Rabu, Januari 13, 2010

PENGADILAN HINDU ADALAH HATI NURANI


Ada pengertian yang sangat berbeda ketika kita berbicara Hindu sebagai sebuah keyakinan atau sebuah agama dengan Masyarakat Hindu, Kebudayaan Hindu, dll sebagai suatu aktifitas, komunitas atau lainnya, sehingga sering muncul wacana penegasan akan hal ini seperti pernyataan, bahwa Kasta tidak ada dalam Hindu yang ada pada masyarakat Hindu (mungkin maksudnya masyarakat beragama Hindu), juga ada wacana , bahwa ibarat kembang maka Hindu adalah aroma wanginya dan kebudayaan adalah kembangnya, dan banyak wacana serupa yang menekankan, bahwa Hindu adalah sesuatu yang independent, suci, sakral, yang mempunyai makna tersendiri dan berbeda jika dikaitkan dengan lainnya.

Di era reformasi ini muncul suatu ide untuk mengangkat kembali wacana ”Pengadilan Hindu” untuk memberi wadah bagi permasalahan umat Hindu yang harus menempuh jalur pengadilan, seperti pernikahan/perceraian, masalah adat, dll. termasuk kejadian-kejadian yang bisa jadi pelakunya bukan umat Hindu, seperti pencurian pratima dan barang sakral lainnya, dimana sering hanya dihukum ringan karena hanya dilihat dari sisi fisik saja, bukan nilai sakralnya, dan alasan lainnya. Ide seperti itu boleh saja direalisasikan, asalkan dengan suatu niat yang suci, bahwa Hindu adalah ruhnya. Namun berikut ini mari kita melihat sisi lain dari sebuah ”Pengadilan” dengan memfocuskan kepada Hindu sebagai sebuah keyakinan. Kitab-kitab Hindu terkait dengan hal ini sudah ada, seperti Manawa Darmasastra walaupun lebih tepatnya kitab ini memuat Hukum-hukum Hindu, tetapi belum pernah dewasa ini ada publikasi, bahwa seseorang itu diadili karena melanggar Manawa Darmasastra. Hal ini terjadi karena ajaran Hindu adalah ajaran moral yang bersifat sangat pribadi yang mengatur hubungan antara manusia itu sendiri dengan Hyang Widhi, apakah artinya ini ? Agama Hindu mengajarkan jalan untuk memperoleh kebahagiaan skala niskala baik semasa hidup maupun sesudah mati (Moksartam Jagadhita), sehingga tidak ada dalam Hindu suatu pengadilan kepada pengikutnya seperti pengadilan pidana/perdata yang terjadi dimasyarakat pada umumnya. Jika seorang umat Hindu melanggar ajaran agamanya, katakanlah mencuri, memfitnah, dll. Hindu tidak mengatur untuk menggelar suatu pengadilan untuk mengadili atas kesalahan tersebut, agama Hindu mengandung ajaran Karmapala yang merupakan bagian dari Panca Srada untuk diyakini oleh orang tersebut dan membiarkan orang tersebut mengadili dirinya . Di Bali sering kita mendengar petuah-petuah orang tua yang berbunyi ”Negakkin gedebong biyu, pedidi nawang jitne belus (duduk di gedebog pisang, hanya dirinya sendiri yang tahu pantatnya basah)”. Petuah ini bukan semata-mata merupakan tudingan bagi orang yang menyembunyikan kesalahan dari orang lain, tetapi jika dilanjutkan pengertiannya, maka terkandung makna hanya dialah yang bisa mengetahui dirinya bersalah dan bisa mengadili dirinya sendiri. Jika setiap orang sudah menjadikan hati nuraninya sebagai pengadilan dan bertekad untuk tidak melakukan kesalahan lagi, masih perlukah Pengadilan Hindu ? Jawaban yang diperoleh akan bervariasi, ada yang berpendapat perlu ada, karena tidak semua orang sadar dengan kesalahannya atau ada yang sadar tetapi tidak mau memperbaiki kesalahannya mungkin karena terlanjut nikmat dengan kesalahannya, seperti para koruptor yang sudah merasakan nikmatnya harta, juga para pemburu prestise yang buta hatinya yang banyak akibat salah kaprah Kasta, dan banyak contoh lainnya. Ada juga yang menjadikan jaman Kaliyuga sebagai jaman kebingungan sebagai alasannya, sehingga banyak orang yang menyimpang dari ajaran agama dan tercebur pada lumpur dosa. Pendapat diatas adalah didasarkan pada ”fakta”, bahwa masyarakat sekarang ini sudah perlu diberi wadah Pengadilan Hindu, dan pola berpikir seperti ini tidak salah. Namun pada tulisan ini kita coba melihat kedepan dengani suatu pandangan yang optimis, bahwa nanti itu akan lebih baik dari sekarang, sehingga yang perlu ditegakkan pada setiap orang adalah menjadikan ”Hati Nurani sebagai pengadilan atas dirinya”. Mulailah dari diri sendiri dengan repleksi diri atau merenung seperti yang biasa dilakukan pada Hr.Nyepi, ber-japa, meditasi, dll. walaupun alamiah, bahwa manusia lebih cendrung untuk tidak mengakui kesalahannya apalagi mengadili dirinya, tetapi khan ini sendirian tidak ada orang lain yang tahu, kita hanya perlu membiarkan kesalahan yang kita lakukan itu muncul dalam hati kita dan mengakui kesalahan-kesalahan itu kepada diri kita sendiri, sehingga diharapkan akan muncul suatu kesadaran untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Ketika Bima diutus untuk mencari Tirta Amerta didasar samudra, yang dia lihat adalah dirinya sendiri, walaupun akhirnya disadari, itu adalah Dewa Ruci sebagai perwujudan Hyang Widhi, maka ketika kita mencoba melihat kesalahan sendiri, siapa tahu justru kita menemukan Hyang Widhi dalam diri kita, maka berbahagialah kita yang memperoleh anugrah itu.




Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
12-07-2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)