Selasa, September 01, 2009

MEMAKNAI BANTEN DENGAN BIJAK

Banten yang juga berarti Enten atau sadar/ingat, bagi umat Hindu etnis Bali, mengajarkan kita agar selalu ingat dengan Hyang Widhi. Sebagai sarana ingat ini, maka wujud ”Banten” adalah merupakan medianya. Banten dewasa ini menjadi sangat menarik dan menjadi pembicaraan umat Hindu karena ada yang mendefinisikan sebagai wujud bakti (ingat) sehingga tidak perlu besar/mewah ada juga yang mempertahankan format yang ada warisan pendahulu kita. Bahkan sebagian umat menjadikan Banten ini sebagai sarana mutlak untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta artinya kalau tidak ada banten tidak sreg. Seorang Sulinggih yang tulisannya selalu saya baca dan file tersendiri yang sempat menyampaikan dengan 5 Daksina saja sudah berani Muput Pitra Yadnya sekarang bergabung keorganisasi yang menjadikan banten sebagai sarananya, semoga saja komitment untuk memajukan umat Hindu dengan penyederhanaan banten tetap dipegang teguh oleh beliau. Banten ini juga menjadi menarik ketika dikaitkan dengan umat Hindu bukan etnis Bali misalnya Jawa karena mereka tentu tidak mengerti banten yang umum diterapkan umat Hindu di Bali. Jadi banyak wacana tentang banten ini , tetapi kita tidak melihat bagaimana banten ini dari sudut pandang umat Hindu yang menggunakannya, yang sering hanya menjadi objek saja.

Bagi umat Hindu etnis Bali secara umum, bahwa Banten ini tetaplah merupakan sarana menghubungakan diri untuk kegiatan Panca Yadnya dalam suasana ”ketidak tahuan makna simbolisnya secara utuh”. Sulinggih mungkin tahu, atau Pinandita, juga Sarati Banten, tetapi berapa persen mereka dibanding umat yang menggunakan banten ini. Jadi kita mesti melihat fenomena umat yang menggunakan banten ini dengan baik jika ingin banten ini menjadi sarana yang effektif. Umat ini pada dasarnya menyerahkan pada orang yang dianggap mengerti, apakah itu Sulinggih atau Pinandita/Pemangku. Kadang jika harus mengeluarkan uang puluhan juta untuk membeli banten, mereka akan lakukan walau menguras harta bahkan mungkin meminjam, itu karena keyakinan mereka akan banten ini. Jika ada yang mencoba menyederhanakan banten ini sering malah didebat dan dianggap menentang kebiasaan. Pemangku juga banyak yang ikut larut dalam kebiasaan ini dan menerima saja benten yang disediakan bahkan kadang menambahkan dan melanggengkan kebiasaan yang harusnya bisa disederhanakan. Namun ada juga Pemangku yang cerdik, beliau tetap Ngenteb (mengantarkan persembahyangan) tetapi diawal-awal biasanya diucapkan ”Menawi banten puniki kirang ampure, mangda Ida raris nunas ring Pasar Agung”  Jika sarana persembahyangan ini kurang, maaf mohon agar Ide (yang di Puja) mengambil di Pasar Agung (Pasar Agung itu salah satu Pura di Lempuyang Luhur). Jadi fenomena diatas menggambarkan realita umat atau juga Pemangku yang khawatir banten ini kurang apalagi saat Pitra Yadnya jangan-jangan Sang Atma tidak memperoleh tempat di Sunya Loka, atau kalau persembahan kepada Leluhur dan Bhatara lalu banten kurang, jangan-jangan Ida Bhatara juga Leluhur menjadi ”Bendu/Marah”. Yang menjadi pertanyaan apakah benar seperti itu ? apakah Bhatara, Leluhur yang sudah Meraga Dewa Hyang masih menuntut banten harus ini harus itu, hal ini yang harus dijelaskan oleh orang yang mengerti baik Sulinggih, Pinandita/Pemangku (yang faham) atau intelektual Hindu, bahwa hal itu tidak benar karena yang diperlukan dalam setiap persembahan adalah ’ketulusan hati”. Ada bahkan tokoh umat yang menyampaikan akan perlunya banten, katanya hanya para Maha Rsi yang mampu sampai pujanya kepada Sang Pencipta hanya dengan sarana sebuah dupa atau tanpa sarana apapun. Kalau begini berapa juta umat Hindu yang setiap hari bersembahyang sia-sia karena tidak tercapai doanya hanya karena tidak memakai banten. Lalu kalau memakai banten apakah akan sampai doa atau puja bhaktinya ?, tidak seorang pun yang tahu dan kita tidak perlu tahu karena kewajiban kita adalah memanjatkan puja bhakti dengan tulus dan tidak perlu berpikir apakah doa kita sampai atau tidak.

Pemakaian banten tidak harus ditentang karana hal itu tidak salah, tetapi kalau fenomena banten tetap seperti ini bagi umat Hindu etnis Bali, apalagi justru para tokoh umat bahkan Sulinggih justru mengajegkan banten ini terus, maka umat tetap akan ”miskin karena Yadnya”. Uang yang ada tidak bisa lagi untuk kehidupan, seperti : pendidikan, kesehatan (asuransi), tabungan, apalagi membantu fihak lain (dana paramita), bahkan dalam situasi yang serba sulit sekarang ini, maka umat Hindu di Bali akan semakin terpuruk dalam kemiskinan. Dalam situasi ini maka srada (iman) dan bhakti (taqwa) akan memudar dan kemungkinan untuk beralih agama bisa terjadi, atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang mendewakan uang untuk mencapai tujuan (money politic) seperti : agar dapat pengikut/massa bagi orang politik atau orang yang hanya sekedar mempertahankan prestise yang semu.(gelar/kasta) dengan bantuan kepada orang lain tetapi dengan pamrih. Jadi satu-satunya pengetahuan yang perlu difahami oleh umat yang tidak faham dengan makna simbolis banten secara detail, adalah artikan ”Banten sebagai sarana untuk menghubungkan bhakti kehadapan Hyang Widhi juga Leluhur, dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan”. Jangan sampai berhutang untuk sebuah banten agar tidak menderita dalam hidup, tetapi memperoleh ketenangan skala-nisklala ,moksartham Jaghadita.



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
13-03-2007

2 komentar:

  1. Artikel yang layak untuk dapat dipahami dan dimengerti oleh umat Hindu

    BalasHapus
  2. Artikel yang layak untuk dapat dipahami dan dimengerti oleh umat Hindu

    BalasHapus

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)