Selasa, Desember 01, 2009

POSISI SULINGGIH DIMATA UMAT


Sulinggih adalah orang yang sangat dihormati dan disucikan oleh umat (Para Walaka). Setelah di Dwi Jati, beliau telah lahir kembali untuk kedua kali dari Brahman, karena setelah “Mati Raga” beliau hidup kembali melalui pelantunan Mantra-mantra suci Weda. Seorang Sulinggih sudah tidak terikat lagi dengan asal-usul keluarga atau Wangsa (Mepamit), sehingga seorang Sulinggih adalah “Lintas Golongan”. Hal-hal seperti ini harus dimengerti oleh Para Walaka.

Fenomena yang ada dimasyarakat, pemahaman umat terhadap seorang Sulinggih masih tidak sama. Sulinggih satu dengan yang lain masih dilihat secara berbeda, Asal-usul Wangsa seorang Sulinggih masih menjadi perhatian, sehingga nama/gelar dari Sulinggih justru menjadi point utama jika umat ingin mengundang beliau untuk “Muput”. Bahkan ada ke-fanatikan terhadap Sulinggihnya. Seorang Ida Bagus akan mengatakan “Pedanda Anu” Sulinggih saya, seorang Pasek akan mengatakan “Mpu Anu” Sulinggih saya, seorang Anak Agung mengatakan “Bhagawan Anu” Sulinggih saya, seorang Gusti mengatakan “Rsi Anu” Sulinggih saya, dst.dst. Yang lebih aneh lagi masing-masing mengatakan Sulinggih-nya yang terbaik, ini ibarat penggemar bola yang membanggakan kesebelasannya. Umat belum sampai pada pengertian, bahwa “Sulinggih-Sulinggih diatas adalah sama, yaitu sama-sama Brahmana yang tugas utama adalah membimbing umat kejalan yang benar sesuai ajaran Weda”. Kedepan akan sangat membahagiakan sekali jika terjadi Fenomena seorang Ida Bagus berani membanggakan “Mpu”, seorang Pasek berani membanggakan “Bhagawan”, seorang Anak Agung berani membanggakan “Rsi” dan seorang Gusti berani membanggakan “Pedanda” dan pada akhirnya “Umat bangga dan hormat dengan semua Sulinggih”. Dalam hal per-guruan, maka akan sangat baik jika terjadi seorang Bhagawan Nabenya Mpu, seorang Pedanda Nabenya Rsi, seorang Mpu Nabenya Pedanda, dst.dst. Jadi seorang Ida Bagus jangan sungkan belajar pada Mpu, seorang Anak Agung jangan sungkan belajar pada Rsi, seorang Pasek jangan sungkan belajar pada Bhagawan, dan seorang Gusti jangan sungkan belajar pada Pedanda. Lama kelamaan akan terjadi “Kristalisasi” terhadap Sulinggih itu sendiri dan pandangan kita satu focus, bahwa “Rohaniawan kita yang mampu Muput dan memberi kita yang haus akan ajaran Weda adalah “Sulinggih/ Pandita”. Jika ini terjadi berarti umat Hindu khususnya di Bali dan khususnya Para Walaka, sudah meningkat pemahamannya tentang “Shadaka”.

Per-detik ini, penulis belum melihat hal itu secara menyeluruh, hanya beberapa gelintir Walaka yang sudah sampai pada Tataran itu. Ada contoh yang terkini yaitu kebanggan umat terhadap seorang Sulinggih, kawan-kawan yang merasa memiliki Sulinggih ini dengan sangat berapi-api menceritrakan kemampuan beliau, bangga bukan karena kemampuan beliau, tetapi bangga karena kefanatikan buta. Pen-Darma Wacana yang baik bukan hanya Ida Pedanda Made Gunung, tetapi juga sebut saja, “Ida Pandita Mpu Nabe Manik Dwija Kertha” (Seririt), “Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi” , dan beberapa yang lainnya. Masing-masing memiliki gaya tersendiri. Ida Pedanda Gde Made Gunung memang memiliki kemampuan untuk mengambil gaya/acting yang banyak diselingi humor, contoh-contoh sederhana dan keseharian yang digeluti masyarakat sehingga gampang dicerna oleh masyarakat awam. Sementara Pen-Darma Wacana yang lain dengan gaya yang berbeda, yang bisa dinikmati oleh tingkat pemahaman umat tertentu. Jadi masing-masing punya lahan atau sasaran umat sendiri-sendiri. Masalah gaya adalah masalah pribadi masing-masing Sulinggih dan itu tidak problem, yang penting adalah apapun gayanya sasaran akhir yang perlu dijadikan focus adalah “Adanya peningkatan pemahaman dan pengamalan ajaran Weda pada masyarakat”, jangan sampai saking asiknya ber-acting lupa dengan focus sehingga umat bukan menyimak Darma Wacana tetapi menonton Dagelan, ini berarti tidak terjadi plus point pada Darma Wacana tersebut. Para Walaka khususnya yang terkait dengan penyiaran, jangan mempolitisir atau membedakan para Sulinggih, karena niat tidak baik pada Sulinggih adalah suatu “Dosa”. Yang ingin ditekankan disini, adalah Para Walaka harus bangga dan hormat dengan siapapun Sulinggih yang memberikan Darma Wacana karena mereka adalah Sulinggih kita semua. Penulis masih memaklumi jika Para Walaka bangga atau fanatik dengan Sulinggihnya karena mereka adalah manusia-manusia yang rohaninya dibawah Sulinggih. Tetapi akan tidak habis mengerti jika yang “Mengkotak-kan diri” adalah Sulinggih itu sendiri. Penulis akan sangat bersyukur jika seorang Sulinggih mampu menempatkan dirinya dengan benar dan memberi contoh yang baik pada Para Walaka, seorang Sulinggih sebaiknya menarik diri dari organisasi umat yang bertentangan dan mengambil peran ‘Perdamaian”, Para Sulinggih sebaiknya sering dilihat umat berkumpul bersama baik dalam Pemujaan maupun acara-acara tertentu, seperti : Dharma Shanti, dll.. Jika Sulinggih sering ber-Dharma Wacana, jangan lupa juga, bahwa penggemarnya adalah dari berbagai kalangan, ada Ida Bagus, ada Pasek, ada Anak Agung, ada Gusti, dll. sehingga berilah contoh pada mereka tentang keselarasan hubungan antar-manusia, sebab jika mereka dikecewakan, maka mereka tidak akan mau lagi mendengar Dharma Wacana berikutnya, seperti yang terjadi di umat agama lain . Berarti, apa-apa yang telah diberikan sebelumnya akan sirna ibarat panas setahun dihapuskan hujan sehari.

Terakhir, melalui tulisan ini penulis mohon maaf kepada Para Sulinggih atas keberanian menulis artikel ini, sebab penulis menyadari dosa besar jika berbuat tidak baik pada Sulinggih. Penulis melakukan hal ini semata-mata kecintaan pada umat manusia, yang sering lupa, bahwa mereka sebanarnya adalah sama dimata Ida Sanghyang Widhi Wasa.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
24-09-2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)