Senin, November 02, 2009

2007-PIODALAN PARHYANGAN SAPTA PANDITA
KARANGANYAR – JAWA TENGAH

Di Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita, pada 27 Agustus 2007 kembali dilaksanakan Piodalan yang diadakan setiap tahun pada Purnama Katiga. Piodalan kali ini berlangsung (Nyejer) 3 hari. Seperti biasa setiap Piodalan dibentuk Panitia walaupun sudah ada Pengempon sejak 11 Februari 2005. Panitia yang terdiri dari umat Hindu dari Bali dan Jawa juga lintas Soroh/Wangsa/Clan, mempersiapkan diluar Banten Utama karena sementara ini banten masih disiapkan dari Bali, dihaturkan juga sesaji Jawa yang merupakan kebiasaan umat setempat. Saat kerja-bhakti juga per-parkiran, termasuk penginapan umat dari Bali dan Warung-warung makan/minum sudah tersedia dari swadaya penduduk setempat. Panitia lebih banyak pada pengaturan acaranya, mobilisasi umat, konsumsi, dan komunikasi dengan instansi setempat. Pada puncak acara (27 Agustus 2007) Piodalan dipuput oleh 4 (empat) Pandita Mpu dari Bali, sebelum persembahyangan dilakukan acara seremonial diantarkan oleh MC Dyah Ayu Retno dan Atma Jatiningati. Diawali oleh sambutan Ketua Panitia Nengah Rawi, Pengempon (Wakil) Ketut Landra, Pemaparan keberadaan Parhyangan oleh Nyoman Sukadana, Sambutan Ketua MGPSSR Ketut Wita, Sesepuh umat Ketut Nedeng, dan diakhiri Darmawacana oleh Ida Bawati Miarta. Selanjutnya dilakukan Persembahyangan bersama. Umat yang jumlahnya ratusan dimana sebagian besar adalah umat Solo Karanganyar baik umat Jawa, Bali, juga umat yang datang dari Bali berbaur dengan khusuk memuja kebesaran Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Selesai persembahyangan ditampilkan Topeng Sidakarya oleh Wayan Senen dan kawan dari Jogjakarta serta Tarian, diiringi penabuh dari ISI Surakarta. Acara persembahyangan berakhir sekitar pukul 13 wib. Hari berikutnya secara bergilir Sulinggih (Pandita Mpu) juga umat yang belum sempat bhakti datang kehadapan beliau, dan akhir acara Piodalan dengan Nyineb pada 30 Agustus 2007 oleh Pandita Mpu.

Pada sore hari tanggal 27 Agustus 2007 Umat dari Bali melaksanakan Upacara Agnihotra dengan Hotri Wartawan dan Hotraka Pandita Mpu Ananda Paramadaksa, sedangkan Yajamana (Tuan Rumah) diwakili Mangku Ketut Pasek dan Pengempon Ketut Landra. Upacara Agnihotra ini memang masih pro dan kontra karena prosesinya yang ke-Indiaan walaupun banyak yang sudah berusaha menyesuaikan dengan kebiasaan setempat (local Genius). Namun Agnihotra sendiri dasar sastranya jelas. Upacara Agnihotra bisa dijumpai pada kitab-kitab Ithihasa, Purana (Kekawin Ramayana) dan beberapa upanisad seperti: Swetha Swatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan Sri Isopanisad. Didalam kitab suci Reg Weda,Sama Weda,Yayur Weda, Atharwa Weda, puja-puja terhadap Dewa-Dewa sangat banyak tetapi yang dominan adalah puja-puja kepada Dewa Agni. Dalam Atharwa Weda XXVIII.6, dinyatakan : Yatra suharda, sukrtam Agnihotra hutam yatra lokah tam lokam yamniyabhisambhuva sano himsit purusram pasumsca. (Dimana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang mempersembahkan dan melaksanakan Agnihotra, disana majelis/pimpinan masyarakat bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya.

Sekilas Keberadaan Parhyangan Sapta Pandita
Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan diketahui atas pewisik Niskala yang diperoleh Jro Mangku Gde Ketut Subandi dan ditemukan pada 10 Maret 1984. Berikutnya ditindaklanjuti oleh para Sulinggih juga tokoh umat seperti Merta Suteja. Petilasan itu sendiri berupa 2 gundukan batu yang oleh penduduk setempat dihormati sebagai tempat orang suci, pengelolaannya oleh Mbah Wiryo Rejo penduduk setempat. Orang Suci tersebut adalah Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan hijrah dari Jawa Timur ke Karanganyar/Surakarta pada Era runtuhnya Majapahit, menetap di Dukuh Pasekan/Dusun Keprabon, dan jadi rohaniawan kerajaan Surakarta. Walaupun banyak yang mau memugar Petilasan ini tetapi Tarjo (Almarhum) yang memiliki tempat ini mendapat petunjuk Niskala, bahwa akan ada Trah beliau dari Bali yang akan memugar tempat ini. Pemugaran sederhana dilakukan pada tahun 1986-1988. Pada 9 Nopember 1990 dihadiri oleh Bupati Karanganyar, Camat dan Lurah Karangpandan, fihak Mangkunegaran, dan umat dari Bali, dilakukan Pitra Yadnya dan Yadnya lainnya, walaupun menurut rohaniawan beliau Moksa. Renovasi besar-besaran dilakukan pada sekitar tahun 2000 dipelopori oleh Pandita Mpu Nabe Pemuteran , Ketut Nedeng, dan semeton dari Bali serta Karanganyar/Solo. Pelinggih yang baru adalah : Padmasana, Sapta Pertala, Bale Piasan/Pepelik, Bale Kulkul, Bale Pawedan, Candi Bentar, Candi Gelung, Peristirahatan Umat & Sulinggih (Bale Banjar), dan khususnya Meru Tumpang Pitu yang merupakan „Parhyangan Sapta Pandita“ karena Sapta Pandita itu memang tidak menetap di Bali tetapi di Kuntuliku Desa sekitar Malang/Kediri. Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan adalah Trah Sapta Pandita yang pertama (Mpu Ketek). Ngenteg Linggih pada 21 September 2002 (Purnama Katiga) dipuput Mpu dan Pedanda, serta Penanda-tanganan Prasasti oleh Raja Solo ”Sinuhun Paku Bhuwono XII (Almarhum). Parhyangan ini bisa dijadikan ”Pura Persatuan /Pancer/Pusat” karena di Candi Gelung dilinggihang juga Patung ”Panca Tirta” (Mpu Gnijaya,Mpu Semeru,Mpu Ghana,Mpu Kuturan,Mpu Bharadah) yang merupakan leluhur sebagian besar orang Bali, seperti Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, dan bisa jadi umat Jawa juga, apalagi umat Jawa sudah sejak awal mendatangi Petilasan ini. Mengunjungi Parhyangan orang suci diserahkan kepada pemahaman para umat yang datang, jika dilihat sebagai atman yang sudah menyatu dengan Sangkan Paraning Dumadi, maka sesungguhnya kita sudah memuja Hyang Widhi.


Dilaporkan oleh,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
05-09-2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)