Senin, November 02, 2009

MERENUNGI MAKNA ”PAREKAN SEKEN”

Pada kesempatan Darmawacana oleh Pandita Mpu dalam suatu Piodalan, sempat terlontar kata-kata agar para Damuh (Pratisentana Bhatara Kawitan) jangan menjadi ”Parekan Seken” yang merupakan kepanjangan ”Pasek”. Apa yang disampaikan oleh beliau sebagai seorang sulinggih, saya rasakan tidak ada maksud untuk menghina para damuh atau mem-provokasi, namun mengajak meningkatkan diri secara mental agar berada pada tataran yang sama, sederajat, tidak lebih tinggi juga tidak lebih rendah. Kenapa sampai ada lontaran Parekan Seken ni tentu ada sebabnya.

Seperti kita ketahui karena perkembangan jaman, maka Pratisentana Mpu Gnijaya sebagai leluhur Sapta Pandita yang keturunannya dikenal dengan ”Pasek” mengalami kemerosotan status atau akses politik. Mpu Gnijaya yang semula menjadi panutan Panca Tirta lainnya karena tertua, juga Sapta Pandita yang dulunya selalu memimpin persembahyangan di Besakih, setelah tahun berganti tahun beralih kepada Pandita lainnya, seperti Danghyang Nirarta dan keturunannya yang merupakan Pedanda-Pedanda. Juga perjalanan dari Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang menjadi raja di Bali pada abad XIII atas restu Mpu Semeru (salah seorang Panca Tirta) akhirnya kemudian beralih kepada ”Dalem Kresna Kepakisan” sebagai senapati/wakil raja di Jawa, setelah pemerintahan di Jawa Timur dibawah Majapahit. Selanjutnya setelah berakhirnya dinasti Dalem di Bali, menurut Kembar Kerepun dalam bukunya ”Benang Kusut Nama Gelar di Bali” , Belanda perlu menghidupkan kembali bekas-bekas raja-raja dulu, maka muncullah Anak Agung dan Cokorda. Perkembangan fase demi fase itu telah semakin melemahkan akses Pratisentana Sapta Pandita. Jika ada yang menjadi Rohaniawan maka biasanya disebut Dukuh namun berbeda sekali perannya dibandingkan dengan, misalnya : Ki Dukuh Blatung (Mertua Ida Manik Angkeran- leluhur Wang Bang Sidemen/Singarsa, Pinatih dan Arya Dauh), juga Ki Dukuh Suladri (Mertua Sri Angga Tirta Ksatrya Tirtha Arum dan Dalem Gelgel Dimadya). Jadi hanya rohaniaan biasa tidak punya akses ke Raja/Dalem. Keturunan Kyayi I Gusti Ageng Pasek Gelgel dan Pasek lainnya juga menurun statusnya, paling tinggi hanya jadi Patih, berbeda dengan jamannya Ki Bendesa Mas (Salah seorang mertua Danghyang Nirarta) status sosial itu masih kuat. Walaupun demikian sejarah membuktikan banyak dari Pasek ini menjadi ”Tameng Wijang” kerajaan Gelgel. Lama kelamaan status Pratisentana Sapta Pandita semakin jauh merosot, banyak kemudian mereka menjadi Petani, bahkan Abdi/Parekan. Mereka kemudian menjadi orang diluar lingkungan kerajaan (Puri), jadilah mereka ”Jaba” (diluar Puri), muncullah istilah Tri Wangsa dan Jaba. Jaba ini kemudian disetarakan dengan Sudra yang jelas menyimpang dengan ajaran Catur Varna. Banyak dari mereka yang sangat setia (seken), bahkan sampai melupakan jatidiri mereka sebagai manusia yang sama dimata Hyang Widhi, bahkan tidak ingat lagi dengan swadarma Bhatara Kawitan mereka yang sangat mendalami ajaran ke-rohanian. Sampai dijaman yang sudah merdeka dan moderen ini masih ada yang menempatkan dirinya sebagai Parekan (Abdi) karena faktor-faktor, misalnya : dari dulu keluarganya mengabdi di Puri. Yang mengherankan lagi adalah, mereka yang sudah tidak ada ikatan dengan abdi-mengabdi masih bermental seperti itu, bisa dilihat dari perlakuan yang istimewa terutama dalam berbahasa kepada yang dikenal dengan Tri Wangsa itu, inilah bentuk keberhasilan pengelompokkan manusia jaman dulu yang masih terbawa sampai sekarang. Khusus untuk semeton Pasek yang terbesar jumlahnya di Bali, maka atas mereka yang masih bermental seperti itu muncullah istilah ”Parekan Seken” (Abdi Setia).

Pada kesempatan ini coba direnungkan, pantaskah menempatkan diri menjadi ”Parekan Seken” ?. Kesetiaan , tahu balas budi, dan penghormatan kepada orang lain, memang sangat diperlukan dalam keseharian kita, tetapi harus dalam koridor ”kesetaraan” sebagai mahluk ciptaan Hyang Widhi yang berarti bahan bakunya sama. Bahkan ada klakar yang menyebutkan orang Bali itu sama-sama berasal dari ”Jambuldwipaha” (Plesetan dari Jambu Dwipa / India). Kalau begitu kanapa kita harus merasa berbeda ?. Baiklah kalau karena alasan balas budi, tetapi bukankah kewajiban kita untuk saling tolong menolong tanpa pamrih, biarlah Hyang Widhi yang membalas. Jangan bantuan yang diberikan menjadi mengikat hingga menodai jati diri manusia yang sama tadi. Bagi yang memberikan bantuan jangan karena suatu kepentingan tertentu, misalnya karena memanfaatkan mental parekan tersebut. Seharusnya Pasek itu dimaknai ”Patitis Sesana Kawitan” yang mengajarkan semeton Pasek untuk meniru prilaku Bhatara Kawitan, seperti : Mpu Gnijaya atau Sapta Pandita yang mengamalkan ajaran kerohanian. Juga prilaku Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sangat dihormati seantero jagat Bali sehingga ketika Kresna Kepakisan menjadi Dalem dan rakyat Bali berontak, beliau tetap berjiwa besar dengan ikut terjun ke kantong-kantong rakyat Bali agar menerima kepemimpinan Dalem Kresna Kepakisan. Meniru sesana yang baik dari Bhatara Kawitan berarti kita telah bhakti pada leluhur dan telah memanfaatkan hidup ini dengan baik.

Seperti disebutkan Sarasamuccaya Sloka 4 ;
iyam hi yonih prathama yonih prapya jagatipate, atmanam sakyate tratum karmabhih subhalaksanaih  Menjelma sebagai manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.


Penulis,


Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
08-12-2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)