan menjadi seperti sekarang dan diajarkan lagi kepada Pinandita baru dari suku Jawa. Faktanya transfer knowledge ke-Pinanditaan ini belum berjalan mulus, apakah karena belum memperoleh pendidikan yang baik dan intensif dari Bali atau justru keengganan Pinandita Jawa mengikuti tata-cara di Bali perlu dicermati lebih teliti. Memang dengan cara sederhana, mantram singkat atau hanya ucapan biasa asal disertai ketulusan dan kepasrahan, maka sudah besar artinya, tetapi tentu akan lebih baik jika kepada Pinandita dari Suku Non Bali ini diberikan ”Format Pinandita Hindu Nusantara”, yang sesuai dengan lingkungan dan kebiasaan mereka dengan prinsif ke-aneka ragaman tetapi bersumber satu, yaitu Sesana Ke-Pemangkuan yang benar. Ini adalah tanggung jawab Paruman Pandita misalnya saja di PHDI Pusat untuk merumuskannya. Beberapa waktu lalu Dirjen Bimas Hindu yang baru sudah mengumpulkan Pinandita di Karanganyar, Solo, dan sekitar, semoga saja permasalah Pinandita ini baik sosial ekonomi, atau Ageman/Sesana, bisa ditingkatkan atau diperbaiki. Jadi Pinandita Ideal dijaman sekarang ini, baru berupa harapan.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
18-01-2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)