Selasa, September 01, 2009

MENGAIS KETEGUHAN SRADHA LELUHUR DI JAWA


Untuk membina hubungan yang baik antar pemeluk Hindu baik dari Suku Bali, Suku Jawa, maupun lainnya, maka sudah sepantasnya kita saling mengadakan komunikasi, bertukar rasa, dan melihat langsung perkembangan umat Hindu didaerah-daerah. Apalagi bagi umat Jawa kehadiran semeton Bali sangat diharapkan oleh mereka. Bertolak dari kesadaran itu, maka kami menyempatkan diri untuk hadir beberapa waktu lalu melakukan Tirtayatra ke Pura Jonggol Shanti Loka, Kec.Ngargoyoso, Kab. Karanganyar, Jawa-Tengah sekalian bertukar rasa dengan umat Hindu setempat.

Pura Jonggol Santi Loka adalah salah satu dari beberapa Pura yang ada diwilayah Karanganyar dimana komunitas umat Hindu suku Jawa tinggal. Lokasinya didaerah yang agak tinggi dan Pura mereka juga ditempatkan dengan baik ditempat yang lebih tinggi dari perumahan penduduk sehingga kami perlu menaiki tangga yang cukup panjang untuk mencapainya. Sesampainya disana umat Hindu yang berjumlah sekitar 30 KK ini menyambut kami dengan gaya keseharian mereka sebagai orang Jawa baik dari pakaian maupun suguhan panganannya. Suasana ke-Hinduan terlihat ketika kami memasuki areal Pura, bersembahyang bersama dan lantunan Gayatri Mantram terdengar menyentuh hati nurani. Dibalik suasana pedesaan dengan udara yang sejuk, pohon yang bergerak lembut dan irama Gayatri Mantram dari umat yang sedang khusu sembahyang, seperti mengembalikan keberadaan para tetua leluhur umat Hindu ditempat ini. Tersirat keteguhan para tetua itu mempertahankan keyakinannya (sradha) terhadap Hindu agamanya.

Pada kesempatan Darmatula saya memberanikan diri menyampaikan kepada umat disana yang merupakan keturunannya sebentuk kalimat yang bunyinya ”Nak bapa ini sampai tinggal ditempat ini yang terpencil jauh dari jangkauan orang banyak, karena teguh mempertahankan agama nenek moyang kita, yaitu agama Hindu”. Kalimat ini yang saya sampaikan diakhir acara seperti merupakan rangkuman keadaan umat Hindu ini. Jika kita lihat secara umum, maka keberadaan umat Hindu asal Jawa di Karanganyar secara kuantitas dahulu lebih banyak dibanding sekarang, tetapi karena faktor-faktor administratif seperti kesulitan pengurusan : KTP, Akta Perkawinan, dll. Maka jumlahnya menyusut. Tetapi sekarang ini seharusnya tidak perlu ada masalah karena eksistensi umat Hindu di Karanganyar sudah kuat apalagi sudah ada PHDI Kab Karanganyar. Disamping itu aktifitas keagamaan sudah berjalan baik dan sudah banyak Pura yang didirikan termasuk Pinanditanya. Apakah itu berarti sudah pasti umat Hindu disana akan tetap eksis dan berkembang luas,kedepan ? jawabannya belum tentu. Jika kita lihat keberadaan mereka disatu desa, maka terlihat tidak hanya pemeluk Hindu saja, tetapi ada Islam dan Katolik/Kristen. Bagi mereka perbedaan ini tidak masalah karena mereka satu desa yang kemungkinan besar adalah satu keturunan, bahkan kerja-sama sangat baik termasuk jika ada kerja-bakti di Pura, maka umat agama lain itu ikut berbaur. Yang menjadi masalah adalah jika seperti yang muncul diacara Darmatula, salah satunya ungkapan yang intinya, bahwa mereka melihat umat beragama lain tidak ada masalah sementara mereka yang umat Hindu dan mengenal Karma-Phala ada yang sakit dan ekonominya lebih jelek, tentunya hal ini harus dicermati. Masalah ekonomi adalah masalah tersedianya lapangan kerja dan masalah semangat berusaha, juga pemasaran. Masalah yang lebih penting lagi dari itu adalah masalah ”Sradha”. Masalah Sradha ini harus terus dipupuk dan dikembangkan melalui Darmawacana, Darmatula, atau lainnya. Disamping itu bagi umat Hindu ini ada kebiasaan leluhur mereka dalam hal yadnya masih tetap dipertahankan dan harus kita hargai, seperti acara : Mondosio, Dukutan, dan lain-lain termasuk sarana persembahyangan seperti : Tempe bosok, rokok klinting, tumpengan, dan lain-lain. Kegiatan keagamaan ini tidak perlu dihilangkan tetapi perlu penjelasan dengan dasar Weda bukan secara Bali. Maksudnya jika setiap sarana persembahyangan umat Hindu di Bali bisa dijelaskan landasan Weda, maka yadnya bagi umat Hindu di Jawa ini tentunya juga bisa dijelaskan landasan Weda nya supaya mereka tidak salah mengartikan suatu bentuk sarana persembahyangan. Tugas-tugas memupuk Sradha umat Hindu ini, menjadi bagian kita semua yang peduli akan perkembangan umat Hindu ditanah air, seperti PHDI, Dept. Agama, Lembaga-Lembaga Umat Hindu, Tokoh Masyarakat, termasuk umat secara pribadi yang punya dedikasi terhadap agama Hindu. Kita tidak perlu menuntut PHDI untuk turun tangan karena seperti yang sering diberitakan mereka sendiri kekurangan dana untuk bisa terjun langsung kemasyarakat. Jadi lakukan saja dengan cara yang kita mampu lakukan, misalnya melalui Media Tirta Yatra, persembahyangan bersama, rapat kepengurusan, bantuan buku-buku/majalah Hindu, sumbangan dana atau fisik bangunan Pura/Pelinggih, atau apa saja yang bisa dilakukan, yang penting berinteraksilah diantara pemeluk Hindu dan jangan mengharapkan balasan baik skala (popularitas) maupun niskala.

Saat ini biarlah hanya renungan keteguhan sradha leluhurnya yang diberikan untuk mereka, lain kali bantu mereka sesuai Guna & Karma yang kita miliki seperti yang tersirat dalam ajaran Catur Warna dan juga Tat Twam Asi. Semoga para Leluhur di Tanah Jawa yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi menjadi teladan bagi kita akan hakekat ”Keteguhan Sradha terhadap Agama Hindu yang dianutnya”.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo - Jawa Tengah
08-06-2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)