MENYATUNYA UMAT HINDU JAWA-BALI
Pada jaman dahulu Mpu Sidhimantra sampai perlu memisahkan pulau Jawa dan Bali dan membiarkan putranya Ida Manik Angkeran untuk tetap di Bali karena ketika di Jawa sangat senang berjudi. Pemisahan pulau Jawa dan Bali ini bisa saja merupakan perumpamaan tetapi bukti-bukti keberadaan Manik Angkeran bisa ditelusuri di Bali. Beliau akhirnya menjadi Pemangku di Besakih dan distanakan di Pura Batumadeg Besakih. Dari perkawinannya dengan Ni Luh Pasek Prateka/Warsiki putri Ki Dukuh Blatung keturunan dari Mpu Prateka, akhirnya menurunkan keturunan yang di Bali dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Dauh, dan Arya Pinatih. Dijaman sekarang ini keadaan berbalik yaitu terjadinya penyatuan Bali dan Jawa, tentunya bukan pulau Bali dan Pulau Jawa yang bersatu tetapi mengalirnya umat Hindu suku Bali ke Jawa karena tugas atau faktor lain dan berbaur dengan umat Hindu suku Jawa. Ketika Islam menguasai majapahit sekitar abad XIV Hindu yang ketika itu lebih dikenal dengan Sekte/Mazab, seperti : sekte Siwa, Sekte Brahma, Bhairawa, Indra, dan seterusnya, telah menyebabkan Hindu yang dulu satu kepercayaan menjadi terpecah-pecah, ada yang berkembang di Bali, di beberapa tempat di Jawa, dan daerah lain di Indonesia secara sendiri-sendiri sehingga mempunyai bentuk yang berbeda dalam pelaksanaannya. Hubungan dengan India sebagai sumbernya Agama hindu menjadi terputus. Keadaan seperti itu berjalan sekitar 500 tahun sejak abad XIV. Keruntuhan Majapahit Hindu itu dimuat dalam sebuah buku yang disebut ”Darmagandul” yang masih dijadikan pegangan oleh Suku Jawa baik yang Hindu maupun yang sudah beralih agama, tetapi peredaran buku ini sangat tertutup karena ada kekhawatiran akan bermasalah dengan umat Agama Baru yang menguasai Majapahit. Dijaman moderen ini seharusnya hal ini tidak perlu dikhawatirkan walau kenyataannya buku ini belum terdapat di toko-toko Buku. Sekarang Hindu sudah berkembang walau dihiasi dengan budaya lokal, seperti : budaya Bali, Jawa, Dayak, Sulawesi, dll. Hindu dengan budaya lokal ini saling bertemu ibarat ranting-ranting yang mengarah kepada batangnya dan akhirnya akan terpusat pada akarnya sebagai filosofi Hindu yang tunggal. Umat Hindu suku Bali bertemu dan berbaur dengan umat Hindu suku Jawa dan lain-lain suku di Nusantara, bahkan bertemu dengan umat Hindu India melalui Sampradya (Garis perguruan/Aguron-Guron). Pertemuan ranting-ranting ini pasti menimbulkan pergesekan tetapi kedepan hal ini akan bisa menemukan titik temu karena pergaulan budaya adalah sebuah proses dan akan menjadi bentuk apa dikemudian hari tidak perlu dipikirkan, biarlah itu berjalan dengan sendirinya yang penting semuanya dijiwai oleh Inti yang sama yaitu : Ajaran Hindu.
Dibeberapa pedesaan di Jawa yang umatnya masih mempertahankan ageman leluhur yaitu Hindu, sudah bisa bersembahyang atau berintraksi dengan umat Hindu asal Bali. Jika sedang melakukan persembahyangan bersama maka kita mendengar Puja Mantra Pinandita termasuk Puja Tri Sandhya yang sama dengan yang biasa dilakukan di Bali. Pinanditanya juga dari Umat Jawa kadang bersama dengan Pinandita dari Bali. Sarana persembahyangan seperti Banten memang sulit untuk diterima oleh umat Jawa karena kesulitan membuatnya, tetapi yang paling mudah seperti ”Canang” sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat Jawa ketika mereka bersembahyang. Ada yang memakai sesaji secara Jawa tetapi tidak banyak yang ditemukan karena sudah ratusan tahun Hindu tenggelam di tanah Jawa, semoga saja ada umat yang bisa meng-inventarisir Sesaji Jawa dan dikupas makna Tattwa Wedanya. Lagipula banten bali juga warisan leluhur Jawa yang menetap di Bali. Umat Hindu asal Bali juga tidak mempermasalahkan jika umat Jawa mempersembahkan ”Tumpengan” atau bentuk sesaji Jawa lainnya, karena Sesaji/banten hanyalah sarana menunjukkan rasa Bhakti pada Hyang Widhi jadi tidak perlu dipermasalahkan. Umat Hindu suku Jawa juga mengenal bhakti pada leluhur seperti halnya umat Hindu suku Bali, karena ”Lelintihan/ Silsilah” mereka tidak selengkap di Bali, biasanya Petilasan/ Makan orang dituakan sering disebut sebagai cikal-bakal yang pada hakekatnya adalah Kawitan. Kadang ada yang menyebutnya ”Danghyang” yang bagi umat Jawa adalah juga asal-usul (Wit) yang tidak lain adalah Hyang Widhi. Perkawinan antar suku Jawa dan Bali juga sudah banyak terjadi dan acara perkawinan sering dilakukan dalam dua Budaya, termasuk tarian juga kidung yang diperdengarkan. Umat India juga ikut meramaikan pencarian Spiritual umat ini dengan adanya Hare Krisna, Sai Baba, Ganesha Pooja, dan lain-lainnya. Kembali disampaikan, bahwa kedepan akan terjadi budaya baru bagi mereka yang sudah berbaur ini yang bentuknya seperti apa tidak perlu menjadi pikiran kita karena hal ini akan berjalan seiring waktu dan berproses terus menerus. Yang penting bagi kita adalah ”Ruh” dari semua diatas tetap adalah Hindu. Jadi sesungguhnya ”Hindu Nusantara” itu sudah ada dan sudah terbetuk, jika kita tidak melihatnya itu karena kita melihat dari luarnya yaitu cara mereka melakukan kontak dengan Sang pencipta dengan berbagai budayanya. Tetapi jika kita melihat dari spiritualnya, maka Hindu sudah menjadi Ageman mereka, baik suku Bali, Jawa, dan lainnya.
Jika kemudian muncul suatu pemikiran untuk mengkotak-kotakan lagi umat hindu ini, maka itu tidak ubahnya seperti abad XIV ketika Islam menguasai Majapahit dan umat Hindu terpecah menjadi Hindu Bali, Hindu Jawa, dan lainnya, itu berarti Hindu akan tenggelam lagi dan itu perlu ratusan tahun untuk mengembalikannya. Jika ada yang ingin mengkotak-kotakkan Hindu ini, maka jelas karena orientasinya adalah budaya, misalnya agar Budaya Bali tetap Ajeg. Kita boleh berhitung jika akibat meng-Ajeg-kan Bali kemudian mengakibatkan Hindu ini menjadi terpecah-pecah lagi, maka tidak sepadan antara hasil yang diperoleh dengan pengorbanan yaitu : mundurnya bahkan punahnya Hindu dari Nusantara, jadi Ajeg-kan Hindu. Pemikiran lainnya adalah apakah kita masih mampu tetap meng-Ajeg-kan Bali di-era Globalisasi ini, walaupun bukan berarti kita membiarkan budaya-budaya yang tidak cocok dengan kepribadian kita untuk berkembang di Nusantara ini, tetapi setidak-tidaknya dengan fokus pada intinya yaitu Ajaran Hindu, maka kita bisa selamat menjalani kehidupan Globalisasi ini karena kita kuat ke-Hinduannya sementara budaya itu akan berubah dan ber-proses terus menerus, dimana Ajaran Agama akan selalu bisa menyesuaikan tanpa kehilangan sarinya. Marilah satukan Hindu, jangan pecah-pecah lagi, yang dapat merugikan umat Hindu sendiri, jangan pisahkan lagi umat Hindu Jawa dan Bali yang sudah menyatu dalam nuansa ke Hinduan yang sudah semakin membaik.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
13-11-2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)