Senin, November 02, 2009

DERAJAT MANUSIA

Ketika sedang melaksanakan ”Berata Penyepian” di Pura, kami kedatangan petugas dari pemerintah Kabupaten Karanganyar-Jateng dan stasiun TV daerah yang ingin meliput pelaksanaan Hari Raya Nyepi/ Tahun Baru Saka 1930. Salah seorang pegawai pemerintah ini membuka pembicaraan dengan sebuah pengalaman, bahwa mereka baru datang dari Bali karena diundang oleh tokoh penting dari Bali dalam rangka persiapan Perayaan Hari Raya Saraswati di Karanganyar-Jateng. Salah satu kalimat yang akhirnya justru menjadi pembicaraan yang panjang adalah ketika beliau menyatakan ”tokoh yang mengundang adalah dari Kasta tertinggi”. Dengan nada bergurau seorang kawan menjawab, bahwa dia lebih tinggi kalau berada di Gunung Lawu, salah seorang pegawai pemerintah yang lain ikut nimbrung dengan mengatakan dia lebih tinggi lagi kalau sedang naik pesawat terbang. Sambung menyambung ini membuat suasana semakin ramai dengan gurauan namun penuh makna. Pegawai pencetus diskusi ini kelihatan bingung dengan apa yang terjadi, dan agar tidak semakin bingung, dan agar suasana terkendali apalagi ini dalam suasana Berata Penyepian, maka penulis mengalihkan pembicaraan lebih serius dengan kalimat, bahwa ”Derajat Manusia tinggi atau rendah itu, karena prilakunya, bukan karena kelahirannya”. Jika dilihat dari sudut kelahirannya, maka orang Bali itu banyak berasal dari leluhur yang sama. Mereka pada umumnya merupakan tokoh-tokoh penting pada jamannya, seperti : Pandita (Mpu, Rsi), Pemimpin masyarakat (Kyayi, Dalem, Bendesa), kesatrya tangguh yang wira mandiri, dan lain-lain, tetapi kata penulis dengan nada menekankan, ”Itu Dulu !!”, sekarang ini ya kami-kami ini yang bukan Pandita, bukan Raja, tetapi kami mencoba mengikuti jejak leluhur kami khususnya prilakunya yang baik agar bisa menjadi pegangan dalam kehidupan kedepan. Pegawai ini nampak mulai tidak bingung, lalu cerita kami lanjutkan dengan mengatakan kami juga berasal dari Jawa dan kami ini sedang pulang kampung. Rombongan ini nampak semakin antusias, bahkan staff TV lokal ini yang rencananya meliput Perayaan Nyepi malah menjadi meliput ceritra tentang ”Sejarah Keleluhuran” terkait dengan keberadaan Petilasan di Karanganyar Jawa tengah ini.

Dengan tetap mengesankan, bahwa kami orang Bali adalah saudara, maka ceritra kami awali dengan menunjukkan lima buah Patung di Gapura sebagai simbolis dari ”Panca Tirta”, yaitu Lima bersaudara yang Pandita (Brahmana) semua, dimana empat (Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan) diminta ke Bali atas permintaan Raja Udayana. Lima patung tersebut berurutan atas kebawah, dimana yang paling atas justru adalah yang terkecil dari Panca Tirta, yaitu : Mpu Bharadah leluhur dari Ida Bagus, Anak Agung, dan lain-lain, sementara dibawahnya adalah kakak-kakaknya dan yang terbawah adalah yang tertua (Mpu Gni Jaya) yang merupakan leluhur Pasek, Bendesa, Tangkas. Jadi penempatan patung ini mengandung pendidikan moral, bahwa yang lebih tua wajib mendukung atau mengayomi yang lebih kecil. Tamu dari pemerintah daerah Karanganyar dan TV lokal ini nampak faham karena pesan moral dalam keseharian seperti halnya ”sungkem” itu banyak dilakukan oleh orang Jawa. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan justru dari para tamu ini dengan menanyakan apa hubungannya Panca Tirta dengan Petilasan ini ?. Penulis melanjutkan, Yang tertua (Mpu Gnijaya) menurunkan ”Sapta Pandita (Tujuh Pandita) yang jaman dulu selalu menjadi rohaniawan di Jawa Timur (Singosari, Daha, Kediri) sampai kepada Raja Dandang Gendis, dan dibuatkan Meru Tumpang Tujuh di Petilasan ini. Yang tertua dari Sapta Pandita (Mpu Ketek) adalah leluhur dari yang distanakan di Petilasan ini. Salah seorang tamu bertanya lagi, kenapa ada tanda-tangan Paku Bhuwono XII (Raja Surakarta Hadiningrat) pada Prasasti ? Sapta Pandita yang ke-tiga adalah ”Mpu Wiradnyana”, keturunan beliau beberapa tingkat adalah Kakak beradik ”Mpu Purwa dan Ken Dedes” dimana Ken Dedes menurunkan Raja-Raja Jawa seperti : Paku Bhuwono dan Mangku Negaran di Solo, Hamengku Bhuwono dan Paku Alam di Jogja, dan lain-lain. Jadi pantas sekali kalau Sri Sasuhunan Paku Bhuwono XII (Almarhum) menanda-tangani prasasti yang waktu itu (September 2002) diiringi putra-putri dan menantunya. Selanjutnya Mpu Purwa keturunannya ada yang ke Bali dan menurunkan keturunan dimana salah satunya ”Nyoman Rai Srimben” dari Banjar Bale Agung-Singaraja (Bali) adalah ibunda Presiden Soekarno. Diskusi berikutnya masih berkisar keleluhuran dan kekaguman mereka, bahwa begitu tingginya bakti orang bali pada leluhurnya sampai mengejar ke Jawa yang kalau bukan karena kehendak beliau tidak mungkin bisa dijumpai. Salah seorang dari tamu yang kelihatannya banyak faham situasi di Bali menyampaikan pendapat, bahwa tidak semua orang Bali tujuannya bhakti pada leluhur karena ada yang mengeluarkan banyak dana untuk sebuah pertunjukkan yang bernama ’prestise”, alangkah baiknya pak kalau dana itu bisa untuk membantu orang miskin katanya, disambut tanda setuju dari semua yang hadir. Tetapi kata penulis, manusia itu tidak sama pemikirannya, namun semua akan memperoleh imbalannya. Bagi yang mengejar bhakti sejati pada leluhur dan Hyang Widhi, maka akan mendapat restu kerahayuan serta kebahagiaan, bagi yang mencari prestise, maka juga akan memperoleh hal itu khususnya dari orang-orang yang tidak tahu kebenaran sejati, atau dari orang yang memang memanfaatkan hal itu untuk keuntungan sendiri, yaitu memperoleh manfaat finansial. Bagi kedua belah fihak hal itu tidak masalah karena sama-sama menguntungkan, maka secara hukum ekonomi karena ada pembeli dan penjual maka terjadi transaksi. Diskusi demi diskusi semakin jauh dan semakin dalam karena diantara mereka ada yang sudah sangat faham dengan keadaan di Bali dan melihat ketimpangan, sehingga diskusi kami jaga secara moral dengan tetap menekankan, bahwa kami di Bali adalah bersaudara, jika ada yang keliru dalam penerapan hubungan persaudaraan ini, karena mereka itu belum faham dan kami yang sudah tahu wajib memberitahu.

Tanpa terasa dari pagi berdiskusi sampai kepada siang hari, dan mereka pamit dengan suatu kesadaran baru. Sebagai bukti keseriusannya kami mendengar, bahwa pada malam harinya wawancara seputar Petilasan dan Keleluhuran dimuat di TV Lokal (TA TV Solo) dalam liputan bahasa Jawa. Semoga dengan informasi ini kami sudah melakukan bhakti pada leluhur dengan memberitakan keberadaan beliau agar diketahui oleh para damuh /keturunannya, bahwa beliau pernah ada di jawa dan sekarang akan tetap menjaga serta menyatukan keturunannya satu sama lain dan menjadi panutan agar kita menjadi manusia yang ”Berderajat Tinggi” karena Prilaku yang baik.


Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
16-04-2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)