Rabu, Januari 13, 2010

PERLUKAH KREMATORIUM
BAGI UMAT HINDU NON ETNIS BALI

Bali diakui sebagai tempat Hindu di Nusantara ini dipertahankan sehingga sekarang ini sudah bangkit kembali kesadaran ke-Hinduan bagi umat non etnis Bali yang disamping atas kehendak Hyang Widhi, maka bukti nyata adalah lewat keterlibatan orang Bali yang, yang umumnya karena merantau keluar Bali. Sebagai ibunya umat Hindu di Nusantara, maka ternyata Bali juga menyimpan permasalahan adat yang berpengaruh terhadap pelaksanaan upacara Yadnya, salah satunya adalah Pitra Yadnya atau Upacara Kematian menyangkut proses penguburannya atau kremasinya dengan sarana ”Krematorium”. Hal yang berkembang atau setidaknya aplikasi Hindu moderen, adalah saat dimana umat Hindu di Jawa sedang menggali peninggalan ”Acara Pitra Yadnya” yang disebut ”Entas-Entas (di Jawa Timur) atau ”Entas Pitulus (di Jawa tengah)”, malah bali sudah sampai kepada bentuk kremasi dengan sarana Krematorium. Jangan-jangan kebiasaan ini akan terbawa ke Jawa seperti ketika orang Bali begitu bangganya melaksanakan Pancawalikrama di Candi Ceto dengan tradisi Bali bahkan diliput berbagai Media Masa, maka mungkinkah hal yang sama akan ditularkan kepada umat Jawa dalam hal krematorium ini. Kalau itu terjadi, maka perlu dicermati lebih dalam ”perlukah krematorium bagi umat Hindu non etnis Bali”, karena Pitra Yadnya yang dilaksanakan di Bali sekarang saja sedang mendapat penyempurnaan dan penyederhanaan seperti : Ngaben gotong royong misalnya, lalau sekarang muncul krematorium pada saat kita rindu melihat Hindu itu di tanah Jawa yang murni dengan tradisi Jawa. Pelaksanaan Entas Pitulus adalah salah satu upacara Hindu yang perlu diangkat agar kita dapat melihat kembali Hindu yang pernah jaya di tanah jawa ini. Pelaksanaan upacara kematian dan Pitra Yadnya umat Hindu diluar bali lainnya seperti : Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, juga perlu diangkat agar kita semakin melihat benang merah pelaksanaan upacara Hindu antar masing-masing daerah.

Kembali kepada Bali, maka permasalahan adat yang tidak mendukung seharusnya tidak menyebabkan umat kemudian ngambul (ngambek) dan mengeluarkan ide untuk lepas dari keterikatan adat dan melakukan Pitra Yadnya dengan jalan Krematorium sehingga tidak perlu melibatkan masyarakat desa. Dari beberapa tulisan yang ada, banyak yang ingin adat Bali tetap eksis karena itu kekuatan Bali yang adalah juga ajegnya Hindu, kalau memang sepakat, bahwa adat/tradisi bali perlu tetap di jaga kelestariannya, maka tentunya kita sepakat juga untuk sama-sama berusaha apakah itu lewat prajuru adat, Majelis Desa Pakraman, atau lewat LSM Hindu untuk bergerak bersama meluruskan adat yang keliru sehingga upacara Pitra Yadnya atau kematian apakah dengan sarana krematorium atau tetap secara tradisi (dibakar) tetap bisa dilakukan tanpa perlu ngambul, karena jika ada yang berbeda atau keluar dari keterikatan adat sesungguhnya adalah sudah terjadi dis-harmonisasi dalam kehidupan masyarakat, dan sudah pasti menyimpang dengan ajaran agama. Maka dari itu sebelum bertindak lebih lanjut, maka kembali dulu kepada akar permasalahan dimana kalau adat penyebabnya, maka satukan langkah untuk mengatasi hal itu. Untuk di Jawa atau daerah lainnya, maka biarlah mereka bangkit dulu tradisi pelaksanaan upacara Hindu yang mereka punya, karena banyak tradisi Jawa yang sudah dilaksanakan secara rutin, seperti kembali ke kasus Ceto, dikatakan umat Jawa belum mampu melaksanakan secara tradisi Jawa (Hindu) sehingga umat dari Bali perlu melaksanakan Pancawalikrama secara tradisi Bali, padahal umat Jawa sudah memiliki upacara-upacara, seperti : Ruwatan Bumi, Entas Pitulus, Mondosio, dan sebagainya yang mengandung ajaran Hindu hanya saja karena belum banyak orang seperti Pandita Broto Sejati (Romo Maming) maka belum banyak tradisi Jawa yang bisa dikupas apalagi diangkat kepermukaan. Romo maming, sangat antusias mendukung para sesepuh-sesepuh Jawa yang masih memiliki prasasti atau catatan-catatan, bahkan yang sudah melaksanakan tradisi Jawa ini yang perlu diteliti oleh para Sulinggih dari Jawa, karena tidak akan dipahami oleh orang Bali sendiri walaupun itu Sulinggih. Penulis khawatir akan dipengaruhinya tata cara seperti krematorium ini kepada pelaksanaan Pitra Yadnya di tradisi Jawa, karena Entas Pitulus saja sudah ada umat berpendapat harus dipuput oleh Sulinggih dari Bali. Ini yang selalu dikhawatirkan, bahwa Bali akan mendominasi Jawa bukan memuntun Jawa mendapatkan jati dirinya.

Sebagai akhir kata, mari kembalikan masalah Pitra Yadnya atau Upacara Kematian ini kepada para Sulinggih kita baik asal Bali atau luar bali, karena mereka tentunya lebih bijaksana melihat sesuatu sebab memiliki dasar Sastra Agama yang bisa dijadikan pedoman. Para intelektual Hindu atau para tokoh masyarakat yang terlibat dengan hal ini juga silahkan memberikan masukan, tetapi pada akhirnya yang dijadikan pedoman adalah ”yang bisa disepakati bersama dengan dasar sastra Hindu” bukan berjalan sendiri-sendiri yang pada akhirnya Bali akan berbeda-beda dalam pelaksanaan ritual yadnya bukan karena demokratis tetapi karena para umat dan tokohnya tidak mau bersatu, dan terkotak-kotak dalam ritual yang tidak ada perekatnya. Bagaimana Bali bisa dipercaya oleh Jawa untuk jadi penuntun ?,


Penulis :

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
18-12-2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)