Senin, November 02, 2009

PEMERINTAHAN DI BALI SEBELUM ERA MAJAPAHIT

Sebelum ada kerajaan besar di Bali, maka menurut penemuan DR.R.P.Soejono manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam, terbukti pada 1961 ditemukan jenis kapak genggam, kapak perimpas, pahat genggam, serut dan sebagainya di desa Sembiran Singaraja dan sebelah timur serta tenggara danau Batur Kintamani. Kemungkinan mereka punah atau berbaur dengan penduduk masa berikutnya. Manusia selanjutnya adalah yang hidup di goa-goa, terbukti ditemukan alat-alat dari tulang di goa Selonding diperbukitan kapur Pecatu Badung. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang adalah bangsa Papua Melanesoid yang mulanya mendiami daerah Tonkin (China Selatan) yang penyebarannya sangat luas di daerah selatan, india belakang, Indonesia, sampai pulau-pulau di lautan Teduh. Jadi ini merupakan penduduk Bali pada masa kedua. Masa berikutnya yang datang ke Bali adalah ras baru yang sudah punya kemampuan bercocok tanam, disebut pendukung kebudayaan kapak persegi dan alat-alat mereka sudah terbuat dari logam. disebut bangsa Austronesia dan berpusat di Tonkin juga, dengan bahasanya Melayu-Polinesia. Mereka pelaut yang wira mandiri dan penyebarannya ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian (Megalhitikum) ini, mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka karena selalu mereka puja, untuk itu mereka membuat : Menhir (tugu batu), bangunan punden berundag, arca-arca batu sederhana, tahta batu (Dolmen) atau altar tempat sajian. Persekutuan masyarakatnya disebut Thani atau Banua dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing dan diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali berupa orang Bali Mula atau Bali Asli, mereka kemudian disebut Pasek Bali. Orang-orang Bali yang datang kemudian pada umumnya berasal dari Jawa, termasuk Mpu Semeru yang datang pada Masa Raja Udayana, dimana Mpu Semeru menjadikan orang Bali Mula ini sebagai Putra Dharma (Putra angkat) dengan sebutan Pasek Kayu Selem. Fase berikutnya adalah terkait dengan kedatangan seorang Rsi dari India dari garis perguruan (Param-para/Sampradaya) Maharkandya. Pertama berasrama di wilayah pegunungan Dieng di Jawa tengah lalu ketimur sampai ke Gunung Raung Jawa timur kemudian ketimur (Bali) yang ketika itu konon masih kosong (secara spiritual/orang Bali belum beragama). Pertama datang dengan 800 orang menuju Gunung Agung, namun banyak meninggal karena terserang penyakit. Beliau kembali ke Gunung Raung dan kembali lagi ke Bali (Gn Agung) dengan 400 orang namun sebelumnya menanam Panca datu di Gn Agung. Tempat ini kemudian menjadi Pura Besakih. Selanjutnya beliau ke barat dan sampai di desa Taro dan diterima dengan baik oleh penduduk Bali Mula, dan mendirikan sebuah Pura disebut Pura Gunung Raung. Pengikut beliau kemudian berbaur dengan penduduk Bali Mula. Selanjutnya beliau mendirikan beberapa Pura seperti Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Keturunan Rsi Maharkandya dan pengikutnya disebut dengan Warga Bujangga Waisnawa yang pada fase kerajaan-kerajaan berikutnya Panditanya selalu menjadi Purohita Kerajaan.

Bagaimana dengan masa kerajaan-kerajaan di Bali ?. Seperti diketahui, bahwa pada awal-awal masehi terjadi peperangan kerajaan-kerajaan di India dan sekitarnya sehingga Kerajaan-kerajaan itu menyebar keluar India. Salah satu dari India selatan adalah kerajaan Kalingga yang datang pertama ke jawa Barat dan membentuk Kerajaan Kalingga pada tahun 414 M. Rajanya yang terkenal adalah Sannaha dan Ratu Simmo. Kerajaan Kalingga selanjutnya pindah ke Jawa tengah dengan nama Mataram atau Medang dengan gelar Wangsa Sanjaya, kemungkinaan Kalingga didesak oleh Kerajaan Wangsa Warma yang mendirikan kerajan Tarumanagara di Jawa Barat pada abad ke-6 M dengan Rajanya Purnawarman. Wangsa Sanjaya (Kalingga) dan Wangsa Warma selalu bersaing mendirikan kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Bali. Kerajaan Bali tertua bernama Singamandawa pada 804 – 888 Saka (882-966 Masehi) dengan rajanya Ratu Ugrasena. Bersamaan dengan itu di Bali juga muncul kerajaan yang dibentuk Kesari Warmadewa di Singadwala dengan sebutan Bhumi Kahuripan berpusat di Besakih. Sri Wira Dalem Kesari datang ke Bali dari Sri Wijaya pada 913 M. Di Bali kerajaan Singamandawa terdesak hanya bertahan di Kintamani dan Buleleng sementara Warmadewa sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan setelah tahun Saka 888 tidak terdengar lagi Raja dari Sanjayawangsa (Kalingga). Setelah Kesari Warmadewa mangkat, keturunan berikutnya yang menjadi Raja di Bali adalah : Candrabhaya Singha Warmadewa 956-974 M, selanjutnya Wijaya Mahadewi 983 M, dan Udayana Warmadewa 988 M. Raja Udayana mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa), Raja Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata dan ketika di Bali bernama Gunapriya Dharmapatni. Raja Udayana berkuasa sampai 1011 M. Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. dari perkawinannya berputra : Airlangga dan Anak Wungsu. Airlangga menjadi Raja Daha di Jawa pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata). Airlangga berputra Jayabhaya dan Jayasabha. Pada masa Raja Udayana ini datang para Mpu dari Jawa yaitu Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca Tirta, dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah (Mpu Bharadah tetap di Jawa). Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar). Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti. Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha. Di Jawa, putra Mpu Gnijaya yaitu Sapta Rsi dan keturunannya selalu menjadi Purohita di kerajaan di Jawa (Daha sampai Kediri). Ada suatu kisah pada pemerintahan Raja Kerta Jaya (Dandanggendis) yang berkuasa di Kediri pada Saka 1116-1144 (1194-1222M), beliau mengundang para Mpu untuk diuji kesaktiannya apakah bisa berdiri diujung tombak seperti yang dilakukan Raja Kerja Jaya. Karena seorang Brahmana (Pandita) tidak pantas memamerkan kesaktian, maka penghinaan Raja Kerta Jaya agar para Mpu menyembah beliau dijawab dengan kutukan kepada Raja Kerta Jaya dan mereka meninggalkan kerajaan Kediri menyebar kebeberapa daerah. Salah seorang keturunan Mpu Wiradnyana (ke-tiga dari Sapta Pandita) yaitu Mpu Purwanatha tetap di Panawijen bersama putra-putrinya yaitu Mpu Purwa dan Ken Dedes dimana dikemudian hari Ken Dedes menurunkan raja-raja Mataram (Paku Bhuwono & Mangku Negaran di Solo, dan Hamengku Bhuwono & Paku Alam di Jogja).

Sesudah Udayana lalu Anak Wungsu, terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya Majapahit berkuasa Jawa Timur dan Bali juga dikuasai, sekaligus ini sebagai akhir dari kekuasaan Wangsa Warmadewa. Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (1343–1350 M). Pada saka 1272 (1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Kresna Kepakisan putra Mpu Soma Kepakisan keturunan Mpu Bharadah menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali. Pada awal pemerintahan Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Kresna Kepakisan putus asa dan ingin kembali ke Jawa. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel diminta untuk hadir oleh Kresna Kepakisan guna menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada beliau. Setelah itu amanlah Bali dan Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk merangkul masyarakat Bali Mula, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Selanjutnya Dinasti Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem” (Sekarang keturunannya dikenal dengan Anak Agung dan I Dewa). Pada masa Dalem Waturenggong yang berkuasa pada saka 1382 – 1472 (1460-1550 Masehi), datang dari Jawa pada saka 1411 (1489 Masehi) Mpu Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Dalem Waturenggong (Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah). Pada masa Danghyang Nirartha, maka peran Purohita keturunan Sapta Pandita (Leluhur Pasek&Bendesa) dan Bujangga Waisnawa digantikan beliau, dan atas persetujuan Dalem membuat pelapisan masyarakat dimana Fungsi Purohita selalu dari keturunan Danghyang Nirarta sehingga sampai sekarang disebut Warga Brahmana. Keturunan Dalem mendapat porsi Ksatrya, para Mantri - Wesya dan lainnya Sudra.

Ketika ”Majapahit Runtuh pada Abad XV” maka otomatis Bali lepas dari Jawa, sehingga Adipati di Bali pecah dan bermunculan raja-raja kecil di 9 Kabupaten baik keturunan Dalem (Anak Agung) maupun lainnya (Cokorde), dan saling meluaskan kekuasaan (saling serang) yang akhirnya tenggelam semua. Ketika Penjajah masuk dihidupkanlah kembali bekas-bekas Raja ini dengan politik adu dombanya, bahkan kemudian pelapisan masyarakat yang sudah ada sebelumnya dilegalkan menjadi Kasta dengan muncul istilah Tri Wangsa dan Jaba yang dijaman reformasi ini sudah semakin memudar seiring dengan pemahaman umat akan hakekat manusia menurut Weda (Ajaran Tat Twam Asi dan Catur Warna) dan pemahaman akan sejarah leluhurnya yang satu keluarga.



Penulis,

Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
12-08-2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)