Senin, November 02, 2009

DESA PAKRAMAN - DULU dan SEKARANG

Desa Pakraman merupakan wadah yang effektif untuk menerapkan suatu ketentuan di Bali yang biasanya tertuang dalam peraturan adat sehingga bisa mencapa tujuan yang diinginkan untuk kebaikan masyarakat secara keseluruhan. Banyak ketentuan adat yang masih dilaksanakan di Bali walaupun perlu dilakukan seleksi terus menerus apakah tidak melanggar ajaran Weda, apakah tidak melanggar hak asasi manusia atau ketentuan pidana karena kita di jaman republik yang ada payung hukumnya. Salah satu ketentuan yang diterapkan kepada Desa Pakraman adalah ”Mendem Watang” dalam kaitannya dengan Upacara Panca Bali Krama, ketentuan ini sudah ada sejak dulu dan masih diterapkan sampai sekarang, dimana ada aturan tertentu yang disyaratkan, seperti tidak boleh membakar mayat hanya ditanam/dikubur saja tanpa upakara (mesuluban), atau dikubur pada malam hari secara diam-diam, dan lain-lain. Semua ketentuan ini seharusnya bisa dilakukan lewat Desa Pakraman, namun yang menjadi pertanyaan apakah itu masih effektif? Jangan-jangan banyak warga yang justru mengalami kesulitan dengan ketentuan ini jika diterapkan dijaman sekarang. Sehubungan dengan besarnya peran Desa Pakraman dalam aplikasi ketentuan adat di Bali, maka mari kita buka sedikit saja dan secara garis besar, tentang keberadaan Desa Pakraman ini dijaman dulu sampai sekarang.

Mpu Kuturan boleh dikatakan sangat berhasil dalam menata kehidupan masyarakat Bali sejak kehadirannya bersama saudaranya yang lain (Catur Sanak) atas permintaan Raja Udayana pada abad XI. Mpu Kuturan dengan Desa Pakramannya juga menyebarkan Pasek keseluruh Bali yang berarti penguasaan pos-pos penting di Bali oleh para Priyayi Jawa, walaupun ini tidak identik dengan penjajahan karena strategi Mpu Kuturan adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Dilanjutkan lagi pada abad XIV (Tahun 1350 Masehi) ketika Kresna Kepakisan memerintah Bali sebagai Adipati bawahan Majapahit perlu menyerahkan pimpinan di desa-desa kepada Bendesa-Bendesa yang masih ada hubungan saudara seperti keluarga Pasek, ini suatu bentuk Nepotisme politis untuk mengikat masyarakat Desa (Banda=Pengikat, Desa=tempat). Dalam perkembangan berikutnya Desa Pakraman versi Mpu Kuturan dengan Bendesa sebagai pengikatnya mengalami perkembangan sesuai situasi kondisi masing-masing sehingga menjadi suatu daerah yang spesifik walaupun payungnya tetap adalah jiwa yang terkandung dalam makna Desa Pakraman versi Mpu Kuturan ini dengan Pura Desa, Puseh, dan Dalem. Desa Pakraman kemudian menjadi otoritas sendiri dimana setiap desa di Bali disamping memuja Dewa (Div=Sinar suci Tuhan) berwujud ”Tri Murti” serta para Hyang yang seperti Sapta Hyang, Panca Tirta, Sapta Pandita, dan lainnya, juga punya penyungsungan ditingkat Bhatara (Bhatr=yang mengayomi) secara berbeda-beda dan dominan, seperti di Karangasem Bugbug disungsung Bhatara Gede Gumang, di Nusa Penida di sungsung Ida Bhatara Dalem Ped, dsb.dsb yang mengakibatkan ada perbedaan upakara Yadnya mengenai waktu juga tata-caranya. Perkembangan ”Puri” sebagai kelanjutan dari kepemimpinan masa lalu juga menjadikan Bali menjadi berbeda, mobilisasi warga desa yang masih meneruskan tradisi masa lalu masih tetap dilakukan walaupun posisi masyarakat umum ini adalah pada tingkat masyarakat awam (mungkin Parekan/Abdi) yang sangat berbeda dengan masyarakat Puri ini yang cendrung menempatkan diri lebih tinggi, entah disadari atau tidak oleh masyarakat awam ini, bahwa derajat mereka sebetulnya sama dimata Hyang Widhi apalagi terbesar orang Bali adalah satu leluhur jadi bagaimana mungkin bisa dibedakan apalagi lewat produk penjajah yang bernama ”Kasta” dengan Tri Wangsa dan Jaba. Tradisi Yadnya di desa seperti ini bisa melibatkan banyak warga dan punya ciri berbeda dengan lainnya di Bali. Dengan beberapa contoh kecil diatas saja sudah dapat ditarik kesimpulan, bahwa ada hal yang berbeda bahkan spesifik mengenai Desa Pakraman jaman Mpu Kuturan dan jaman sekarang. Dengan faktor seperti ini sudah pasti tidak mudah bagi PHDI Bali untuk merangkul secara sistimatis masyarakat Bali dalam kaitannya dengan Yadnya seperti yang sedang hangat, membuat keseragaman tentang pelaksanaan ketentuan mengenai ”Mendem Watang” disaat ada upacara Panca Bali Krama. Jaman Mpu Kuturan dan sebelum penjajah masuk ke Bali (Abad XVI), ikatan Desa Pakraman masih kuat dan dapat di Manaje oleh para Bendesa dan pimpinan Bali jaman itu, dan lebih penting lagi Bali jaman itu keberadaan Hindu dengan sektenya masih mudah dimobilisasi karena satu faham, tetapi dijaman sekarang Bali sudah sangat berbeda, bukan lagi Desa Pakramannya sudah berbeda, tetapi umat yang tinggal di Pulau Bali sudah berbagai etnis ,suku dan agama, sehingga sudah sulit kalau mengikuti seperti jaman dulu. Apakah kemudian kita jadi pesimis dan membiarkan budaya Bali yang bercirikan Hindu akan tergerus ?, maka selalu diingatkan kepada kita agar ”mengambil hal yang positif dalam situasi terburuk apapun”. Sudah saatnya kita selektif terhadap Desa Pakraman dengan segala awig-awignya, Untuk hal ini PHDI harus lebih cepat dan lebih strategis dengan merangkul Desa Pakraman, PHDI Bali harus merangkul secara sistimatis dan hirarkis Desa Pakraman ini sehingga dapat dijadikan sebagai penerus kebijakan PHDI kepada masyarakat sehingga ada satu komando dan keseragaman pelaksanaan awig-awig dan pelaksanaan yadnya. Elemen-elemen yang ada dan riil dimasyarakat seperti organisasi umat, para Bendesa yang masih meneruskan secara turun temurun kepemimpinan di desanya, juga keberadaan ”Soroh” dalam pengertian positif perlu juga dirangkul, bahkan ”Puri” yang sesungguhnya secara lembaga sudah tidak ada namun karena masyarakat awam masih merasakan tindakan riil Puri itu, maka perlu juga dirangkul agar ada kesatuan bahasa dalam melaksanakan ajaran Hindu. Yang paling penting dalam situasi Bali yang sudah beragam, adalah ”Tattwa” yang merupakan ajaran inti Hindu perlu mulai ditanamkan dalam pemahaman keseharian umat Hindu khususnya di Bali. Dengan demikian Desa Pakraman yang merupakan warisan leluhur, bisa diteruskan oleh para damuh dengan tetap bisa mengikuti perkembangan jaman tanpa menghilangkan jati diri sebagai : Tempat bernaungnya umat Hindu dengan pemujaan kepada Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) sebagai ciri utamanya.

Akhirnya yang paling penting dari semua diatas adalah: ”Apapun yang dilakukan agar membawa perubahan kearah perbaikan bagi umat, sehingga Yadnya tetap semarak dan didasari Tattwa Weda juga umat dapat menata kehidupan Skala lebih baik seperti pendidikan, kesehatan, dll, agar umat Hindu tidak kalah bersaing dengan umat beragama lain di-era Globalisasi ini”, Astungkara !



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
14-04-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)