Kamis, Juli 23, 2009

BERBAGAI SEBUTAN ”PANDITA”

Dikalangan umat Hindu baik di Bali maupun diluar Bali masih banyak umat yang tidak tahu atau tidak jelas, bahwa seorang ”Pandita” memiliki sebutan yang berbeda-beda. Umat yang belum faham ini setiap melihat Pandita dengan salah satu ciri rambut panjang diikat dikepala/ubun-ubun (Me-Prucut Bahasa Bali) akan menyebut ”Pedanda”.

Pandita, (sebutan universal untuk Brahmana tanpa memandang asal keturunannya), khususnya yang dari Bali sebutannya bermacam-macam, yaitu : Pedanda, Mpu, Shri Mpu, Bhagawan, Rsi, dan Bhujangga. Umat Jawa lebih senang menyebut Pandita dengan sebutan ”Romo”, saya tidak tahu bagaimana dengan umat Sulawesi, Kalimantan, atau suku lainnya yang beragama Hindu bagaimana mereka menyebut Panditanya. Di India sendiri yang umum sebutannya Rsi dan Maha Rsi, walaupun sering kita dengar sebutan orang suci dengan Baba, Maharaj, Pandit, dll. Kita kembali kepada sebutan Pandita yang biasa dipakai di Bali, sebutan yang berbeda-beda itu sayangnya dilatar belakangi oleh sejarah yang sesungguhnya menyimpang dengan ajaran Catur Warna, tetapi apa boleh buat kita coba mundur kemasa lalu agar ada gambaran akan hal itu. Kita ambil saja titik pada masa Majapahit menguasai Jawa Timur dimana sekitar tahun 1350 menempatkan wakil raja (Adipati) di Bali yang disebut ”Dalem” yang pertama Dalem Kresna Kepakisan. Pada waktu ini telah berakhir kekuasaan raja-raja dinasty Warmadewa sebelumnya. Pada masa dinasty Warmadewa (Raja Udayana dan keturunannya) sampai kepada Dalem, Pandita kerajaan adalah Panca Tirta dan keturunannya seperti Sapta Pandita (Leluhur Pasek), juga Purohita dari keluarga Bhujangga. Dalem juga keturunan Panca Tirta karena Ayah Dalem adalah Mpu Soma Kepakisan yang adalah keturunan (cucu) Mpu Bharada terkecil dari Panca Tirta. Para Mpu dan Bhujangga ini selalu menjadi rohaniawan kerajaan, sebutan yang umum untuk mereka dimasa itu adalah MPU. Fase penting lainnya adalah menjelang runtuhnya majapahit (Abad XV) karena masuknya Islam di Majapahit, sebelum itu yaitu pada tahun 1489 Mpu Nirartha (yang kemudian dikenal dengan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wau Rauh), datang ke Bali dan singkat cerita menjadi Rohaniawan kerajaan yang waktu itu dipimpin Dalem Waturenggong/Baturenggong. Sejak itu peran para Mpu keturunan Sapta Pandita dan Bhujangga digantikan oleh Mpu Nirartha dan keturunannya, bahkan selanjutnya ada pembagian porsi dimana : Fungsi Brahmana (Purohita) selalu dari keturunan Mpu Nirarta sehingga disebut Warga Brahmana sampai sekarang walaupun lebih tepat disebut ”Warga Ida Bagus” saja. Porsi Ksatrya adalah Dalem dan keturunannya, porsi Wesya para Mantri kerajaan dengan sebutan I Gusti, dan porsi Sudra diluar itu. Porsi ini menjadi benar jika memang keturunannya, misalnya Ida bagus menjadi Brahmana, atau keturunan Dalem menjadi Raja, anak Mantri (I Gusti) juga menjadi Mantri, jika tidak mengikuti tugas orang tuanya, maka porsi ini menjadi menyimpang dengan ajaran Catur Warna yang melihat manusia berdasarkan ”Guna(Bakat)” dan ”Karma(tugas/pekerjaannya)”. Pembagian porsi ini kemudian berlanjut menjadi sebutan yang berbeda untuk seorang Pandita. Keturunan Ida Bagus kalau menjadi Pandita disebut ”Pedanda” (Danda=Tongkat), keturunan Dalem jika menjadi Pandita disebut ”Bhagawan”, I Gusti menjadi ”Rsi, dan diluar itu Mpu (untuk Pasek), Sire Mpu (untuk Pande), dan Bhujangga. Sebutan ini tentu hanya untuk umat Bali . Para leluhur di Jawa menyebut ”Mpu” untuk seorang Pandita, cuma karena Hindu sempat tenggelam di Jawa sebutan itu tidak dipakai lagi tetapi menyebut ”Romo”. Untuk sekarang jika ada umat Jawa yang jadi Pandita dengan Nabe (Guru Rohani) dari Bali akan disebut apa ? Ada yang disebut Rsi dan untuk wanita sebutan ”Ratu” seperti Ratu Gayatri dari Boyolali Jawa Tengah, atau sebutan yang lain seperti ”Pandita Broto Sejati” yang lebih dikenal dengan ”Romo Maming” dari Cirebon.

Mpu, Bhagawan, Rsi, Bhujangga, Dukuh, adalah nama Rohaniawan yang sejak lama dikenal di Nusantara, Pedanda hanya dikenal di Bali yaitu dari keturunan Mpu Nirartha. Agar umat tidak bingung, maka sebut saja semua Brahmana ini dengan sebutan ”Pandita”, ini adalah sebutan yang universal. Jika sedang menghadap (Tangkil) sebut saja ”Nak Lingsir” untuk Pandita dari Bali (umumnya kepada Mpu), ini adalah bahasa penghormatan yang mencerminkan ”kedekatan” antara umat dengan Sang Brahmana, karena prinsif ”Jun ngalih pancuran (Jun/tempat air- mencari mata air) harus dijadikan pegangan bagi umat untuk meningkatkan kesadaran rohani. Dari sisi ciri-ciri Pandita, disamping Me-prucut, maka biasanya bawa tongkat yang panjangnya kalau beliau berdiri sampai sekitar pusar, kalau duduk tongkat tersebut sama dengan tinggi beliau. Ukuran ini ada dasar sastranya sehingga agak aneh jika ada Pandita yang membawa tongkat setinggi dirinya saat berdiri. Saat ini ada wacana (tentu dengan dasar satra yang benar) membawa tongkat pendek seperti tongkat komando yang biasa dibawa militer atau biasa dibawa Presiden Sukarno, walau belum terlihat Pandita yang membawanya. Setingkat dibawah Pandita adalah ”Jro Gede” yang sekarang diganti sebut menjadi ”Jro Bhawati /Ida Bhawati (Bhawa=perut/belum lahir jadi Brahmana)”. Rambut beliau juga panjang cuma tidak diikat diatas kepala (ubun-ubun) tetapi dibelakang. Satu tingkat dibawah Ida Bhawati adalah ”Pemangku (sebutan untuk umat Bali), Wasi (umat Jawa) dan bahasa universal adalah ”Pinandita” yang berada pada tingkat ”Eka-Jati”. Menurut ageman Ke-Pemangkuan untuk rambut sebenarnya ditentukan ”Panjang” namun dijaman moderen ini Para Pinandita kebanyakan tidak berambut panjang, tentunya ini sudah dipertimbangakan oleh Pinandita tersebut atau Para Pandita dengan dasar sastra yang benar. Kedepan semoga para umat tidak salah lagi menyebut Pandita apalagi membeda-bedakan mereka dengan Pandita lainnya karena berdosa kita jika melakukan hal itu, bahkan seharusnya kita mulai melaksanakan ajaran ”Rsi Yadnya” yang saat ini sangat lemah dalam keseharian umat Hindu, dikalahkan oleh Pitra Yadnya yang sering melampaui batas kewajaran atau akal sehat Akhirnya semoga dengan penjelasan ini semakin tumbuh rasa hormat kepada Para Pandita yang kita sucikan.



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
30-09-2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)