Rabu, Januari 13, 2010

KEMBALI PADA ”AJARAN WEDA”

Pola penerapan ajaran-ajaran Weda kepada masyarakat Hindu di Bali jaman dulu telah menyisakan suatu pemahaman yang kurang jernih dalam aplikasinya, apakah hal ini kesalahan para Sulinggih atau pemimpin agama jaman dulu penulis tidak tahu, tetapi fenomena yang bisa kita lihat dimasyarakat akan menjawab hal itu. Fenomena masyarakat Hindu secara umum (awam) di Bali banyak terjadi, bahwa masyarakat ini berani mengeluarkan uang yang besar untuk suatu upacara atau jika harus Ngelinggihang /Stana Hyang Widhi berupa Kemulan atau Stana Leluhur berupa Meru (untuk Kawitan), Paibon, atau Pelinggih Hyang Kompyang. Kebutuhan akan hal ini telah mengalahkan kebutuhan lainnya, seperti: pendidikan, kesehatan, termasuk bantuan kepada fihak lain yang membutuhkan (Dana Punia), sehingga terkesan pola kehidupan ini sangat pribadi bahkan cendrung egois. Tetapi itulah cara mereka menunjukkan bhaktinya pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Fenomena lainnya yang tidak kalah serunya adalah pemanfaatan Balian Metuunang sebagai tempat bertanya tentang keleluhuran atau jika mereka menghadapi masalah baik ekonomi atau kesehatan. Apakah ini pengejawantahan dari ketidak percayaan mereka pada tokoh agama atau Sulinggih atau karena mereka mencari jalan pintas akibat tidak tahan menghadapi kehidupan yang semakin sulit ? faktanya sebagian besar masyarakat ini melakukannya. Secara umum hasil metuunang ini akan mengatakan suatu hal, bahwa terjadi ”kesalahan”, sehingga keturunannya (Damuh) ikut panas di Mayapada (Dunia) yang berakibat ekonomi seret, sakit-sakitan, ribut dikeluarga atau tetangga, sehingga sering muncul kalimat ”Irage kesalahang Hyang Kompyang/Kawitan (Kita dihukum Leluhur), Untuk mengatasi hal itu banyak yang kemudian mengikuti petunjuk Sang Balian untuk membuat Banten tertentu atau bagi yang belum Ngelinggihang Stana Leluhur biasanya diminta Ngelinggihang, dimana semua itu mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk minta ampura kepada Hyang Kompyang. Yang menjadi pertanyaan adalah Apakah Hyang Kompyang itu begitu kejam, sehingga keturunannya sampai dihukum seperti itu ? ini perlu dijelaskan baik oleh tokoh agama maupun para Sulinggih.

Hal lain adalah ”Piteket (pesan)” yang telah dibawa sejak dulu sehingga menjadi kebiasaan dan sudah tidak diketahui asal-usul serta akurasi Piteket tersebut, dimana masyarakat sekarang tidak berani melanggarnya. Seperti contoh tulisan pada sebuah Majalah Kebudayaan Bali yang beralamat di Nitimandala Renon Denpasar, tulisan tersebut dimulai ketika Danghyang Nirarta (Pedanda Sakti Wawu Rauh) menjadi Purohita Kerajaan Gelgel sekitar abad XV dibawah kepemimpinan Dalem Waturenggong (Dalem ini setingkat Adipati-karena Rajanya di Majapahit). Ada kalimat pada tulisan tersebut berbunyi ”Hanya segelintir dari Keturunan Pasek yang memperdalam, sehingga (mohon maaf) ketika itu ajaran Sang Sapta Resi (Leluhur Pasek) yang merupakan ajaran Kemoksan dan Kedharman menjadi semakin surut dan luntur, sehingga situasinya menjadi gamang atau kurang mantap” dilanjutkan dalam tulisan tersebut - kemudian ketika Danghyang Nirarta datang, intinya beliau menyegarkan kembali ajaran Dharma dan me-Diksa kelima putranya menjadi Pedanda dan masyarakat diminta belajar dari mereka sehingga seterusnya terjadi hubungan ”Siwa dan Sisya”. Hubungan ini kemudian menjadi hubungan Ida Bagus dan I Pasek yang berkembang secara feodal menjadi hubungan ”Yang dihormati dan Parekan”, walaupun Ida Bagus tidak melanjutkan Ke-Panditaan. Ketika jaman berkembang dan I Pasek mulai mengenal ajaran kebenaran karena banyak Pandita (bukan Pandita resmi kerajaan jaman itu) yang tinggal di Pedukuhan dengan sebutan Jero Dukuh dan meneruskan ajaran ke-Panditaan secara terbatas sehingga sebagian I Pasek mulai mengerti hakekat manusia yang sama dan banyak lahir Pandita dari I Pasek bergelar Pandita Mpu yang karena ketentuan (Sesana) harus punya Nabe (yang melahirkan) maka mengambil Nabe Pedanda, namun pola hubungan Surya & Sisya bagi walaka (bukan Pandita) itu tetap berlanjut, disebutkan lagi sbb : ”Namun saat ini kedua belah pihak telah terkungkung dan terjebak dalam sebuah budaya feodal yang diwariskan secara turun temurun. Disatu fihak Ida Bagus tidak akan rela meninggalkan posisi sebagai Siwa sedangkan I Pasek tak berani meninggalkan posisi sebagai sisya karena takut terkena hukuman dari leluhur”. Dan seterusnya.

Dengan beberapa contoh diatas terlihat jelas, bahwa ada kegamangan dalam masyarakat dan ketakutan yang tidak beralasan akan sesuatu hal yang sudah menjadi kebiasaan. Balian Metuunang dan Piteket yang sudah menjadi kebiasaan menjadi lebih kuat dari kebenaran dari ajaran Weda. Fenomena ini tidak begitu mudah untuk dirubah seperti membalikkan telapak tangan. Peran Sulinggih serta tokoh agama sangat diperlukan disini. Dimulai dengan ajaran Bhakti dengan contoh yang gampang melalui Bhakti pada ayah ibu karena beliau adalah leluhur yang terdekat. Jika kita bhakti pada ayah ibu dengan harapan agar diberikan uang atau imbalan materiil lainnya, itu bukan bhakti yang sejati. Bhakti yang benar adalah berupa kepasrahan yang utuh kepada ayah-ibu juga leluhur tanpa mengharapkan imbalan bahkan mendoakan agar ayah-ibu juga leluhur memperoleh ketenangan. Tindakan ini akan menyebabkan kita lega, lapang dada, tenang sehingga bisa berpikir jernih untuk menghadapi kehidupan sehingga muncul ide-ide yang baik dan benar bagaimana menghadapi kesulitan ekonomi, masalah kesehatan, dan sebagainya. Sradha (kepercayaan) juga ajaran Hindu yang penting, salah satunya ajaran ”Karma” bahwa kebaikan akan membuahkan kebaikan, jadi dengan kita mewujudkan : Bhakti pada Hyang Widhi, Pitra Puja bagi leluhur, dan lainnya maka pasrahkan dan tidak perlu bertanya pada Balian Metuunang karena hukum Karma bersifat pasti. Dalam kaitan dengan ”Piteket (Pesan) biasanya leluhur kita banyak melakukan pendidikan moral lewat ”Bhisama (Pesan Sakral)”, sehingga jika diteliti Bhisama dari para Mpu leluhur Pasek, yang tidak diijinkan adalah : Melupakan Catur Parhyangan (Parhyangan Panca Tirta : di Lempuyang Madya, Gelgel Dasar Bhuana, Besakih Catur Lawa, dan Silayukti-Padangbae), juga kalimat ”Aywe pegat purusantha sembahen (Jangan lupa saling menghormati sesama Purusa Pasek), dan jangan menganggap saudara Pasek lainnya lebih jauh dari sepupu. Inilah hal-hal yang jika dilanggar oleh I Pasek merupakan pelanggaran kepada leluhur. Inti dari semua diatas adalah : ”Kembalilah pada ajaran Weda”



Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
07-05-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)